All hands,
Bila berdiskusi tentang operasi, sebaiknya kita berangkat dari pemahaman berikut. Dalam tataran doktrin militer secara umum, dikenal ada tiga tingkatan yaitu strategis, operasional dan taktis. Hal ini umumnya berlaku di semua matra di dunia, kecuali di Angkatan Laut. Di Angkatan Laut banyak negara, dengan U.S. Navy sebagai acuan, cuma mengenal dua tingkatan yaitu strategis dan taktis.
Karena hanya mengenal dua tingkatan, maka di Angkatan Laut berbagai negara dikenal adanya operational art.
Operational art yang dikenal di Angkatan Laut menghubungkan antara tataran strategis dan taktis. Sebab pencapaian tujuan (objective) dalam suatu kampanye atau operasi besar (major operation) tidak dapat bertumpu pada strategi saja, karena perspektif strategi terlalu luas. Tetapi tak dapat pula dicapai hanya dengan mengandalkan pada taktik saja, karena pandangan taktik terlalu sempit. Untuk menjembatani kedua, maka lahirnya operational art.
Dalam kampanye atau operasi besar, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tercapai tujuan kampanya atau operasi besar itu. Yaitu space, time and force. Ketiga faktor itu saling berinteraksi, sehingga dituntut adanya balancing space-time-force. Ketidakseimbangan satu dari tiga faktor itu akan mempengaruhi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Sun Tzu pernah berucap, those who do not know the conditions of mountains and forests, hazardous defiles, marshes and swamps, cannot conduct the march of an army. Faktor space menurut Milan Vego merupakan means sekaligus objective. Means karena untuk melaksanakan operasi militer secara sukses, dibutuhkan space yang cukup. Adapun objective sebab dalam melaksanakan operasi militer, pengendalian terhadap space adalah keharusan.
Ditarik dalam konteks operasi Angkatan Laut atau operasi maritim, kita mengenal konsep pengendalian laut (sea control). Tanpa pengendalian laut, suatu Angkatan Laut tidak akan dapat mencapai tujuan kampanye atau operasi besar yang telah dirancang. Pengendalian laut adalah prasyarat bagi pencapaian tujuan operasi pada domain maritim.
Untuk dapat melaksanakan pengendalian laut, kita harus mempunyai data-data hidrografi, oseanografi, meteorologi dan lain sebagainya yang terkait dengan sifat fisika dan kimia dari laut di mana kita beroperasi. Pengumpulan data itu harus dilakukan pada masa damai seperti saat ini. Secara teknis ini adalah tugas pokok dari Dishidros, namun Dishidros pun sepatutnya mendapatkan masukan dari para pemakai data yaitu Armada agar data-data yang dikumpulkan selain lengkap, juga sesuai dengan kebutuhan operasi.
Jangan sampai kita sebagai manusia meremehkan alam, karena alam atas seijin pemiliknya yaitu Allah Swt dapat menggagalkan rencana operasi yang dirancang oleh manusia. Banyak contoh soal ini, termasuk yang dialami ketika melaksanakan operasi di Timor Timur pada 1975-1980. Menurut cerita para senior yang pernah bertugas di sana, kondisi medan operasi di laut seperti cuaca, keadaan laut, kondisi pantai dan lain sebagainya seringkali menghambat pencapaian tujuan operasi. Dengan kata lain, intelijen di masa itu telah mengabaikan faktor alam dalam laporan intelijen yang digunakan untuk menyusun rencana operasi dan hanya berfokus pada kekuatan fisik musuh.
Saat ini, salah satu wilayah fokus operasi TNI adalah wilayah Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Apabila demikian, seharusnya yang berfokus ke sana bukan cuma Armada dengan menggelar kehadiran unsur-unsur kapal perang selama 24 jam dan 365 hari, tetapi juga unsur-unsur Hidro-Oseanografi harus ke sana. Harus disurvei ulang mengenai kondisi perairan di sana, mulai dari pantai di sekitar Nunukan, Tarakan, Sebatik hingga ke Laut Sulawesi.
Kita memang mempunyai data hidrografi dan oseanografi di perairan itu. Namun data itu harus selalu dimutakhirkan, karena pasti terjadi perubahan-perubahan di sana, baik karena faktor alam maupun non alam. Meskipun setiap perwira operasi di atas kapal perang telah didoktrin untuk berasumsi bahwa data yang ada di peta tidak sepenuhnya akurat karena faktor-faktor itu, tetap saja pemutakhiran adalah jalan terbaik.
Bila berdiskusi tentang operasi, sebaiknya kita berangkat dari pemahaman berikut. Dalam tataran doktrin militer secara umum, dikenal ada tiga tingkatan yaitu strategis, operasional dan taktis. Hal ini umumnya berlaku di semua matra di dunia, kecuali di Angkatan Laut. Di Angkatan Laut banyak negara, dengan U.S. Navy sebagai acuan, cuma mengenal dua tingkatan yaitu strategis dan taktis.
Karena hanya mengenal dua tingkatan, maka di Angkatan Laut berbagai negara dikenal adanya operational art.
Operational art yang dikenal di Angkatan Laut menghubungkan antara tataran strategis dan taktis. Sebab pencapaian tujuan (objective) dalam suatu kampanye atau operasi besar (major operation) tidak dapat bertumpu pada strategi saja, karena perspektif strategi terlalu luas. Tetapi tak dapat pula dicapai hanya dengan mengandalkan pada taktik saja, karena pandangan taktik terlalu sempit. Untuk menjembatani kedua, maka lahirnya operational art.
Dalam kampanye atau operasi besar, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tercapai tujuan kampanya atau operasi besar itu. Yaitu space, time and force. Ketiga faktor itu saling berinteraksi, sehingga dituntut adanya balancing space-time-force. Ketidakseimbangan satu dari tiga faktor itu akan mempengaruhi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Sun Tzu pernah berucap, those who do not know the conditions of mountains and forests, hazardous defiles, marshes and swamps, cannot conduct the march of an army. Faktor space menurut Milan Vego merupakan means sekaligus objective. Means karena untuk melaksanakan operasi militer secara sukses, dibutuhkan space yang cukup. Adapun objective sebab dalam melaksanakan operasi militer, pengendalian terhadap space adalah keharusan.
Ditarik dalam konteks operasi Angkatan Laut atau operasi maritim, kita mengenal konsep pengendalian laut (sea control). Tanpa pengendalian laut, suatu Angkatan Laut tidak akan dapat mencapai tujuan kampanye atau operasi besar yang telah dirancang. Pengendalian laut adalah prasyarat bagi pencapaian tujuan operasi pada domain maritim.
Untuk dapat melaksanakan pengendalian laut, kita harus mempunyai data-data hidrografi, oseanografi, meteorologi dan lain sebagainya yang terkait dengan sifat fisika dan kimia dari laut di mana kita beroperasi. Pengumpulan data itu harus dilakukan pada masa damai seperti saat ini. Secara teknis ini adalah tugas pokok dari Dishidros, namun Dishidros pun sepatutnya mendapatkan masukan dari para pemakai data yaitu Armada agar data-data yang dikumpulkan selain lengkap, juga sesuai dengan kebutuhan operasi.
Jangan sampai kita sebagai manusia meremehkan alam, karena alam atas seijin pemiliknya yaitu Allah Swt dapat menggagalkan rencana operasi yang dirancang oleh manusia. Banyak contoh soal ini, termasuk yang dialami ketika melaksanakan operasi di Timor Timur pada 1975-1980. Menurut cerita para senior yang pernah bertugas di sana, kondisi medan operasi di laut seperti cuaca, keadaan laut, kondisi pantai dan lain sebagainya seringkali menghambat pencapaian tujuan operasi. Dengan kata lain, intelijen di masa itu telah mengabaikan faktor alam dalam laporan intelijen yang digunakan untuk menyusun rencana operasi dan hanya berfokus pada kekuatan fisik musuh.
Saat ini, salah satu wilayah fokus operasi TNI adalah wilayah Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Apabila demikian, seharusnya yang berfokus ke sana bukan cuma Armada dengan menggelar kehadiran unsur-unsur kapal perang selama 24 jam dan 365 hari, tetapi juga unsur-unsur Hidro-Oseanografi harus ke sana. Harus disurvei ulang mengenai kondisi perairan di sana, mulai dari pantai di sekitar Nunukan, Tarakan, Sebatik hingga ke Laut Sulawesi.
Kita memang mempunyai data hidrografi dan oseanografi di perairan itu. Namun data itu harus selalu dimutakhirkan, karena pasti terjadi perubahan-perubahan di sana, baik karena faktor alam maupun non alam. Meskipun setiap perwira operasi di atas kapal perang telah didoktrin untuk berasumsi bahwa data yang ada di peta tidak sepenuhnya akurat karena faktor-faktor itu, tetap saja pemutakhiran adalah jalan terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar