All hands,
Aksi militer seperti operasi besar dan kampanye dipastikan akan berlomba dengan waktu. Waktu yang dimaksud di sini bukan saja saat operasi dilaksanakan, tetap juga mencakup tahap perencanaan dan persiapan. Perencanaan aksi militer harus dilakukan dengan matang, sebab kalau tidak mau strategic political objective dan strategic military objective tidak akan tercapai.
Itulah yang dialami oleh Hitler saat menggelar Operation Barbarosa. Para perencana Wehrmach telah menyusun sekitar 10 tahapan operasi. Namun ketika operasi militer baru memasuki tahap kedua, oleh Hitler langsung di-by pass ke tahap delapan. Artinya ada tahap yang tidak dilaksanakan dan hal itulah yang berkontribusi terhadap kegagalan Operasi Barbarosa. Kepentingan politik sang pemimpin mengalahkan kalkulasi operasional militer.
Perencanaan operasi harus memperhitungkan pula waktu yang dibutuhkan untuk mobilisasi kekuatan sendiri. Di masa kini, mobilisasi kekuatan tidak membutuhkan waktu lama karena kemajuan teknologi, termasuk teknologi transportasi. Terlebih satuan-satuan operasional biasanya mempunyai tingkat kesiapan yang tinggi.
Yang menjadi masalah justru bila aksi militer dilaksanakan jauh dari wilayah sendiri, misalnya saat Om Sam mau gelar Operation Desert Shield. Militer Uwak Sam memerlukan beberapa bulan untuk memobilisasi kekuatan di Arab Saudi. Dalam hal mobilisasi, di antara faktor yang krusial adalah logistik. Logistik yang terdiri dari bermacam jenis, ---basah, kering, cair--- harus dimobilisasi, bahkan seringkali jauh dari pangkalan induk. Untuk menghadapi permasalahan itu, negara-negara yang memproyeksikan kekuatannya ke luar negeri seringkali mempunyai depo logistik di negara-negara lain untuk memudahkan mobilisasi.
Waktu penyebaran kekuatan juga perlu diperhitungkan. Ini seringkali krusial, terlebih ketika pertimbangan politik lebih mendominasi. Mei 2003, pasukan Marinir yang sudah diangkut oleh kapal-kapal amfibi beberapa hari menunggu di tengah laut, karena pemerintah belum memberikan lampu hijau untuk menyerbu Aceh. Berada di tengah laut tanpa kepastian itu merupakan hal sulit, karena selain masalah keterbatasan dukungan logistik buat pasukan, juga menyangkut moril pasukan.
Saya tidak tahu apakah ketika lampu hijau itu ”menyala” dan kemudian Marinir melakukan pendaratan amfibi di pantai Samalanga, timing-nya tepat ditinjau dari perspektif operasi amfibi atau tidak. Sebab dalam pendaratan itu ada PTS yang terbalik dan memakan korban jiwa Marinir. Seperti kita ketahui, untuk menentukan kapan kita melaksanakan operasi amfibi, khususnya untuk GKK Lintas Permukaan, faktor cuaca, waktu, pasang surut air laut dan fase bulan juga harus diperhatikan.
Aksi militer seperti operasi besar dan kampanye dipastikan akan berlomba dengan waktu. Waktu yang dimaksud di sini bukan saja saat operasi dilaksanakan, tetap juga mencakup tahap perencanaan dan persiapan. Perencanaan aksi militer harus dilakukan dengan matang, sebab kalau tidak mau strategic political objective dan strategic military objective tidak akan tercapai.
Itulah yang dialami oleh Hitler saat menggelar Operation Barbarosa. Para perencana Wehrmach telah menyusun sekitar 10 tahapan operasi. Namun ketika operasi militer baru memasuki tahap kedua, oleh Hitler langsung di-by pass ke tahap delapan. Artinya ada tahap yang tidak dilaksanakan dan hal itulah yang berkontribusi terhadap kegagalan Operasi Barbarosa. Kepentingan politik sang pemimpin mengalahkan kalkulasi operasional militer.
Perencanaan operasi harus memperhitungkan pula waktu yang dibutuhkan untuk mobilisasi kekuatan sendiri. Di masa kini, mobilisasi kekuatan tidak membutuhkan waktu lama karena kemajuan teknologi, termasuk teknologi transportasi. Terlebih satuan-satuan operasional biasanya mempunyai tingkat kesiapan yang tinggi.
Yang menjadi masalah justru bila aksi militer dilaksanakan jauh dari wilayah sendiri, misalnya saat Om Sam mau gelar Operation Desert Shield. Militer Uwak Sam memerlukan beberapa bulan untuk memobilisasi kekuatan di Arab Saudi. Dalam hal mobilisasi, di antara faktor yang krusial adalah logistik. Logistik yang terdiri dari bermacam jenis, ---basah, kering, cair--- harus dimobilisasi, bahkan seringkali jauh dari pangkalan induk. Untuk menghadapi permasalahan itu, negara-negara yang memproyeksikan kekuatannya ke luar negeri seringkali mempunyai depo logistik di negara-negara lain untuk memudahkan mobilisasi.
Waktu penyebaran kekuatan juga perlu diperhitungkan. Ini seringkali krusial, terlebih ketika pertimbangan politik lebih mendominasi. Mei 2003, pasukan Marinir yang sudah diangkut oleh kapal-kapal amfibi beberapa hari menunggu di tengah laut, karena pemerintah belum memberikan lampu hijau untuk menyerbu Aceh. Berada di tengah laut tanpa kepastian itu merupakan hal sulit, karena selain masalah keterbatasan dukungan logistik buat pasukan, juga menyangkut moril pasukan.
Saya tidak tahu apakah ketika lampu hijau itu ”menyala” dan kemudian Marinir melakukan pendaratan amfibi di pantai Samalanga, timing-nya tepat ditinjau dari perspektif operasi amfibi atau tidak. Sebab dalam pendaratan itu ada PTS yang terbalik dan memakan korban jiwa Marinir. Seperti kita ketahui, untuk menentukan kapan kita melaksanakan operasi amfibi, khususnya untuk GKK Lintas Permukaan, faktor cuaca, waktu, pasang surut air laut dan fase bulan juga harus diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar