All hands,
Kasus pembajakan MV Faina yang mengangkut tank T-72 untuk Kenya belum lagi selesai, hari Minggu 16 November kembali terjadi pembajakan di perairan Somalia. Kali ini korbannya adalah MV Sirius Star yang memuat minyak mentah dari Saudi Arabia menuju Amerika Serikat. Kapal super tanker dengan tonase 320.000 ton itu dibajak oleh kelompok bersenjata asal Somalia.
Dapat dipastikan kapal-kapal yang dibajak di perairan Somalia tidak akan dilepas kecuali dibayar dengan tebusan dulu oleh pemilik kapal. Dan wilayah Putland, Somalia adalah salah satu wilayah di dunia yang roda perekonomiannya hidup dari pembajakan. Dengan kata lain, pembajakan di laut tak lepas dari aroma bisnis.
Aroma bisnis itu pula yang mendorong Blackwaters, perusahaan keamanan swasta asal negeri Om Sam untuk turun mengamankan pelayaran di Teluk Aden. Blackwaters didirikan oleh para mantan anggota U.S. Navy Seals, personelnya pun berasal dari pensiunan U.S. Navy Seals. Para petinggi pemerintahan George W. Bush telah memberikan lampu hijau bagi kiprah Blackwaters di sana.
Berangkat dari kasus di Somalia, Indonesia berkepentingan agar jangan sampai pula Blackwater terjun pula di Selat Malaka. Sejak 2004, ada perusahaan keamanan di Singapura yang memberikan jasa pengawalan kapal niaga di Selat Malaka. Dan Singapura diam saja, dapat diartikan dia setuju, dengan alasan perusahaan itu tidak melanggar hukum di Singapura.
Soal pembajakan merupakan bisnis bagi Singapura sudah menjadi rahasia umum. Para pelaku perompakan dan pembajakan di Selat Malaka, sebagian di antaranya didanai oleh orang-orang Singapura.
Siapa orang-orang itu? Mereka di Singapura berstatus pengusaha, yang memberikan modal bagi kegiatan perompakan dan pembajakan di Selat Malaka. Dan hasil perompakan dan pembajakan pun sudah pasti turut dinikmati oleh mereka.
Beberapa kasus perompakan yang ditangani AL kita di perairan Indonesia (di luar Selat Malaka), mempunyai mata rantai dengan para pemodal di Singapura. Yang ditangkap di Indonesia cuma para operator di lapangan, sementara otak dan penyandang dananya berada di luar yurisdiksi Indonesia. Pertanyaannya, apakah perompakan dan pembajakan di Selat Malaka sebagian di antaranya didorong oleh motif-motif politik dari negara lain untuk menjatuhkan martabat dan wibawa bangsa Indonesia, khususnya AL kita?
Kasus pembajakan MV Faina yang mengangkut tank T-72 untuk Kenya belum lagi selesai, hari Minggu 16 November kembali terjadi pembajakan di perairan Somalia. Kali ini korbannya adalah MV Sirius Star yang memuat minyak mentah dari Saudi Arabia menuju Amerika Serikat. Kapal super tanker dengan tonase 320.000 ton itu dibajak oleh kelompok bersenjata asal Somalia.
Dapat dipastikan kapal-kapal yang dibajak di perairan Somalia tidak akan dilepas kecuali dibayar dengan tebusan dulu oleh pemilik kapal. Dan wilayah Putland, Somalia adalah salah satu wilayah di dunia yang roda perekonomiannya hidup dari pembajakan. Dengan kata lain, pembajakan di laut tak lepas dari aroma bisnis.
Aroma bisnis itu pula yang mendorong Blackwaters, perusahaan keamanan swasta asal negeri Om Sam untuk turun mengamankan pelayaran di Teluk Aden. Blackwaters didirikan oleh para mantan anggota U.S. Navy Seals, personelnya pun berasal dari pensiunan U.S. Navy Seals. Para petinggi pemerintahan George W. Bush telah memberikan lampu hijau bagi kiprah Blackwaters di sana.
Berangkat dari kasus di Somalia, Indonesia berkepentingan agar jangan sampai pula Blackwater terjun pula di Selat Malaka. Sejak 2004, ada perusahaan keamanan di Singapura yang memberikan jasa pengawalan kapal niaga di Selat Malaka. Dan Singapura diam saja, dapat diartikan dia setuju, dengan alasan perusahaan itu tidak melanggar hukum di Singapura.
Soal pembajakan merupakan bisnis bagi Singapura sudah menjadi rahasia umum. Para pelaku perompakan dan pembajakan di Selat Malaka, sebagian di antaranya didanai oleh orang-orang Singapura.
Siapa orang-orang itu? Mereka di Singapura berstatus pengusaha, yang memberikan modal bagi kegiatan perompakan dan pembajakan di Selat Malaka. Dan hasil perompakan dan pembajakan pun sudah pasti turut dinikmati oleh mereka.
Beberapa kasus perompakan yang ditangani AL kita di perairan Indonesia (di luar Selat Malaka), mempunyai mata rantai dengan para pemodal di Singapura. Yang ditangkap di Indonesia cuma para operator di lapangan, sementara otak dan penyandang dananya berada di luar yurisdiksi Indonesia. Pertanyaannya, apakah perompakan dan pembajakan di Selat Malaka sebagian di antaranya didorong oleh motif-motif politik dari negara lain untuk menjatuhkan martabat dan wibawa bangsa Indonesia, khususnya AL kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar