All hands,
Dalam undang-undang, ditegaskan bahwa binkuat adalah domain Kepala Staf Angkatan, sedangkan gunkuat adalah domain Panglima TNI. Apakah kenyataannya demikian? Jawabannya jelas, tidak!!!
Contoh, tidak semua operasi dikendalikan oleh Panglima TNI. Sebagai contoh operasi keamanan laut sehari-hari ---bukan operasi yang pakai sandi---, komando dan pengendalian kenyataannya ada di AL. Kenapa begitu?
Karena operasi itu dukungan logistiknya dari kantong AL kita sendiri. Sedangkan operasi-operasi yang pakai sandi seperti Ops Balat Sakti, Ops Sabang Jaya, Ops Natuna Jaya, Ops Pantura, Ops Samor dan lainnya--- dukungan logistiknya dari Mabes TNI. Sehingga sudah pasti kodalnya juga dari sana.
Soal binkuat, tidak jarang Angkatan mendapat ”paket” binkuat dari Mabes TNI. Dan sulit bagi Angkatan untuk menolak. Padahal binkuat kalau mengacu pada undang-undang adalah domainnya Kepala Staf Angkatan.
Itu semua artinya apa? Pelaksanaan secara murni binkuat dan gunkuat masih jauh dari ideal, karena memang ada realitas-realitas yang dihadapi.
Kalau sudah begini, mestinya kita harus realistis. Jangan terlalu kaku soal itu seperti diundang-undang. Untuk apa bikin peraturan kalau kenyataannya kita nggak sanggup laksanakan.
Berbicara soal ini, suka atau nggak suka, kita akan membahas pula soal jabatan Panglima TNI. Posisi Panglima TNI saat ini membingungkan kawan dan lawan. Mau bukti?
Pada satu sisi Panglima TNI adalah pengguna kekuatan. Namun dalam kenyataannya, dia tidak sepenuhnya kendalikan operasi-operasi yang dilaksanakan oleh Kotama TNI. Sepengetahuan saya, Panglima TNI secara resmi tidak mempunyai on scene commander pada wilayah-wilayah di mana kekuatan TNI beroperasi. On scene commander harus membawahi semua unsur yang terlibat dan lintas matra.
Sebenarnya bisa saja Panglima TNI mendelegasikan kewenangannya kepada on scene commander. Namun secara resmi itu nggak ada. Sebagai contoh, lihat operasi di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur. AL kita gelar Operasi Balat Sakti (opsnya Mabes TNI), AD juga gelar operasi sendiri, AU juga laksanakan operasi sendiri pula.
Dari ketiga operasi matra ini, siapa yang jadi on scene commander? Jawabannya, nggak ada. Kalau ada apa-apa di situ, who’s in charge? Kadang dalam kondisi begitu semua lepas tangan.
Nggak mungkin Panglima TNI kendalikan belasan atau puluhan operasi sekaligus. Itulah pentingnya eksistensi on scene commander.
Posisi rancu Panglima TNI juga terkait dengan manajemen pertahanan. Soal deployment dan employment sebenarnya sudah memasuki domain politik. Domain politik pertahanan adalah kewenangan Menteri Pertahanan.
Mengacu pada Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI, ditentukan ada pihak selaku pembuat kebijakan pertahanan (Menteri Pertahanan), ada pihak pula selaku pelaksana kebijakan pertahanan (Panglima TNI) dan kepada siapa jalur pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan pertahanan (Presiden).
Di sini kebijakan pertahanan dibuat oleh Menteri Pertahanan, pelaksana kebijakannya Panglima TNI. Tapi sang pelaksana kebijakan bukannya bertanggungjawab kepada pembuat kebijakan, malah kepada Presiden. Ini yang aneh, lucu dan jelas menyalahi prinsip manajemen. Harusnya yang tanggungjawab kepada Presiden yah Menteri Pertahanan selaku pembantu Presiden di bidang pertahanan.
Kalau kita bandingkan dengan manajemen pertahanan yang berlaku di negara-negara lain, ada perbedaan yang sangat signifikan. Di negeri lain, konstruksi manajemen pertahanan mengatur bahwa Menteri Pertahanan merupakan otoritas tunggal yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pertahanan. Dengan kata lain, Menteri Pertahanan adalah pembuat kebijakan pertahanan dan sekaligus pelaksana kebijakan pertahanan, yang pertanggungjawabannya kepada Presiden.
Panglima militer cuma sebagai pelaksana dari kebijakan politik pertahanan yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan. Jadi gunkuat itu seharusnya urusan Menteri Pertahanan. Bukan urusan Panglima TNI. Kita harus ingat bahwa domain politik bukanlah ranah TNI.
Lalu bagaimana selanjutnya? Yang kita butuhkan adalah Kepala Staf Gabungan dan salah satu dari Kepala Staf itu menjadi Ketua Kepala Staf Gabungan (Chairman, Joint Chief of Staff). Dan mereka adalah bagian dari Departemen Pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan bukanlah panglima militer, dia cuma penasehat Presiden (dan Menteri Pertahanan) di bidang militer. Dia juga sebagai jembatan antara Menteri Pertahanan dengan militer.
Kalau Mabes TNI berubah menjadi Staf Gabungan, harus diikuti oleh perampingan besar-besaran. Mungkin organisasi itu cuma diawaki 200-300 staf saja, beda dengan Mabes TNI saat ini yang stafnya ribuan. Bayangkan berapa banyak penghematan yang bisa dilakukan dengan perampingan itu. Dan anggaran yang dihemat bisa digunakan buat keperluan lain di TNI.
Dalam undang-undang, ditegaskan bahwa binkuat adalah domain Kepala Staf Angkatan, sedangkan gunkuat adalah domain Panglima TNI. Apakah kenyataannya demikian? Jawabannya jelas, tidak!!!
Contoh, tidak semua operasi dikendalikan oleh Panglima TNI. Sebagai contoh operasi keamanan laut sehari-hari ---bukan operasi yang pakai sandi---, komando dan pengendalian kenyataannya ada di AL. Kenapa begitu?
Karena operasi itu dukungan logistiknya dari kantong AL kita sendiri. Sedangkan operasi-operasi yang pakai sandi seperti Ops Balat Sakti, Ops Sabang Jaya, Ops Natuna Jaya, Ops Pantura, Ops Samor dan lainnya--- dukungan logistiknya dari Mabes TNI. Sehingga sudah pasti kodalnya juga dari sana.
Soal binkuat, tidak jarang Angkatan mendapat ”paket” binkuat dari Mabes TNI. Dan sulit bagi Angkatan untuk menolak. Padahal binkuat kalau mengacu pada undang-undang adalah domainnya Kepala Staf Angkatan.
Itu semua artinya apa? Pelaksanaan secara murni binkuat dan gunkuat masih jauh dari ideal, karena memang ada realitas-realitas yang dihadapi.
Kalau sudah begini, mestinya kita harus realistis. Jangan terlalu kaku soal itu seperti diundang-undang. Untuk apa bikin peraturan kalau kenyataannya kita nggak sanggup laksanakan.
Berbicara soal ini, suka atau nggak suka, kita akan membahas pula soal jabatan Panglima TNI. Posisi Panglima TNI saat ini membingungkan kawan dan lawan. Mau bukti?
Pada satu sisi Panglima TNI adalah pengguna kekuatan. Namun dalam kenyataannya, dia tidak sepenuhnya kendalikan operasi-operasi yang dilaksanakan oleh Kotama TNI. Sepengetahuan saya, Panglima TNI secara resmi tidak mempunyai on scene commander pada wilayah-wilayah di mana kekuatan TNI beroperasi. On scene commander harus membawahi semua unsur yang terlibat dan lintas matra.
Sebenarnya bisa saja Panglima TNI mendelegasikan kewenangannya kepada on scene commander. Namun secara resmi itu nggak ada. Sebagai contoh, lihat operasi di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur. AL kita gelar Operasi Balat Sakti (opsnya Mabes TNI), AD juga gelar operasi sendiri, AU juga laksanakan operasi sendiri pula.
Dari ketiga operasi matra ini, siapa yang jadi on scene commander? Jawabannya, nggak ada. Kalau ada apa-apa di situ, who’s in charge? Kadang dalam kondisi begitu semua lepas tangan.
Nggak mungkin Panglima TNI kendalikan belasan atau puluhan operasi sekaligus. Itulah pentingnya eksistensi on scene commander.
Posisi rancu Panglima TNI juga terkait dengan manajemen pertahanan. Soal deployment dan employment sebenarnya sudah memasuki domain politik. Domain politik pertahanan adalah kewenangan Menteri Pertahanan.
Mengacu pada Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI, ditentukan ada pihak selaku pembuat kebijakan pertahanan (Menteri Pertahanan), ada pihak pula selaku pelaksana kebijakan pertahanan (Panglima TNI) dan kepada siapa jalur pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan pertahanan (Presiden).
Di sini kebijakan pertahanan dibuat oleh Menteri Pertahanan, pelaksana kebijakannya Panglima TNI. Tapi sang pelaksana kebijakan bukannya bertanggungjawab kepada pembuat kebijakan, malah kepada Presiden. Ini yang aneh, lucu dan jelas menyalahi prinsip manajemen. Harusnya yang tanggungjawab kepada Presiden yah Menteri Pertahanan selaku pembantu Presiden di bidang pertahanan.
Kalau kita bandingkan dengan manajemen pertahanan yang berlaku di negara-negara lain, ada perbedaan yang sangat signifikan. Di negeri lain, konstruksi manajemen pertahanan mengatur bahwa Menteri Pertahanan merupakan otoritas tunggal yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pertahanan. Dengan kata lain, Menteri Pertahanan adalah pembuat kebijakan pertahanan dan sekaligus pelaksana kebijakan pertahanan, yang pertanggungjawabannya kepada Presiden.
Panglima militer cuma sebagai pelaksana dari kebijakan politik pertahanan yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan. Jadi gunkuat itu seharusnya urusan Menteri Pertahanan. Bukan urusan Panglima TNI. Kita harus ingat bahwa domain politik bukanlah ranah TNI.
Lalu bagaimana selanjutnya? Yang kita butuhkan adalah Kepala Staf Gabungan dan salah satu dari Kepala Staf itu menjadi Ketua Kepala Staf Gabungan (Chairman, Joint Chief of Staff). Dan mereka adalah bagian dari Departemen Pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan bukanlah panglima militer, dia cuma penasehat Presiden (dan Menteri Pertahanan) di bidang militer. Dia juga sebagai jembatan antara Menteri Pertahanan dengan militer.
Kalau Mabes TNI berubah menjadi Staf Gabungan, harus diikuti oleh perampingan besar-besaran. Mungkin organisasi itu cuma diawaki 200-300 staf saja, beda dengan Mabes TNI saat ini yang stafnya ribuan. Bayangkan berapa banyak penghematan yang bisa dilakukan dengan perampingan itu. Dan anggaran yang dihemat bisa digunakan buat keperluan lain di TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar