All hands,
Dari abad ke 19 sampai dengan abad ini, ranjau merupakan salah satu senjata yang ditakuti oleh pihak-pihak yang berkonflik menggunakan perairan sebagai mediumnya. Dalam Battle of Mobile Bay 5 Agustus 1864, Angkatan Laut Konfederasi menebar ranjau untuk menghalangi gerak maju kapal perang Angkatan Laut Union. Dari sinilah lahir perintah terkenal dari Laksamana David Glasgow Farragut, “Damn the torpedoes. Full speed ahead!!!”.
Ranjau waktu itu disebut dengan torpedo. Torpedo yang kini jadi arsenal Angkatan Laut baru ditemukan pada 1868 oleh seorang berkebangsaan Inggris Robert Whitehead yang bekerja di Italia. Waktu itu disebut sebagai automobile mine. Untuk menghargai jasa sang penemu, tak aneh bila sekarang ada torpedo bermerek Whitehead.
Karena pentingnya Battle of Mobile Bay dalam perang saudara di Amerika Serikat, khususnya dalam aspek Angkatan Laut, maka wajar kalau kita temukan nama USS Mobile Bay. Kalau nggak salah, nama ini sudah beberapa kali dipakai. Terakhir diabadikan untuk pada cruiser kelas Ticonderoga.Begitu pula dengan Laksamana Farragut. Namanya juga pernah diabadikan pada kapal perang yang memperkuat U.S. Navy.
Ranjau juga pernah mengubah rencana operasi Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1991. Gara-gara ranjau yang ditebar oleh Irak, operasi amfibi melalui pendaratan pantai dibatalkan. Ranjau pernah pula dipakai oleh Iran dalam Perang Teluk 1980-1988, yang korbannya sebagian besar adalah kapal tanker. Kapal perang U.S. Navy sempat menjadi korban keampuhan ranjau. Walaupun tidak tenggelam, tapi ranjau itu memaksa kapal-kapal itu ditarik dari wilayah operasi dan segera naik dok.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa aplikasikan peperangan ranjau. Kalau bisa, di mana?
Menyangkut pertanyaan itu jawabannya jelas. Kita bisa gunakan ranjau di perairan strategis seperti choke points. Kita punya empat choke points dari sembilan choke points dunia. Ranjau bisa kita gunakan bukan saja sebagai senjata defensif, tetapi juga ofensif.
Asalkan jangan kita ranjau alur pelayaran kita sendiri, karena justru akan membatasi manuver kita. Memang soal peranjauan ada kuncinya, di mana dengan kunci itu kita bisa bermanuver di antara medan ranjau. Tapi menurut saya kurang tepat yang kita ranjau alur kita sendiri dengan alasan supaya musuh tak bisa masuk ke pangkalan kita.
Karena terkait dengan hal itu, masih ada pilihan lain buat musuh untuk menghancurkan kekuatan kita di pangkalan. Baik itu lewat serangan udara maupun naval gunfire support.
Ranjau sebagai senjata ofensif bisa kita gunakan dalam konflik dengan negara-negara lain. Misalnya kita ranjau di One Fathom Bank, Selat Singapura, Selat Lombok dan lain sebagainya. Hal itu bisa dilakukan dengan catatan kita umumkan itu kepada dunia internasional, agar kapal niaga tak menjadi korban.
Memang menebar ranjau di perairan choke points mengandung resiko politik besar, khususnya kemarahan dari Amerika Serikat. Namun opsi itu harus tetap kita pertahankan, karena kita harus bekerja dalam bingkai kepentingan nasional kita sendiri. Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang kurang bersahabat, sehingga kita butuh senjata untuk mengurangi kesombongan mereka. Salah satunya adalah ranjau. Ranjau merupakan senjata murah yang harganya antara US$ 1.500 s/d U.S. 3.000, tapi daya rusaknya besar dan dapat merusak kapal perang yang harganya jutaan U.S. dollar.
Dari abad ke 19 sampai dengan abad ini, ranjau merupakan salah satu senjata yang ditakuti oleh pihak-pihak yang berkonflik menggunakan perairan sebagai mediumnya. Dalam Battle of Mobile Bay 5 Agustus 1864, Angkatan Laut Konfederasi menebar ranjau untuk menghalangi gerak maju kapal perang Angkatan Laut Union. Dari sinilah lahir perintah terkenal dari Laksamana David Glasgow Farragut, “Damn the torpedoes. Full speed ahead!!!”.
Ranjau waktu itu disebut dengan torpedo. Torpedo yang kini jadi arsenal Angkatan Laut baru ditemukan pada 1868 oleh seorang berkebangsaan Inggris Robert Whitehead yang bekerja di Italia. Waktu itu disebut sebagai automobile mine. Untuk menghargai jasa sang penemu, tak aneh bila sekarang ada torpedo bermerek Whitehead.
Karena pentingnya Battle of Mobile Bay dalam perang saudara di Amerika Serikat, khususnya dalam aspek Angkatan Laut, maka wajar kalau kita temukan nama USS Mobile Bay. Kalau nggak salah, nama ini sudah beberapa kali dipakai. Terakhir diabadikan untuk pada cruiser kelas Ticonderoga.Begitu pula dengan Laksamana Farragut. Namanya juga pernah diabadikan pada kapal perang yang memperkuat U.S. Navy.
Ranjau juga pernah mengubah rencana operasi Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1991. Gara-gara ranjau yang ditebar oleh Irak, operasi amfibi melalui pendaratan pantai dibatalkan. Ranjau pernah pula dipakai oleh Iran dalam Perang Teluk 1980-1988, yang korbannya sebagian besar adalah kapal tanker. Kapal perang U.S. Navy sempat menjadi korban keampuhan ranjau. Walaupun tidak tenggelam, tapi ranjau itu memaksa kapal-kapal itu ditarik dari wilayah operasi dan segera naik dok.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa aplikasikan peperangan ranjau. Kalau bisa, di mana?
Menyangkut pertanyaan itu jawabannya jelas. Kita bisa gunakan ranjau di perairan strategis seperti choke points. Kita punya empat choke points dari sembilan choke points dunia. Ranjau bisa kita gunakan bukan saja sebagai senjata defensif, tetapi juga ofensif.
Asalkan jangan kita ranjau alur pelayaran kita sendiri, karena justru akan membatasi manuver kita. Memang soal peranjauan ada kuncinya, di mana dengan kunci itu kita bisa bermanuver di antara medan ranjau. Tapi menurut saya kurang tepat yang kita ranjau alur kita sendiri dengan alasan supaya musuh tak bisa masuk ke pangkalan kita.
Karena terkait dengan hal itu, masih ada pilihan lain buat musuh untuk menghancurkan kekuatan kita di pangkalan. Baik itu lewat serangan udara maupun naval gunfire support.
Ranjau sebagai senjata ofensif bisa kita gunakan dalam konflik dengan negara-negara lain. Misalnya kita ranjau di One Fathom Bank, Selat Singapura, Selat Lombok dan lain sebagainya. Hal itu bisa dilakukan dengan catatan kita umumkan itu kepada dunia internasional, agar kapal niaga tak menjadi korban.
Memang menebar ranjau di perairan choke points mengandung resiko politik besar, khususnya kemarahan dari Amerika Serikat. Namun opsi itu harus tetap kita pertahankan, karena kita harus bekerja dalam bingkai kepentingan nasional kita sendiri. Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang kurang bersahabat, sehingga kita butuh senjata untuk mengurangi kesombongan mereka. Salah satunya adalah ranjau. Ranjau merupakan senjata murah yang harganya antara US$ 1.500 s/d U.S. 3.000, tapi daya rusaknya besar dan dapat merusak kapal perang yang harganya jutaan U.S. dollar.
3 komentar:
Ini baru ide berlian. apa lagi Ranjau dasar laut hasil pengembangan Dislitbang AL yang terbaru. Bagaimana kalau disekitar perairan ambalat kita pasan ranjau dasar laut?... khususnya batas zona perairan indonesia yang sering dimasuki kapal2? perang malaysia.
Ide itu pada dasarnya bisa. Asal ada perintah dari pemegang kekuatan politik. Jangan sampai nanti AL yang disalahkan. Sesuai dengan peraturan, deployment dan employment dari AL harus seizin dari pemerintah.
Menurut hemat saya,
1) Peperangan ranjau lebih di titik beratkan pada "psy-war", karena menebar 1 ranjau atau menebar 1000 ranjau atau cukup kita umumkan saja bahwa kita telah melaksanakan peranjauan atau membuat medan ranjau palsu, dampak psikologisnya terhadap musuh akan sama.
2) Kita mengenal adanya MPO (Minefield Performance Objective) yaitu bagamaina medan ranjau akan di bentuk dan tujuan/sasaran peranjauan itu apa? bisa blokade, delay,anti invasi,menghancurkan, menutup alur/pelabuhan ataupun hanya mengacau/menakuti-nakuti (harassement).
3) Minning/peranjauan sesuai MW FAMILY TREE bisa: ofensif,defensif dan PROTEKTIF.
4) Ranjau alur kita sendiri dengan alasan supaya musuh tak bisa masuk ke pangkalan kita? mungkin bukannya tidak bisa masuk, tapi paling tidak memaksa musuh untuk mengeluarkan unsur MCM nya, sehingga akan menghambat pergerakan konvoy ataupun bahkan merubah taktik tempurnya...
Ops MCM memakan waktu yg lama dan biaya yang banyak dibandingkan dgn ops Minning, sehingga apabila pergerakan musuh terhambat diharapkan akan terjadi kelelahan material dan mental personil -> keterbatasan logistik-> perubahan taktik-> bahkan terjadi perubahan kebijakan politik..!!
Sejarah telah membuktikannya...
5) Kita tidak perlu ragu dalam melaksanakan peranjauan, selama kita masih mengacu kepada hukum internasional maupun kebiasaan internasional.
Pada konvensi Denhaag atau SanRemo manual sudah tertera aturan tentang penggunaan ranjau pada masa damai maupun pada masa perang.
O iya satu lagi, menurut hukum internasional, peranjauan tidak harus selalu di umumkan kepada dunia internasional, asalkan dapat dipastikan bahwa ranjau tersebut akan mengenai kendaraan laut militer musuh.
Matur tenkyu......
Posting Komentar