All hands,
Satu di antara paradigma perang atau konflik masa kini adalah meraih kemenangan dengan biaya minimum (to gain victory at minimum cost). Paradigma ini merupakan antites terhadap attrition warfare yang di Indonesia masih memiliki banyak pengikut. Untuk meraih kemenangan dengan biaya minimum, salah satu cara yang ditempuh adalah memaksimalkan efek dari major operations dan atau kampanye militer. Dari situlah kemudian lahir konsep effect-based operations (EBO).
EBO dapat dipastikan mempunyai keterkaitan dengan revolution in military affairs (RMA). Sebab untuk bisa melaksanakan EBO, diperlukan penggunaan beragam sistem senjata berteknologi maju dan daya rusak yang lebih mematikan yang merupakan buah dari RMA. EBO juga harus ditunjang oleh network-centric warfare, sebab perang atau konflik masa kini sudah berubah dari battlefield menjadi battlespace.
Sasaran yang harus dihancurkan atau dinetralisasi dalam perang atau konflik masa kini sangat banyak, sebab center of gravity (COG) lawan sudah meluas dan tidak terbatas pada organisasi militer atau infrastruktur semata, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Dengan dihancurkannya atau dinetralisasinya COG lawan, diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak lawan selanjutnya. Apabila cara bertindak lawan sesuai dengan yang kita harapkan, berarti tujuan dari EBO tercapai.
Dalam kasus Perang Irak, Amerika Serikat sempat merevisi EBO yang dilaksanakan. Sebab kemampuan militer negeri itu mendongkel kekuasaan Presiden Saadam Hussein ternyata tidak diikuti dengan berakhirnya perlawanan militer di negeri Seribu Satu Malam. Bahkan muncul perlawanan baru yang tidak pernah diprediksi oleh analis intelijen di CIA maupun DIA, karena ketika menyerbu Irak para pasukan Amerika Serikat sudah dibekali oleh laporan intelijen CIA bahwa rakyat negeri Abu Nawas akan menyambut mereka di pinggir-pinggir jalan sebagai pembebas dengan mengibarkan bendera Stars and Stripes dan memberikan bunga.
Munculnya gerakan perlawanan di Irak yang tidak sesuai dengan prediksi intelijen memaksa militer Amerika Serikat merevisi konsep EBO agar sesuai dengan desired strategic objective dalam Operasi Stabilisasi. Dari situlah kemudian muncul Surge Operations yang dikomandoi oleh Jenderal David Petraeus. Pada 2008 hasil dari Surge Operations menunjukkan bahwa desired strategic objective tercapai dengan parameter antara lain menurunnya serangan bom dan jumlah korban.
Artinya EBO yang dirancang berhasil mencapai tujuan pula. Irak adalah contoh keberhasilan EBO, sedangkan Afghanistan adalah contoh kegagalan EBO. Kenapa di Afghanistan gagal? Menurut saya karena EBO yang dirancang tidak sesuai dengan kebutuhan di sana. Hal ini terkait dengan masalah sosiologis, antropologi dan lain sebagainya yang berbeda dengan di Irak. Sistem senjata canggih dan modern milik Amerika Serikat belum mampu melahirkan efek yang diharapkan.
Kalau kita kembali ke alam Indonesia, apakah attrition warfare melalui protracted warfare akan berhasil mencapai tujuannya? Perang atau konflik masa kini, suka atau tidak suka, harus menggunakan EBO sebagai salah satu alat bantu untuk mencapai strategic objective. Strategi perang yang didukung oleh sistem senjata yang canggih dan modern saja tanpa EBO tidak akan membantu menuju tercapainya strategic objective.
Pihak yang menggunakan EBO adalah yang bertempur dengan salah satu andalannya yaitu senjata yang lebih mematikan. Sedangkan pihak yang bertempur cuma mengandalkan gerilya dengan senjata terbatas (tanpa aset kekuatan laut dan udara) dapat dipastikan tidak akan pernah bisa menerapkan EBO. EBO hanya bisa di-exercise oleh pihak yang bertempur menggunakan senjata konvensional lengkap, bukan oleh pihak yang hanya menggunakan senjata terbatas dan senjata utamanya adalah semangat. Percayalah, semangat bukan alat utama untuk mencapai desired strategic objective.
Satu di antara paradigma perang atau konflik masa kini adalah meraih kemenangan dengan biaya minimum (to gain victory at minimum cost). Paradigma ini merupakan antites terhadap attrition warfare yang di Indonesia masih memiliki banyak pengikut. Untuk meraih kemenangan dengan biaya minimum, salah satu cara yang ditempuh adalah memaksimalkan efek dari major operations dan atau kampanye militer. Dari situlah kemudian lahir konsep effect-based operations (EBO).
EBO dapat dipastikan mempunyai keterkaitan dengan revolution in military affairs (RMA). Sebab untuk bisa melaksanakan EBO, diperlukan penggunaan beragam sistem senjata berteknologi maju dan daya rusak yang lebih mematikan yang merupakan buah dari RMA. EBO juga harus ditunjang oleh network-centric warfare, sebab perang atau konflik masa kini sudah berubah dari battlefield menjadi battlespace.
Sasaran yang harus dihancurkan atau dinetralisasi dalam perang atau konflik masa kini sangat banyak, sebab center of gravity (COG) lawan sudah meluas dan tidak terbatas pada organisasi militer atau infrastruktur semata, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Dengan dihancurkannya atau dinetralisasinya COG lawan, diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak lawan selanjutnya. Apabila cara bertindak lawan sesuai dengan yang kita harapkan, berarti tujuan dari EBO tercapai.
Dalam kasus Perang Irak, Amerika Serikat sempat merevisi EBO yang dilaksanakan. Sebab kemampuan militer negeri itu mendongkel kekuasaan Presiden Saadam Hussein ternyata tidak diikuti dengan berakhirnya perlawanan militer di negeri Seribu Satu Malam. Bahkan muncul perlawanan baru yang tidak pernah diprediksi oleh analis intelijen di CIA maupun DIA, karena ketika menyerbu Irak para pasukan Amerika Serikat sudah dibekali oleh laporan intelijen CIA bahwa rakyat negeri Abu Nawas akan menyambut mereka di pinggir-pinggir jalan sebagai pembebas dengan mengibarkan bendera Stars and Stripes dan memberikan bunga.
Munculnya gerakan perlawanan di Irak yang tidak sesuai dengan prediksi intelijen memaksa militer Amerika Serikat merevisi konsep EBO agar sesuai dengan desired strategic objective dalam Operasi Stabilisasi. Dari situlah kemudian muncul Surge Operations yang dikomandoi oleh Jenderal David Petraeus. Pada 2008 hasil dari Surge Operations menunjukkan bahwa desired strategic objective tercapai dengan parameter antara lain menurunnya serangan bom dan jumlah korban.
Artinya EBO yang dirancang berhasil mencapai tujuan pula. Irak adalah contoh keberhasilan EBO, sedangkan Afghanistan adalah contoh kegagalan EBO. Kenapa di Afghanistan gagal? Menurut saya karena EBO yang dirancang tidak sesuai dengan kebutuhan di sana. Hal ini terkait dengan masalah sosiologis, antropologi dan lain sebagainya yang berbeda dengan di Irak. Sistem senjata canggih dan modern milik Amerika Serikat belum mampu melahirkan efek yang diharapkan.
Kalau kita kembali ke alam Indonesia, apakah attrition warfare melalui protracted warfare akan berhasil mencapai tujuannya? Perang atau konflik masa kini, suka atau tidak suka, harus menggunakan EBO sebagai salah satu alat bantu untuk mencapai strategic objective. Strategi perang yang didukung oleh sistem senjata yang canggih dan modern saja tanpa EBO tidak akan membantu menuju tercapainya strategic objective.
Pihak yang menggunakan EBO adalah yang bertempur dengan salah satu andalannya yaitu senjata yang lebih mematikan. Sedangkan pihak yang bertempur cuma mengandalkan gerilya dengan senjata terbatas (tanpa aset kekuatan laut dan udara) dapat dipastikan tidak akan pernah bisa menerapkan EBO. EBO hanya bisa di-exercise oleh pihak yang bertempur menggunakan senjata konvensional lengkap, bukan oleh pihak yang hanya menggunakan senjata terbatas dan senjata utamanya adalah semangat. Percayalah, semangat bukan alat utama untuk mencapai desired strategic objective.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar