All hands,
Terdapat beberapa definisi mengenai strategi. Namun apapun definisi itu, strategi mempunyai tiga elemen yaitu ends, means dan ways. Dalam konteks pertahanan, strategi merupakan instrumen kebijakan baik di masa damai maupun perang. Apabila dipersempit lagi ke dalam konteks militer, strategi akan mendeskripsikan bagaimana means (baca: militer) akan diterapkan untuk mencapai national ends.
Strategi dan pembangunan kekuatan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Menyangkut keduanya, tidak dapat dipisahkan pula dari pendekatan ekonomis, sebab baik strategi maupun ekonomi pada dasarnya menekankan pada penggunaan sumber daya yang terbatas untuk mencapai ends yang telah ditentukan.
Para ahli strategi berulang kali menekankan bahwa tanpa menetapkan prioritas di antara semua ends yang bersaing, semua kepentingan dan semua ancaman akan appears sama. Dengan kata lain, tidak ada strategi yang ditetapkan. Dampaknya adalah seperti yang dikatakan oleh Frederick the Great: “He who attempts to defend too much defends nothing”.
Dalam konteks Indonesia, saat ini sepertinya terjadi keterputusan antara strategi dan pembangunan kekuatan. Strategi pertahanan yang ada tidak fokus hendak kemana, sementara strategi militernya belum ada. Sulit bagi saya untuk optimis bahwa strategi militer nantinya kalau sudah ada akan fokus pada isu tertentu. Alasannya sederhana, paradigma pengambilan keputusan di militer mayoritas masih bernostalgia dengan tahun 1945, yang pada tahun itu pun sebenarnya para pengambil keputusan sendiri belum lahir.
Pembangunan kekuatan di sisi lain memang sudah mempunyai roadmap, dengan catatan tidak diganggu lagi oleh pergantian pemerintahan dan pergantian generasi di militer. Roadmap itu pun sebenarnya juga tidak fokus hendak dibawa kemana militer negeri ini, sebab roadmap tersebut tidak match dengan strategi yang dianut.
Mengapa strategi pertahanan saya nilai tidak fokus? Setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan, ancaman dan atau tantangan militer yang dihadapi oleh Indonesia antara lain adalah di Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Tetapi hal itu tidak menjadi fokus dari strategi pertahanan saat ini. Kalau strateginya saja demikian, lalu bagaimana dengan pembangunan kekuatannya?
Memang kalau kita mau menyusun daftar belanja, ancaman dan atau tantangan terhadap republik ini banyak. Tapi dari sekian banyak tersebut, tentu harus dipilah mana yang masuk kategori vital, major dan lain sebagainya. Kalau semua ancaman dan atau tantangan diprioritaskan, anggaran pertahanan Rp.1.000 trilyun pun masih kurang. Dari pemilahan itu, militer difokuskan untuk menghadapi kategori vital dan major saja.
Selama ini dalam dokumen militer senantiasa ditekankan bahwa militer harus mampu menghadapi dua trouble spot secara simultan? Tetapi tak pernah diidentifikasi di mana dua trouble spot tersebut. Apakah di Laut Natuna, Laut Sulawesi atau di Samudera Pasifik? Semuanya tidak pernah jelas.
Ketidakjelasan ini setelah saya telusuri ternyata warisan dari tahun 1980-an. Dokumen di masa itu juga sudah bicara dua trouble spot, tetapi entah di mana. Rupanya sampai sekarang masih diwariskan juga kepada kita ketidakjelasan itu. Dan kita sebagai penerima warisan lebih sering menerima begitu saja tanpa mencoba mengkritisi konsep itu.
Dengan kondisi demikian, lalu bagaimana kita bisa tailored forces for specific mission? Mengapa tailored forces for specific mission penting? Sebab kekuatan yang akan dikerahkan untuk menangani krisis di Irian berbeda dengan di Laut Sulawesi.
Dan untuk bisa melaksanakan tailored forces for specific mission, pembangunan kekuatan yang menekankan pada pendekatan ekonomis harus dijalankan. Hanya dengan cara demikian maka strategi dapat dilaksanakan, dengan catatan strateginya eksis dan jelas fokusnya.
Terdapat beberapa definisi mengenai strategi. Namun apapun definisi itu, strategi mempunyai tiga elemen yaitu ends, means dan ways. Dalam konteks pertahanan, strategi merupakan instrumen kebijakan baik di masa damai maupun perang. Apabila dipersempit lagi ke dalam konteks militer, strategi akan mendeskripsikan bagaimana means (baca: militer) akan diterapkan untuk mencapai national ends.
Strategi dan pembangunan kekuatan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Menyangkut keduanya, tidak dapat dipisahkan pula dari pendekatan ekonomis, sebab baik strategi maupun ekonomi pada dasarnya menekankan pada penggunaan sumber daya yang terbatas untuk mencapai ends yang telah ditentukan.
Para ahli strategi berulang kali menekankan bahwa tanpa menetapkan prioritas di antara semua ends yang bersaing, semua kepentingan dan semua ancaman akan appears sama. Dengan kata lain, tidak ada strategi yang ditetapkan. Dampaknya adalah seperti yang dikatakan oleh Frederick the Great: “He who attempts to defend too much defends nothing”.
Dalam konteks Indonesia, saat ini sepertinya terjadi keterputusan antara strategi dan pembangunan kekuatan. Strategi pertahanan yang ada tidak fokus hendak kemana, sementara strategi militernya belum ada. Sulit bagi saya untuk optimis bahwa strategi militer nantinya kalau sudah ada akan fokus pada isu tertentu. Alasannya sederhana, paradigma pengambilan keputusan di militer mayoritas masih bernostalgia dengan tahun 1945, yang pada tahun itu pun sebenarnya para pengambil keputusan sendiri belum lahir.
Pembangunan kekuatan di sisi lain memang sudah mempunyai roadmap, dengan catatan tidak diganggu lagi oleh pergantian pemerintahan dan pergantian generasi di militer. Roadmap itu pun sebenarnya juga tidak fokus hendak dibawa kemana militer negeri ini, sebab roadmap tersebut tidak match dengan strategi yang dianut.
Mengapa strategi pertahanan saya nilai tidak fokus? Setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan, ancaman dan atau tantangan militer yang dihadapi oleh Indonesia antara lain adalah di Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Tetapi hal itu tidak menjadi fokus dari strategi pertahanan saat ini. Kalau strateginya saja demikian, lalu bagaimana dengan pembangunan kekuatannya?
Memang kalau kita mau menyusun daftar belanja, ancaman dan atau tantangan terhadap republik ini banyak. Tapi dari sekian banyak tersebut, tentu harus dipilah mana yang masuk kategori vital, major dan lain sebagainya. Kalau semua ancaman dan atau tantangan diprioritaskan, anggaran pertahanan Rp.1.000 trilyun pun masih kurang. Dari pemilahan itu, militer difokuskan untuk menghadapi kategori vital dan major saja.
Selama ini dalam dokumen militer senantiasa ditekankan bahwa militer harus mampu menghadapi dua trouble spot secara simultan? Tetapi tak pernah diidentifikasi di mana dua trouble spot tersebut. Apakah di Laut Natuna, Laut Sulawesi atau di Samudera Pasifik? Semuanya tidak pernah jelas.
Ketidakjelasan ini setelah saya telusuri ternyata warisan dari tahun 1980-an. Dokumen di masa itu juga sudah bicara dua trouble spot, tetapi entah di mana. Rupanya sampai sekarang masih diwariskan juga kepada kita ketidakjelasan itu. Dan kita sebagai penerima warisan lebih sering menerima begitu saja tanpa mencoba mengkritisi konsep itu.
Dengan kondisi demikian, lalu bagaimana kita bisa tailored forces for specific mission? Mengapa tailored forces for specific mission penting? Sebab kekuatan yang akan dikerahkan untuk menangani krisis di Irian berbeda dengan di Laut Sulawesi.
Dan untuk bisa melaksanakan tailored forces for specific mission, pembangunan kekuatan yang menekankan pada pendekatan ekonomis harus dijalankan. Hanya dengan cara demikian maka strategi dapat dilaksanakan, dengan catatan strateginya eksis dan jelas fokusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar