04 Februari 2009

Anggaran Versus Prestise Bangsa

All hands,
Seandainya sistem manajemen pertahanan negeri ini menerapkan manajemen pertahanan ala Amerika Serikat yang biasanya dipelajari oleh para perwira AL kita di Naval Postgraduate School, Monterey, dapat dipastikan akan segera terlihat betapa buruknya manajemen pertahanan saat ini. Dengan kata lain, manajemen pertahanan yang dianut saat ini akan langsung “ambruk”, karena tidak akan pernah match dengan perhitungan ekonomis. Materi itu pula yang dipelajari oleh beberapa rekan perwira yang mengikuti Defense Resources Management System Course, diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan bekerjasama dengan Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Bahkan sebenarnya bukan saja manajemen pertahanan saja yang “ambruk”, tetapi juga manajemen pemerintahan di republik ini. Mau dicoba? Silakan saja terapkan materi-materi Defense Management yang didapatkan di NPS ke manajemen keuangan Departemen Keuangan. Saya yakin manajemen keuangan yang selama ini diyakini andal akan langsung “ambruk”.
Salah satu contoh betapa mismatch terjadi dalam manajemen pertahanan negeri ini adalah soal pengadaan alutsista. Pengadaan alutsista sebagian di antaranya dibiayai oleh anggaran non APBN. Secara logika, apabila alutsista baru masuk ke dalam susunan tempur AL, mestinya anggaran pemeliharaan bertambah. Tapi logika demikian tidak berlaku dalam manajemen pertahanan negeri ini.
Yang berlaku, alutsista baru masuk susunan tempur, alokasi anggaran pemeliharaan tidak akan naik drastis mengiringi alutsista itu. Kenaikan alokasi anggaran pertahanan tidak signifikan terhadap masuknya alutsista baru. Itulah yang terjadi dengan pengadaan sejumlah kapal perang baru di AL kita dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun ini pemerintah kembali melaksanakan kegemaran barunya, yaitu memotong anggaran pertahanan. Kalau sudah begini, mungkin sebaiknya bangsa ini tidak berharap banyak sama AL.
Mengapa demikian? Sulit untuk mengharapkan AL akan optimal kalau anggarannya dipotong. Jangankan untuk berlayar, untuk memelihara kapal perang saja anggarannya terbatas. Kondisi demikian mungkin akan menempatkan AL kita pada garis naval existence saja, sementara naval presence-nya kurang.
Memang untuk menyiasati masalah ini akhirnya naval presence diprioritaskan pada perairan terpilih yang dinilai rawan. Istilah teknisnya perairan rawan selektif. Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa perairan yang selama ini dikategorikan tidak rawan akan selalu demikian. Tetapi itulah resiko yang harus ditanggung oleh negara ini, bukan resiko yang harus ditanggung AL.
Kehadiran di perairan rawan selektif seperti Selat Malaka dan Laut Sulawesi terkait dengan prestise nasional dan hal tersebut tidak bisa ditawar-tawar. Di sisi lain, sebenarnya masih banyak perairan lain yang membutuhkan naval presence, misalnya pulau-pulau yang berbatasan dengan negara-negara di sekitar Indonesia. Penempatan satuan Marinir di beberapa pulau tersebut hanyalah satu langkah yang tetap tidak dapat menutupi atau menghilangkan pentingnya naval presence.
Lalu bagaimana untuk keluar dari lingkaran setan seperti ini? Jawabannya ada pada pemerintah yang mempunyai otoritas terhadap TNI dan juga terhadap pengelolaan keuangan negara.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ah .. kayak bokap temen gue yang PNS. Gajinya kecil .. tapi tenyata rumahnya milyaran, mobilnya banyak, anak-anaknya sekolah di AS .. Hehehe.