AAll hands,
Sebelum berkunjung ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary R. Clinton terlebih dulu bertamu ke Jepang. Salah satu agenda di negeri Matahari Terbit tersebut adalah penandatanganan kesepakatan relokasi pangkalan USMC dari Okinawa ke Guam. Relokasi tersebut secara tidak langsung merupakan kesempatan yang diberikan oleh Amerika Serikat agar Jepang lebih banyak berperan dalam keamanan kawasan Asia Pasifik. Dengan kata lain, Washington ingin agar Tokyo juga menanggung beban keamanan kawasan, sebab sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua hingga kini Jepang selalu berada di bawah payung perlindungan Amerika Serikat sesuai The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security alias Perjanjian San Francisco 1951.
Selain dorongan dari Amerika Serikat, Jepang sendiri memang mempunyai keinginan untuk kembali aktif dalam keamanan kawasan yang bentuknya hard power. Sebagai realisasi dari hal tersebut, hampir dalam 10 tahun terakhir JMSDF pro aktif beroperasi jauh dari wilayah Jepang. Ada dua hal yang mendorong mengapa JMSDF kini proaktif.
Pertama adalah bingkai aliansi Amerika Serikat-Jepang, yang di masa lampau JMSDF sebagai bagian dari JSDF mempunyai peran terbatas yaitu mempertahankan wilayah Jepang dari agresi, sebagaimana diatur dalam perjanjian The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security. Namun seiring perubahan konteks strategis, kedua negara memperbarui The Guideline for U.S.-Japan Defense Cooperation pada 1997, khususnya pada butir Cooperation In Situations In Areas Surrounding Japan That Will Have An Important Influence On Japan's Peace And Security.
Pada butir tersebut, secara politik Jepang diberikan hak untuk mendukung aktivitas militer Amerika Serikat, baik penggunaan fasilitas seperti pangkalan di Jepang maupun peran JSDF di garis belakang, termasuk di perairan internasional dan laut bebas. Jepang juga berhak menggunakan kekuatan militernya dalam bentuk U.S.-Japan Operational Cooperation, seperti aktivitas intelijen, pengamatan, pengintaian, perlindungan warga negara dan properti Jepang serta menjamin keselamatan navigasi.
Secara politik, pendefinisian kalimat “areas surrounding Japan” dalam panduan kerjasama pertahanan kedua negara tidak ditetapkan secara kaku batas wilayahnya. Dengan demikian, peran proaktif kekuatan militer Jepang ke luar wilayah dapat dilakukan secara fleksibel yang mengacu pada kepentingan nasional Jepang. Sebagai negara industri maju, salah satu kepentingan nasional Jepang yang tidak dapat dikompromikan adalah terjaminnya pasokan energi dari luar negara tanpa gangguan apapun.
Dalam Joint Statement on United States-Japan Security Consultative Committee pada 1 Mei 2006, dinyatakan bahwa JSDF diharapkan memainkan peran yang lebih nyata pada tingkat regional dan global melalui partisipasi dalam program pertahanan rudal, operasi keamanan maritim, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya. Sebelumnya pada Desember 2004 negeri itu menerbitkan dokumen berjudul The National Defense Program Guideliness (NDPG), yang berisikan antara lain visi bagi peran keamanan dan kemampuan pertahanan JSDF di masa depan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan beragam ancaman terhadap Jepang seperti rudal balistik dan proliferasi nuklir, terorisme internasional dan instabilitas di Semenanjung Korea. Menghadapi dinamika keamanan internasional yang demikian, peran proaktif Jepang dalam keamanan kawasan dan internasional didorong oleh Amerika Serikat.
Kedua, aspirasi politik internal. Dalam perkembangan terkini, ada aspirasi yang berkembang di dalam negeri yang didukung oleh sekitar 40 persen penduduk Jepang, menghendaki peran negeri itu yang lebih luas dalam keamanan kawasan dan internasional, termasuk di dalamnya peran JSDF. Selama ini, aspirasi tersebut “dihalangi” oleh Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 yang berbunyi, ”aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerence by the state will not be recognized”.
Untuk menghadapi halangan tersebut, sebagian politisi Jepang mencoba menerjemahkan ulang pasal itu. Terkesan bahwa mereka menginterpretasikan bahwa penyebaran kekuatan militer Jepang, khususnya JMSDF, selama masuk dalam kategori military operations other than war atau benign, tidak bertentangan dengan Pasal 9. Mengutip pendapat Geoffrey Till, JMSDF “…focus on the interface between land and sea rather than on conventional conceptions of battle and sea control”. Terkait dengan isu konstitusi, beberapa pemimpin Jepang berpendapat bahwa kepentingan nasional suatu ketika dapat saja berada jauh dari wilayah Jepang dan tabu konstitusional untuk pengiriman pasukan ke luar negeri dapat dilanggar. (Bersambung)
Sebelum berkunjung ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary R. Clinton terlebih dulu bertamu ke Jepang. Salah satu agenda di negeri Matahari Terbit tersebut adalah penandatanganan kesepakatan relokasi pangkalan USMC dari Okinawa ke Guam. Relokasi tersebut secara tidak langsung merupakan kesempatan yang diberikan oleh Amerika Serikat agar Jepang lebih banyak berperan dalam keamanan kawasan Asia Pasifik. Dengan kata lain, Washington ingin agar Tokyo juga menanggung beban keamanan kawasan, sebab sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua hingga kini Jepang selalu berada di bawah payung perlindungan Amerika Serikat sesuai The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security alias Perjanjian San Francisco 1951.
Selain dorongan dari Amerika Serikat, Jepang sendiri memang mempunyai keinginan untuk kembali aktif dalam keamanan kawasan yang bentuknya hard power. Sebagai realisasi dari hal tersebut, hampir dalam 10 tahun terakhir JMSDF pro aktif beroperasi jauh dari wilayah Jepang. Ada dua hal yang mendorong mengapa JMSDF kini proaktif.
Pertama adalah bingkai aliansi Amerika Serikat-Jepang, yang di masa lampau JMSDF sebagai bagian dari JSDF mempunyai peran terbatas yaitu mempertahankan wilayah Jepang dari agresi, sebagaimana diatur dalam perjanjian The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security. Namun seiring perubahan konteks strategis, kedua negara memperbarui The Guideline for U.S.-Japan Defense Cooperation pada 1997, khususnya pada butir Cooperation In Situations In Areas Surrounding Japan That Will Have An Important Influence On Japan's Peace And Security.
Pada butir tersebut, secara politik Jepang diberikan hak untuk mendukung aktivitas militer Amerika Serikat, baik penggunaan fasilitas seperti pangkalan di Jepang maupun peran JSDF di garis belakang, termasuk di perairan internasional dan laut bebas. Jepang juga berhak menggunakan kekuatan militernya dalam bentuk U.S.-Japan Operational Cooperation, seperti aktivitas intelijen, pengamatan, pengintaian, perlindungan warga negara dan properti Jepang serta menjamin keselamatan navigasi.
Secara politik, pendefinisian kalimat “areas surrounding Japan” dalam panduan kerjasama pertahanan kedua negara tidak ditetapkan secara kaku batas wilayahnya. Dengan demikian, peran proaktif kekuatan militer Jepang ke luar wilayah dapat dilakukan secara fleksibel yang mengacu pada kepentingan nasional Jepang. Sebagai negara industri maju, salah satu kepentingan nasional Jepang yang tidak dapat dikompromikan adalah terjaminnya pasokan energi dari luar negara tanpa gangguan apapun.
Dalam Joint Statement on United States-Japan Security Consultative Committee pada 1 Mei 2006, dinyatakan bahwa JSDF diharapkan memainkan peran yang lebih nyata pada tingkat regional dan global melalui partisipasi dalam program pertahanan rudal, operasi keamanan maritim, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya. Sebelumnya pada Desember 2004 negeri itu menerbitkan dokumen berjudul The National Defense Program Guideliness (NDPG), yang berisikan antara lain visi bagi peran keamanan dan kemampuan pertahanan JSDF di masa depan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan beragam ancaman terhadap Jepang seperti rudal balistik dan proliferasi nuklir, terorisme internasional dan instabilitas di Semenanjung Korea. Menghadapi dinamika keamanan internasional yang demikian, peran proaktif Jepang dalam keamanan kawasan dan internasional didorong oleh Amerika Serikat.
Kedua, aspirasi politik internal. Dalam perkembangan terkini, ada aspirasi yang berkembang di dalam negeri yang didukung oleh sekitar 40 persen penduduk Jepang, menghendaki peran negeri itu yang lebih luas dalam keamanan kawasan dan internasional, termasuk di dalamnya peran JSDF. Selama ini, aspirasi tersebut “dihalangi” oleh Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 yang berbunyi, ”aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerence by the state will not be recognized”.
Untuk menghadapi halangan tersebut, sebagian politisi Jepang mencoba menerjemahkan ulang pasal itu. Terkesan bahwa mereka menginterpretasikan bahwa penyebaran kekuatan militer Jepang, khususnya JMSDF, selama masuk dalam kategori military operations other than war atau benign, tidak bertentangan dengan Pasal 9. Mengutip pendapat Geoffrey Till, JMSDF “…focus on the interface between land and sea rather than on conventional conceptions of battle and sea control”. Terkait dengan isu konstitusi, beberapa pemimpin Jepang berpendapat bahwa kepentingan nasional suatu ketika dapat saja berada jauh dari wilayah Jepang dan tabu konstitusional untuk pengiriman pasukan ke luar negeri dapat dilanggar. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar