16 November 2008

Strategic Military Objective Konflik Di Laut Sulawesi

All hands,
Setelah kita merumuskan strategic objective, selanjutnya dirumuskan tactical objective. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah strategic … objective, yang mana titik-titik itu diisi sesuai instrumen kekuatan nasional yang digunakan. Misalnya strategic military objective, strategic intelligence objective dan lain sebagainya. Pemakaian istilah itu untuk menghindari kerancuan dengan tactical objective pada tingkat yang lebih bawah, khususnya pada instrumen militer.
Strategic military objective untuk konflik di Laut Sulawesi mungkin dapat dirumuskan sebagai "menetralisasi kekuatan militer Malaysia untuk menegaskan klaimnya terhadap wilayah perairan yurisdiksi Indonesia di Laut Sulawesi (Blok Ambalat)". Lalu bagaimana cara menetralisasinya?
Dibutuhkan operasi gabungan, itulah satu-satunya jawaban. Mengingat kondisi geografis Malaysia, perlu dipertimbangkan apakah Indonesia hanya membatasi konflik di Laut Sulawesi atau melebar hingga ke Laut Natuna. Mengapa Laut Natuna?
Karena Laut Natuna adalah garis perhubungan laut (GPL) Malaysia dari Semenanjung ke Malaysia Timur. Kalau ada konflik di Laut Sulawesi, sudah pasti akan ada perkuatan dari pangkalan-pangkalan di Semenanjung. Untuk mencegah perkuatan itu sampai di Malaysia Timur, satu-satunya cara adalah memutus GPL.
Itu baru dari unsur operasi maritim. Belum lagi dari unsur operasi udara. Apakah AU kita juga perlu memutus jalur penerbangan mereka dari Semenanjung? Yang pantas menjawab pertanyaan itu adalah AU sendiri, karena merekalah yang lebih paham.
Agar dapat mencapai strategic military objective di Laut Sulawesi, kekuatan AL harus didukung oleh payung udara AU. Tanpa itu sulit untuk melaksanakan pengendalian laut seperti yang diajarkan pada teori strategi maritim. Pertanyaannya, apakah gelar kekuatan AU di sekitar Selat Makassar sudah disiapkan untuk hal tersebut?
Pada saat melaksanakan kampanye militer untuk mencapai strategic military objective, kita harus dengan memperhitungkan pula kemungkinan campur tangan negara-negara besar, baik anggota FPDA maupun non FPDA. Itu sudah masuk ke dalam domain diplomasi.
Bagaimana misalnya kita menjinakkan Singapura agar tak ikut dalam konflik itu. Begitu pula dengan Australia, Selandia Baru dan Inggris. Kalau kita ingin menghindari campur tangan itu, menurut pandangan saya, secara militer pencapaian strategic military objective harus terlaksana dalam hitungan 48 jam sejak pecahnya konflik atau Hari H Jam J.
Siapkah kita dengan skenario demikian? Untuk melaksanakan skenario itu, semua instrumen kekuatan nasional harus dikumpulkan sejak dini dan dikasih olah yudha. Skenario-skenario seperti itu harus diolah-yudhakan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Juga agar instrumen kekuatan nasional yang di luar militer dapat terbiasa dengan kondisi yang mendekati kondisi nyata. Sehingga ketika suatu saat konflik pecah, kita sudah siap dengan sekian skenario.
Termasuk langkah diplomatik yang agresif, bukan sebatas protes lewat nota diplomatik. Kita harus ingat bahwa perang adalah kelanjutan dari diplomasi dan ketika perang pecah, diplomasi harus tetap jalan. Itulah makna sebenarnya dari diktum Clausewitz yang selama ini salah dipahami, seolah-olah kalau pecah perang maka diplomasi otomatis berhenti.

Tidak ada komentar: