All hands,
Napoleon Bonaparte pernah berujar, “space we can recover, lost time never”. Mari kita uji ucapan tersebut dengan konsep Balahanpus-Balahanwil yang dianut oleh TNI dalam strategi pertahanan. Apakah benar konsep itu masih valid? Apakah konsep itu cocok untuk semua matra Angkatan atau hanya untuk matra tertentu saja?
Kekuatan yang diklasifikasikan sebagai Balahanpus adalah Kostrad, Kopassus, Komando Armada RI (Barat/Timur), Korps Marinir, Korpaskhas, Koopsau dan Kohanudnas. Sedangkan Balahanwil adalah kekuatan tempur AD di daerah yang berada di bawah Kodam.
Secara kasat mata, sangat jelas sebagian besar kekuatan Balahanpus terpusat di Pulau Jawa. Yang tidak di pulau ini cuma Brigif Linud Kostrad yang bermarkas di Makassar dan beberapa skadron tempur AU. Sedangkan skadron angkut AU semuanya terpusat di Pulau Jawa.
Adapun AL kita kekuatan armadanya terpusat di Pulau Jawa juga, meskipun kapal perangnya setiap saat disebar untuk beroperasi di semua perairan yurisdiksi. Kekuatan Marinir juga terpusat di sini, kecuali satu batalyon di Teluk Ratai.
Yang selalu menjadi masalah soal jarak dan waktu untuk merespon kontinjensi yang terjadi di luar Pulau Jawa. Kita tentu sepakat, jangankan untuk melakukan penyebaran kekuatan secara masif dari Pulau Jawa, untuk mobilisasi saja tentu butuh waktu. Sebagai contoh, berapa jam waktu yang diperlukan oleh satuan-satuan tempur Kostrad yang berada di Jawa Timur untuk bergerak ke Dermaga Ujung guna embarkasi ke KRI. Begitu pula satuan-satuan tempur Kostrad di Jawa Tengah, berapa jam yang mereka perlukan untuk sampai di Pelabuhan Tanjung Emas sebagai titik embarkasi lewat laut.
Itu baru soal waktu yang diperlukan untuk embarkasi, belum lagi waktu pergeseran pasukan ke wilayah kontinjensi. Ini dengan catatan bahwa kekuatan darat dibutuhkan untuk merespon kontinjensi. Kalau kekuatan darat tidak dibutuhkan, yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana meng-assemble berbagai KRI menjadi suatu Gugus Tugas dalam waktu yang singkat.
Gugus Tugas itu pun sangat riskan terhadap upaya-upaya pencegatan dalam perjalanan menuju wilayah kontinjensi. Menurut saya ancaman paling riskan adalah peperangan udara dan peperangan kapal selam.
Soal Balahanpus-Balahanwil sebenarnya sudah sering diuji dalam Latgab. Sudah sering di-oyu-kan juga. Tapi karena tidak jujur pada diri sendiri, para pengambil kebijakan TNI masih merasa yakin konsep Balahanpus-Balahanwil masih relevan.
Seandainya kita jujur, harus ada persentase jelas berapa persen probabilitas Gugus Tugas AL kita akan sampai di wilayah kontinjensi tanpa kerugian (kekuatan masih utuh) akibat aksi lawan di laut. Kalau tidak utuh, probabilitas kekuatan yang mampu mencapai wilayah konflik dan siap tempur berapa persen. Harus ada persentase jelas pula berapa persen probabilitas kita akan mampu memenangkan konflik di laut menghadapi Angkatan Laut di sekitar negeri kita. Tentu prosentasenya berbeda untuk menghadapi setiap Angkatan Laut yang berbeda, sebab banyak hal harus dikalkulasikan sebagai susunan tempur, kemampuan sensing, di laut mana kita bertempur, moril awak kapal dan lain sebagainya.
Semakin jauh jarak antara wilayah kontinjensi dengan induk kekuatan yang terpusat di Pulau Jawa, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penyebaran kekuatan. Dan hal itu memberikan keuntungan kepada lawan untuk mencapai strategic political and military objective-nya.
Soal Balahanwil, kekuatan itu berguna kalau konfliknya di darat. Tapi kalau di laut, semoga mereka tidak diterjunkan ke laut untuk bertempur di laut sambil berenang. Ketika kasus Blok Ambalat memanas Februari-Maret 2005, seorang petinggi Kostrad waktu itu dengan patriotisme yang tinggi bilang prajuritnya siap diterjunkan ke Ambalat. Memangnya Ambalat itu pulau, Jenderal?
Napoleon Bonaparte pernah berujar, “space we can recover, lost time never”. Mari kita uji ucapan tersebut dengan konsep Balahanpus-Balahanwil yang dianut oleh TNI dalam strategi pertahanan. Apakah benar konsep itu masih valid? Apakah konsep itu cocok untuk semua matra Angkatan atau hanya untuk matra tertentu saja?
Kekuatan yang diklasifikasikan sebagai Balahanpus adalah Kostrad, Kopassus, Komando Armada RI (Barat/Timur), Korps Marinir, Korpaskhas, Koopsau dan Kohanudnas. Sedangkan Balahanwil adalah kekuatan tempur AD di daerah yang berada di bawah Kodam.
Secara kasat mata, sangat jelas sebagian besar kekuatan Balahanpus terpusat di Pulau Jawa. Yang tidak di pulau ini cuma Brigif Linud Kostrad yang bermarkas di Makassar dan beberapa skadron tempur AU. Sedangkan skadron angkut AU semuanya terpusat di Pulau Jawa.
Adapun AL kita kekuatan armadanya terpusat di Pulau Jawa juga, meskipun kapal perangnya setiap saat disebar untuk beroperasi di semua perairan yurisdiksi. Kekuatan Marinir juga terpusat di sini, kecuali satu batalyon di Teluk Ratai.
Yang selalu menjadi masalah soal jarak dan waktu untuk merespon kontinjensi yang terjadi di luar Pulau Jawa. Kita tentu sepakat, jangankan untuk melakukan penyebaran kekuatan secara masif dari Pulau Jawa, untuk mobilisasi saja tentu butuh waktu. Sebagai contoh, berapa jam waktu yang diperlukan oleh satuan-satuan tempur Kostrad yang berada di Jawa Timur untuk bergerak ke Dermaga Ujung guna embarkasi ke KRI. Begitu pula satuan-satuan tempur Kostrad di Jawa Tengah, berapa jam yang mereka perlukan untuk sampai di Pelabuhan Tanjung Emas sebagai titik embarkasi lewat laut.
Itu baru soal waktu yang diperlukan untuk embarkasi, belum lagi waktu pergeseran pasukan ke wilayah kontinjensi. Ini dengan catatan bahwa kekuatan darat dibutuhkan untuk merespon kontinjensi. Kalau kekuatan darat tidak dibutuhkan, yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana meng-assemble berbagai KRI menjadi suatu Gugus Tugas dalam waktu yang singkat.
Gugus Tugas itu pun sangat riskan terhadap upaya-upaya pencegatan dalam perjalanan menuju wilayah kontinjensi. Menurut saya ancaman paling riskan adalah peperangan udara dan peperangan kapal selam.
Soal Balahanpus-Balahanwil sebenarnya sudah sering diuji dalam Latgab. Sudah sering di-oyu-kan juga. Tapi karena tidak jujur pada diri sendiri, para pengambil kebijakan TNI masih merasa yakin konsep Balahanpus-Balahanwil masih relevan.
Seandainya kita jujur, harus ada persentase jelas berapa persen probabilitas Gugus Tugas AL kita akan sampai di wilayah kontinjensi tanpa kerugian (kekuatan masih utuh) akibat aksi lawan di laut. Kalau tidak utuh, probabilitas kekuatan yang mampu mencapai wilayah konflik dan siap tempur berapa persen. Harus ada persentase jelas pula berapa persen probabilitas kita akan mampu memenangkan konflik di laut menghadapi Angkatan Laut di sekitar negeri kita. Tentu prosentasenya berbeda untuk menghadapi setiap Angkatan Laut yang berbeda, sebab banyak hal harus dikalkulasikan sebagai susunan tempur, kemampuan sensing, di laut mana kita bertempur, moril awak kapal dan lain sebagainya.
Semakin jauh jarak antara wilayah kontinjensi dengan induk kekuatan yang terpusat di Pulau Jawa, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penyebaran kekuatan. Dan hal itu memberikan keuntungan kepada lawan untuk mencapai strategic political and military objective-nya.
Soal Balahanwil, kekuatan itu berguna kalau konfliknya di darat. Tapi kalau di laut, semoga mereka tidak diterjunkan ke laut untuk bertempur di laut sambil berenang. Ketika kasus Blok Ambalat memanas Februari-Maret 2005, seorang petinggi Kostrad waktu itu dengan patriotisme yang tinggi bilang prajuritnya siap diterjunkan ke Ambalat. Memangnya Ambalat itu pulau, Jenderal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar