All hands,
Pembangunan kekuatan laut tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi, sebab terdapat hubungan langsung antara keduanya. Dalam ekonomi nasional terdapat porsi ekonomi pertahanan. Adanya relasi tersebut menggambarkan bahwa pembangunan kekuatan laut senantiasa harus memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi.
Salah satu diktum dalam ekonomi adalah sumber daya yang tersedia terbatas. Oleh karena itu, harus dibuat pilihan di antara sejumlah alternatif yang semuanya “tidak enak”. Angkatan Laut di seluruh dunia dihadapkan pada kondisi demikian, termasuk pula U.S. Navy yang dalam sembilan tahun terakhir dipaksa berkompromi dengan aspek ekonomi dalam pembangunan kekuatannya.
Sebagai contoh adalah program LCS yang maju mundur dan dalam perkembangan terakhir jumlah kapal perang yang dipesan dikurangi dari rencana awal. Begitu pula dengan program DDX yang mengalami tarik ulur dari rencana semula. Semua itu karena dipengaruhi oleh aspek ekonomi Negeri Om Sam.
Di Indonesia pun demikian, bahkan mungkin kondisinya lebih parah daripada di Amerika Serikat. Bila di Amerika Serikat suatu program pembangunan kekuatan laut, katakanlah pengadaan kapal perang baru, hanya dikurangi jumlahnya dari desain awal, di negeri ini suatu pengadaan kapal perang baru bisa dibatalkan sama sekali. Dan bila ada suatu program yang dibatalkan, suara keberatan paling cuma datang dari AL. Bandingkan dengan di Amerika Serikat, yang protesnya keras justru datang dari para Senator dan Representative yang di negara bagian mereka ada industri kapal atau vendor industri tersebut.
Memang kondisi antara Indonesia dengan Amerika Serikat berbeda, sebab Washington sudah swasembada dalam pengadaan kapal perang. Tapi minimal di Indonesia juga sudah ada galangan kapal yang mampu membangun kapal perang secara terbatas. Dikatakan secara terbatas karena senjata dan sewaco-nya masih harus diimpor dari Eropa.
Sebagai contoh adalah program FPB-57, LPD ke-3 dan 4 dan kemungkinan pembangunan korvet atau fregat di PT PAL. Kalau kita berhitung secara ekonomis, wilayah yang diuntungkan dengan program AL tersebut adalah Jawa Timur yang merupakan tempat berdomisilinya PT PAL. Namun adakah kepedulian anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur terhadap program AL tersebut?
Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah ada semacam Kaukus anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur yang mempertanyakan kelanjutan program pembangunan kapal perang di PT PAL kepada AL. Sebagai contoh soal kelanjutan FPB-57, apakah akan dilanjutkan ataukah membeli produk generasi baru dari perusahaan galangan kapal yang cikal bakalnya adalah galangan Angkatan Laut tersebut.
Kalau daerah yang diuntungkan saja dengan kehadiran industri kapal perang saja tidak peduli dengan AL, lalu bagaimana daerah lain? Misalnya daerah-daerah yang secara ekonomis diuntungkan dengan kehadiran Lantamal, Lanal, Fasharkan dan lain sebagainya. Untuk menghitung keuntungan ekonomis tidak usah muluk-muluk, cukup hitung berapa kepala keluarga AL yang memperkuat suatu pangkalan.
Dengan asumsi tiap kepala keluarga terdiri atas empat orang, berapa kontribusi mereka terhadap bergeraknya ekonomi lokal seperti pasar dan lain-lain. Belum lagi bila ada kapal perang yang merapat di sana untuk bekal ulang. Di masa lalu, kehadiran kapal cruiser di Tanjung Pinang bisa ‘merusak’ ekonomi lokal, sebab hampir semua isi pasar diborong oleh kapal perang.
Pembangunan kekuatan laut tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi, sebab terdapat hubungan langsung antara keduanya. Dalam ekonomi nasional terdapat porsi ekonomi pertahanan. Adanya relasi tersebut menggambarkan bahwa pembangunan kekuatan laut senantiasa harus memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi.
Salah satu diktum dalam ekonomi adalah sumber daya yang tersedia terbatas. Oleh karena itu, harus dibuat pilihan di antara sejumlah alternatif yang semuanya “tidak enak”. Angkatan Laut di seluruh dunia dihadapkan pada kondisi demikian, termasuk pula U.S. Navy yang dalam sembilan tahun terakhir dipaksa berkompromi dengan aspek ekonomi dalam pembangunan kekuatannya.
Sebagai contoh adalah program LCS yang maju mundur dan dalam perkembangan terakhir jumlah kapal perang yang dipesan dikurangi dari rencana awal. Begitu pula dengan program DDX yang mengalami tarik ulur dari rencana semula. Semua itu karena dipengaruhi oleh aspek ekonomi Negeri Om Sam.
Di Indonesia pun demikian, bahkan mungkin kondisinya lebih parah daripada di Amerika Serikat. Bila di Amerika Serikat suatu program pembangunan kekuatan laut, katakanlah pengadaan kapal perang baru, hanya dikurangi jumlahnya dari desain awal, di negeri ini suatu pengadaan kapal perang baru bisa dibatalkan sama sekali. Dan bila ada suatu program yang dibatalkan, suara keberatan paling cuma datang dari AL. Bandingkan dengan di Amerika Serikat, yang protesnya keras justru datang dari para Senator dan Representative yang di negara bagian mereka ada industri kapal atau vendor industri tersebut.
Memang kondisi antara Indonesia dengan Amerika Serikat berbeda, sebab Washington sudah swasembada dalam pengadaan kapal perang. Tapi minimal di Indonesia juga sudah ada galangan kapal yang mampu membangun kapal perang secara terbatas. Dikatakan secara terbatas karena senjata dan sewaco-nya masih harus diimpor dari Eropa.
Sebagai contoh adalah program FPB-57, LPD ke-3 dan 4 dan kemungkinan pembangunan korvet atau fregat di PT PAL. Kalau kita berhitung secara ekonomis, wilayah yang diuntungkan dengan program AL tersebut adalah Jawa Timur yang merupakan tempat berdomisilinya PT PAL. Namun adakah kepedulian anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur terhadap program AL tersebut?
Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah ada semacam Kaukus anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur yang mempertanyakan kelanjutan program pembangunan kapal perang di PT PAL kepada AL. Sebagai contoh soal kelanjutan FPB-57, apakah akan dilanjutkan ataukah membeli produk generasi baru dari perusahaan galangan kapal yang cikal bakalnya adalah galangan Angkatan Laut tersebut.
Kalau daerah yang diuntungkan saja dengan kehadiran industri kapal perang saja tidak peduli dengan AL, lalu bagaimana daerah lain? Misalnya daerah-daerah yang secara ekonomis diuntungkan dengan kehadiran Lantamal, Lanal, Fasharkan dan lain sebagainya. Untuk menghitung keuntungan ekonomis tidak usah muluk-muluk, cukup hitung berapa kepala keluarga AL yang memperkuat suatu pangkalan.
Dengan asumsi tiap kepala keluarga terdiri atas empat orang, berapa kontribusi mereka terhadap bergeraknya ekonomi lokal seperti pasar dan lain-lain. Belum lagi bila ada kapal perang yang merapat di sana untuk bekal ulang. Di masa lalu, kehadiran kapal cruiser di Tanjung Pinang bisa ‘merusak’ ekonomi lokal, sebab hampir semua isi pasar diborong oleh kapal perang.
1 komentar:
kamu kan bisa dibilang jadi pioneer untuk lebih "promosiin" AL.
btw, lama gak nengok blog niy, ternyata makin banyak fans yah :)
Posting Komentar