All hands,
Bagi setiap individu yang mendalami strategi maritim, tentu saja sudah tidak asing lagi dengan forward strategy. Forward strategy adalah bagian dari power projection. Secara singkat, forward strategy adalah penyebaran kekuatan laut jauh dari negara induk sebagai bagian dari strategi pertahanan. Dengan forward strategy, maka sebisa mungkin perang dijauhkan dari negara induk alias memukul kekuatan laut musuh jauh sebelum mencapai negara kita.
Forward strategy dipraktekkan oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia Kedua untuk menghadapi Uni Soviet. Karena pintu keluar masuk Uni Soviet lewat laut mayoritas dikendalikan oleh negara-negara Sekutu seperti GIUK, Selat Bosporus dan Laut Jepang, maka Amerika Serikat melakukan forward deploy di wilayah-wilayah sekitar perairan itu. Itulah alasan mengapa hingga kini masih banyak pangkalan U.S Navy di wilayah tersebut, meskipun Perang Dingin sudah berakhir.
Pada masa Laksamana Elmo Zumwalt menjadi CNO, forward strategy mendapat tinjauan kritis dari sang Laksamana ulang karena pengalaman kegagalan di Perang Vietnam dan terbatasnya anggaran pertahanan. Laksamana Zumwalt berpendapat bahwa lebih baik memfokuskan diri pada sea control daripada forward strategy. Pendapat Laksamana Zumwalt kemudian diikuti dengan perintah Presiden Jimmy Carter pada 1976 untuk mengkaji ulang power projection.
Presiden Carter berpendapat bahwa armada serang dapat menggunakan teknologi untuk melaksanakan pengendalian laut dengan menghancurkan armada Uni Soviet di pangkalannya atau melalui decisive battle. Teknologi yang dimaksud Presiden Carter selain rudal nuklir antar benua, juga berupa Aegis antiaircraft system yang kini sudah melengkapi semua kapal kombatan U.S. Navy.
Di Indonesia, sepertinya terdapat kesalahan dalam memahami forward strategy. Dalam SPLN, terdapat fase penyebaran kekuatan di ZEE. Oleh sebagian pihak, hal itu dipahami sebagai forward deploy.
Menurut pemahaman saya, penyebaran kekuatan di ZEE belum bisa dikategorikan forward strategy. Sebab penyebaran itu sifatnya yang tidak terus menerus, melainkan tergantung pada kemampuan kapal perang dan juga kondisi alam. Selain itu, forward strategy harus didukung oleh pangkalan yang memadai di luar negeri dan tidak dapat mengandalkan pada pangkalan di dalam negeri.
Penyebaran kekuatan ke ZEE juga tidak jelas siapa lawan yang akan dihadapi. Calon lawan belum didefinisikan dengan jelas. Padahal untuk forward deploy, sudah pasti harus ditentukan siapa calon lawan yang akan dihadapi.
Untuk membangun kemampuan forward strategy, jalannya masih panjang bagi AL. Pembangunan kekuatan laut ke depan harus cermin arah ke sana bila memang ada keinginan untuk melaksanakan forward deploy.
Bagi setiap individu yang mendalami strategi maritim, tentu saja sudah tidak asing lagi dengan forward strategy. Forward strategy adalah bagian dari power projection. Secara singkat, forward strategy adalah penyebaran kekuatan laut jauh dari negara induk sebagai bagian dari strategi pertahanan. Dengan forward strategy, maka sebisa mungkin perang dijauhkan dari negara induk alias memukul kekuatan laut musuh jauh sebelum mencapai negara kita.
Forward strategy dipraktekkan oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia Kedua untuk menghadapi Uni Soviet. Karena pintu keluar masuk Uni Soviet lewat laut mayoritas dikendalikan oleh negara-negara Sekutu seperti GIUK, Selat Bosporus dan Laut Jepang, maka Amerika Serikat melakukan forward deploy di wilayah-wilayah sekitar perairan itu. Itulah alasan mengapa hingga kini masih banyak pangkalan U.S Navy di wilayah tersebut, meskipun Perang Dingin sudah berakhir.
Pada masa Laksamana Elmo Zumwalt menjadi CNO, forward strategy mendapat tinjauan kritis dari sang Laksamana ulang karena pengalaman kegagalan di Perang Vietnam dan terbatasnya anggaran pertahanan. Laksamana Zumwalt berpendapat bahwa lebih baik memfokuskan diri pada sea control daripada forward strategy. Pendapat Laksamana Zumwalt kemudian diikuti dengan perintah Presiden Jimmy Carter pada 1976 untuk mengkaji ulang power projection.
Presiden Carter berpendapat bahwa armada serang dapat menggunakan teknologi untuk melaksanakan pengendalian laut dengan menghancurkan armada Uni Soviet di pangkalannya atau melalui decisive battle. Teknologi yang dimaksud Presiden Carter selain rudal nuklir antar benua, juga berupa Aegis antiaircraft system yang kini sudah melengkapi semua kapal kombatan U.S. Navy.
Di Indonesia, sepertinya terdapat kesalahan dalam memahami forward strategy. Dalam SPLN, terdapat fase penyebaran kekuatan di ZEE. Oleh sebagian pihak, hal itu dipahami sebagai forward deploy.
Menurut pemahaman saya, penyebaran kekuatan di ZEE belum bisa dikategorikan forward strategy. Sebab penyebaran itu sifatnya yang tidak terus menerus, melainkan tergantung pada kemampuan kapal perang dan juga kondisi alam. Selain itu, forward strategy harus didukung oleh pangkalan yang memadai di luar negeri dan tidak dapat mengandalkan pada pangkalan di dalam negeri.
Penyebaran kekuatan ke ZEE juga tidak jelas siapa lawan yang akan dihadapi. Calon lawan belum didefinisikan dengan jelas. Padahal untuk forward deploy, sudah pasti harus ditentukan siapa calon lawan yang akan dihadapi.
Untuk membangun kemampuan forward strategy, jalannya masih panjang bagi AL. Pembangunan kekuatan laut ke depan harus cermin arah ke sana bila memang ada keinginan untuk melaksanakan forward deploy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar