All hands,
Secara teoritis, pangkalan Angkatan Laut harus memenuhi 4R, yaitu rest, repair, replenishment and recreation. Soal 4R pada akhirnya harus kembali pula pada ketersediaan dukungan anggaran. Kalau kita lihat pangkalan U.S. Navy di seluruh dunia, baik itu yang berstatus main operating base (MOB) maupun forward operating site (FOS), semua fasilitasnya lengkap dan memenuhi 4R.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, soal 4R merupakan kendala tersendiri bagi Angkatan Lautnya. Semuanya kembali kepada dukungan anggaran pertahanan. Di negeri ini, pangkalan yang mendekati pada pemenuhan 4R cuma Surabaya. Itu pun dengan catatan fasilitas pemeliharaan yang dulunya punya AL kita sudah diambil alih menjadi milik PT PAL.
PAL sendiri sebenarnya singkatan dari Penataran Angkatan Laut yang padanannya dalam Bahasa Inggris adalah Naval Shipyard. Untuk menggunakan fasilitas pemeliharaan di PT PAL, baik untuk kapal maupun senjata, AL kita harus bayar. Ironis memang negeri ini.
Sejak tahun 1960-an muncul pemikiran agar kekuatan AL kita tak dipusatkan di Surabaya saja, karena rawan dari aspek keamanan. Pada pertengahan 1960-an sudah ada ide untuk membangun pangkalan Angkatan Laut di Teluk Ratai dan juga di kawasan Indonesia Timur, kalau nggak salah Ambon. Entah bagaimana, ketika pangkalan Teluk Ratai selesai pada awal 1990-an, tidak jadi digunakan dan kini hanya dipakai oleh Korps Marinir.
Apakah dahulu salah survei di Teluk Ratai ataukah ada alasan lain, saya kurang paham. Yang pasti memang di sana letaknya tak jauh dari Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau. Yang saya tahu, para senior AL kita dahulu memilih Teluk Ratai dengan pertimbangan tertentu.
Sekarang pangkalan AL kita di Surabaya, menurut pandangan beberapa rekan, semakin rawan. Kerawanan bukan saja soal hanya ada satu alur keluar masuk yaitu APBS, tetapi juga berdirinya Jembatan Madura yang hanya berjarak 2 km dari pangkalan. Meskipun kita tidak menggunakan alur timur, namun berdirinya jembatan itu ”memberikan” staging point buat pihak-pihak yang lain untuk mengancam keamanan pangkalan.
Lalu bagaimana solusinya. Pemikiran yang berkembang bahwa tidak semua kapal perang harus berpangkalan di Surabaya sangat layak untuk diapresiasi. Surabaya cukup menjadi Markas Komando Armada. Tetapi pemikiran itu berkonsekuensi pada pembangunan fasilitas 4R pada pangkalan AL kita yang di luar Surabaya. Soal di mana lokasinya, tentu harus mempertimbangkan aspek konteks strategis, kebutuhan operasi, hidrografi, geologi dan lain sebagainya.
Dan jangan dilupakan pula kebutuhan kita untuk mampu meyakinkan pemerintah dan DPR soal pentingnya peningkatan fasilitas pangkalan di luar Surabaya. Karena pada akhirnya semua kembali kepada dukungan anggaran.
Secara teoritis, pangkalan Angkatan Laut harus memenuhi 4R, yaitu rest, repair, replenishment and recreation. Soal 4R pada akhirnya harus kembali pula pada ketersediaan dukungan anggaran. Kalau kita lihat pangkalan U.S. Navy di seluruh dunia, baik itu yang berstatus main operating base (MOB) maupun forward operating site (FOS), semua fasilitasnya lengkap dan memenuhi 4R.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, soal 4R merupakan kendala tersendiri bagi Angkatan Lautnya. Semuanya kembali kepada dukungan anggaran pertahanan. Di negeri ini, pangkalan yang mendekati pada pemenuhan 4R cuma Surabaya. Itu pun dengan catatan fasilitas pemeliharaan yang dulunya punya AL kita sudah diambil alih menjadi milik PT PAL.
PAL sendiri sebenarnya singkatan dari Penataran Angkatan Laut yang padanannya dalam Bahasa Inggris adalah Naval Shipyard. Untuk menggunakan fasilitas pemeliharaan di PT PAL, baik untuk kapal maupun senjata, AL kita harus bayar. Ironis memang negeri ini.
Sejak tahun 1960-an muncul pemikiran agar kekuatan AL kita tak dipusatkan di Surabaya saja, karena rawan dari aspek keamanan. Pada pertengahan 1960-an sudah ada ide untuk membangun pangkalan Angkatan Laut di Teluk Ratai dan juga di kawasan Indonesia Timur, kalau nggak salah Ambon. Entah bagaimana, ketika pangkalan Teluk Ratai selesai pada awal 1990-an, tidak jadi digunakan dan kini hanya dipakai oleh Korps Marinir.
Apakah dahulu salah survei di Teluk Ratai ataukah ada alasan lain, saya kurang paham. Yang pasti memang di sana letaknya tak jauh dari Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau. Yang saya tahu, para senior AL kita dahulu memilih Teluk Ratai dengan pertimbangan tertentu.
Sekarang pangkalan AL kita di Surabaya, menurut pandangan beberapa rekan, semakin rawan. Kerawanan bukan saja soal hanya ada satu alur keluar masuk yaitu APBS, tetapi juga berdirinya Jembatan Madura yang hanya berjarak 2 km dari pangkalan. Meskipun kita tidak menggunakan alur timur, namun berdirinya jembatan itu ”memberikan” staging point buat pihak-pihak yang lain untuk mengancam keamanan pangkalan.
Lalu bagaimana solusinya. Pemikiran yang berkembang bahwa tidak semua kapal perang harus berpangkalan di Surabaya sangat layak untuk diapresiasi. Surabaya cukup menjadi Markas Komando Armada. Tetapi pemikiran itu berkonsekuensi pada pembangunan fasilitas 4R pada pangkalan AL kita yang di luar Surabaya. Soal di mana lokasinya, tentu harus mempertimbangkan aspek konteks strategis, kebutuhan operasi, hidrografi, geologi dan lain sebagainya.
Dan jangan dilupakan pula kebutuhan kita untuk mampu meyakinkan pemerintah dan DPR soal pentingnya peningkatan fasilitas pangkalan di luar Surabaya. Karena pada akhirnya semua kembali kepada dukungan anggaran.
1 komentar:
Saya setuju bahwa pangkalan baik untuk AL dan AU jangan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, Lanud Atang Senjaya di Bogor mengakomodasi 2 skuadron helikopter kita (Ska. 6 & 8). Saya gak abis pikir,kita cuma punya 2 skadron udara helikopter, dan keduanya terletak di 1 pangkalan.Nah kalo sampe dihajar smart bomb dll, ya abis semua dong. Jadi selain bangkuat,menurut saya penyebaran pangkalan2 juga penting hingga 5 tahun mendatang.
Posting Komentar