All hands,
Sebenarnya Buku Putih Pertahanan 2008 sudah diterbitkan sejak Desember 2007. Tetapi entah kenapa, sampai kini pun buku ini tak pernah dideklarasikan resmi kepada masyarakat, berbeda dengan buku serupa tahun 2003. Terkesan bahwa Buku Putih ini deklarasinya diam-diam saja, yang selain ditujukan kepada TNI beserta tiga matra, juga kepada para atase pertahanan asing yang berakreditasi di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam Buku Putih Pertahanan 2008 yang saya kurang sependapat. Walaupun yang menyusun buku ini saya tahu persis, kawan akrab saya sendiri. Tapi itulah, beda kepala bisa beda pula pendapat. He..he..he..
Soal persepsi ancaman, sangat disayangkan Buku Putih Pertahanan 2008 masih menganut paradigma lama, yaitu membagi secara tegas ancaman militer dan non militer. Pendekatan demikian menurut saya tepat bila dunia masih di era peperangan generasi ketiga, tetapi sayangnya kini lingkungan strategis dunia berada di era peperangan generasi keempat.
Peperangan tersebut membuat legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara telah berakhir, karena munculnya aktor non negara yang juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya seiring dengan perubahan politik, ekonomi, sosial dan teknologi. Dengan demikian, pendekatan hitam putih terhadap ancaman militer dan non militer merupakan paradigma lama, karena saat ini ancaman bersifat multidimensional dan tidak dapat lagi dipilah-pilah berdasarkan ideologi, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya. Mengingat kompleksitas tersebut, pendekatan yang tepat dalam mengklasifikasikan ancaman bukan lagi ancaman militer dan non militer, tetapi ancaman simetris dan asimetris.
Ancaman militer yang kita hadapi tidak selamanya simetris, bahkan mungkin asimetris dari sisi persenjataan dan moral. Asimetris dari sisi siapa? Yah dari sisi Indonesia. Adapun ancaman non militer lebih tepat disebut ancaman asimetris, karena cakupannya lebih luas. Ancaman asimetris dapat dihadapi dengan pendekatan kinetik, dapat pula dengan pendekatan non kinetik. Semua itu tergantung pada ancaman yang muncul.
Jangan sampai timbul pemahaman bahwa untuk menghadapi ancaman non militer, maka penggunaan pendekatan kinetik dibatasi. Kita harus ingat bahwa pada domain maritim, ancaman asimetris sangat banyak dan respon yang kita berikan sebagian besar adalah respon kinetik. Misalnya soal perompakan di Selat Malaka.
Dengan tiga peran yang melekat pada Angkatan Laut, suka atau tidak suka, AL kita harus menggunakan kekuatan untuk melaksanakan peran itu. Penggunaan kekuatan berarti memberikan otorisasi untuk menggunakan kekerasan bila kondisi di lapangan menuntut hal itu.
Sebenarnya Buku Putih Pertahanan 2008 sudah diterbitkan sejak Desember 2007. Tetapi entah kenapa, sampai kini pun buku ini tak pernah dideklarasikan resmi kepada masyarakat, berbeda dengan buku serupa tahun 2003. Terkesan bahwa Buku Putih ini deklarasinya diam-diam saja, yang selain ditujukan kepada TNI beserta tiga matra, juga kepada para atase pertahanan asing yang berakreditasi di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam Buku Putih Pertahanan 2008 yang saya kurang sependapat. Walaupun yang menyusun buku ini saya tahu persis, kawan akrab saya sendiri. Tapi itulah, beda kepala bisa beda pula pendapat. He..he..he..
Soal persepsi ancaman, sangat disayangkan Buku Putih Pertahanan 2008 masih menganut paradigma lama, yaitu membagi secara tegas ancaman militer dan non militer. Pendekatan demikian menurut saya tepat bila dunia masih di era peperangan generasi ketiga, tetapi sayangnya kini lingkungan strategis dunia berada di era peperangan generasi keempat.
Peperangan tersebut membuat legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara telah berakhir, karena munculnya aktor non negara yang juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya seiring dengan perubahan politik, ekonomi, sosial dan teknologi. Dengan demikian, pendekatan hitam putih terhadap ancaman militer dan non militer merupakan paradigma lama, karena saat ini ancaman bersifat multidimensional dan tidak dapat lagi dipilah-pilah berdasarkan ideologi, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya. Mengingat kompleksitas tersebut, pendekatan yang tepat dalam mengklasifikasikan ancaman bukan lagi ancaman militer dan non militer, tetapi ancaman simetris dan asimetris.
Ancaman militer yang kita hadapi tidak selamanya simetris, bahkan mungkin asimetris dari sisi persenjataan dan moral. Asimetris dari sisi siapa? Yah dari sisi Indonesia. Adapun ancaman non militer lebih tepat disebut ancaman asimetris, karena cakupannya lebih luas. Ancaman asimetris dapat dihadapi dengan pendekatan kinetik, dapat pula dengan pendekatan non kinetik. Semua itu tergantung pada ancaman yang muncul.
Jangan sampai timbul pemahaman bahwa untuk menghadapi ancaman non militer, maka penggunaan pendekatan kinetik dibatasi. Kita harus ingat bahwa pada domain maritim, ancaman asimetris sangat banyak dan respon yang kita berikan sebagian besar adalah respon kinetik. Misalnya soal perompakan di Selat Malaka.
Dengan tiga peran yang melekat pada Angkatan Laut, suka atau tidak suka, AL kita harus menggunakan kekuatan untuk melaksanakan peran itu. Penggunaan kekuatan berarti memberikan otorisasi untuk menggunakan kekerasan bila kondisi di lapangan menuntut hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar