All hands,
Hubungan antara strategi dengan anggaran pertahanan sangat jelas. Untuk dapat menjabarkan strategi, diperlukan dukungan anggaran pertahanan yang memadai dengan strategi yang dianut. Pada sisi lain, di negara mana pun di dunia anggaran pertahanan selalu terbatas. Strategi dituntut untuk mampu berkompromi dengan keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.
Penting untuk dipahami bahwa sumber daya, baik manusia, anggaran pertahanan dan lain sebagainya, belum dapat dikategorikan sebagai means. Means dalam strategi militer adalah alutsista, yang di Angkatan Laut berbentuk kapal selam, kapal atas air, pesawat udara dan lain sebagainya. Sumber daya tersebut baru bisa dikelompokkan sebagai means apabila belum diorganisasikan dan dikerahkan sesuai dengan strategi yang dianut.
Dengan kata lain, anggaran pertahanan harus “diolah” terlebih dahulu agar berubah menjadi means. Di situ strategi berfungsi mengonseptualisasi sumber daya sebagai means untuk mendukung kebijakan.
Jikalau pemahaman demikian hendak diterapkan dengan betul di negeri ini, sepertinya pihak yang harus paham tentang strategy and force planning bukan cuma terbatas pada sumber daya manusia di Departemen Pertahanan dan TNI, tetapi juga di departemen atau lembaga pemerintah yang terkait. Bahkan termasuk pula DPR sebagai lembaga yang mempunyai hak anggaran.
Untuk menuju ke situ jalannya masih panjang. Mungkin ada pihak yang berpendapat justru karena itulah maka akan dibentuk Indonesian NDU. Pendapat demikian mungkin ada benarnya, tetapi tidak akan memecahkan masalah yang ada. Sebab kita bisa lihat siapa saja yang akan belajar di lembaga pendidikan itu.
Pemahaman soal strategy and force planning menurut saya sangat penting, sebab dengan demikian kita akan bisa membangun kekuatan dengan benar. Diharapkan tidak akan lagi terjadi keterputusan antara strategi yang dianut dengan pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Juga anggaran pertahanan tak akan selalu menjadi kambing hitam. Selain itu, kita bisa menentukan mana yang prioritas dan mana yang tidak dalam pembangunan kekuatan.
Bukan sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan bahwa banyak individu-individu di Departemen Pertahanan dan TNI yang tugasnya terkait dengan strategy and force planning justru belum paham dengan betul soal strategy and force planning itu sendiri. Contoh sederhana, banyak dari kita yang belum paham dengan capability-based planning. Nyaris setiap perwira memiliki pemahaman sendiri soal itu.
Padahal itu boleh dapat dikatakan sudah menjadi menu wajib bagi setiap perwira yang tugas-tugasnya terkait pembangunan kekuatan. Sebab pembangunan kekuatan saat ini dan ke depan harus menganut konsep tersebut. Capability-based planning memberikan alternatif bagi para perencana pertahanan untuk membangun kekuatan di tengah keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.
Hubungan antara strategi dengan anggaran pertahanan sangat jelas. Untuk dapat menjabarkan strategi, diperlukan dukungan anggaran pertahanan yang memadai dengan strategi yang dianut. Pada sisi lain, di negara mana pun di dunia anggaran pertahanan selalu terbatas. Strategi dituntut untuk mampu berkompromi dengan keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.
Penting untuk dipahami bahwa sumber daya, baik manusia, anggaran pertahanan dan lain sebagainya, belum dapat dikategorikan sebagai means. Means dalam strategi militer adalah alutsista, yang di Angkatan Laut berbentuk kapal selam, kapal atas air, pesawat udara dan lain sebagainya. Sumber daya tersebut baru bisa dikelompokkan sebagai means apabila belum diorganisasikan dan dikerahkan sesuai dengan strategi yang dianut.
Dengan kata lain, anggaran pertahanan harus “diolah” terlebih dahulu agar berubah menjadi means. Di situ strategi berfungsi mengonseptualisasi sumber daya sebagai means untuk mendukung kebijakan.
Jikalau pemahaman demikian hendak diterapkan dengan betul di negeri ini, sepertinya pihak yang harus paham tentang strategy and force planning bukan cuma terbatas pada sumber daya manusia di Departemen Pertahanan dan TNI, tetapi juga di departemen atau lembaga pemerintah yang terkait. Bahkan termasuk pula DPR sebagai lembaga yang mempunyai hak anggaran.
Untuk menuju ke situ jalannya masih panjang. Mungkin ada pihak yang berpendapat justru karena itulah maka akan dibentuk Indonesian NDU. Pendapat demikian mungkin ada benarnya, tetapi tidak akan memecahkan masalah yang ada. Sebab kita bisa lihat siapa saja yang akan belajar di lembaga pendidikan itu.
Pemahaman soal strategy and force planning menurut saya sangat penting, sebab dengan demikian kita akan bisa membangun kekuatan dengan benar. Diharapkan tidak akan lagi terjadi keterputusan antara strategi yang dianut dengan pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Juga anggaran pertahanan tak akan selalu menjadi kambing hitam. Selain itu, kita bisa menentukan mana yang prioritas dan mana yang tidak dalam pembangunan kekuatan.
Bukan sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan bahwa banyak individu-individu di Departemen Pertahanan dan TNI yang tugasnya terkait dengan strategy and force planning justru belum paham dengan betul soal strategy and force planning itu sendiri. Contoh sederhana, banyak dari kita yang belum paham dengan capability-based planning. Nyaris setiap perwira memiliki pemahaman sendiri soal itu.
Padahal itu boleh dapat dikatakan sudah menjadi menu wajib bagi setiap perwira yang tugas-tugasnya terkait pembangunan kekuatan. Sebab pembangunan kekuatan saat ini dan ke depan harus menganut konsep tersebut. Capability-based planning memberikan alternatif bagi para perencana pertahanan untuk membangun kekuatan di tengah keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar