All hands,
Eksistensi ALKI merupakan konsekuensi dari tuntutan Indonesia agar statusnya diakui sebagai negara kepulauan dalam hukum laut internasional. Dengan kata lain, ada proses take and give antara pihak internasional, khususnya negara-negara pengguna perairan Indonesia dengan Indonesia menyangkut status negara kepulauan. Sebagai “balasan” dari diakomodasinya tuntutan Indonesia dalam hukum laut internasional, Indonesia harus merelakan sebagian wilayahnya dijadikan alur laut bagi kapal perang asing yang melintas. Persetujuan Indonesia mengenai penyediaan alur laut juga didorong oleh pendapat bahwa dengan menyediakan lintasan tersebut, akan lebih mudah mengawasi lalu lintas kapal perang yang melintas di perairan Indonesia.
Pendapat demikian memang benar adanya, tetapi dalam praktek Indonesia tidak bisa memaksa semua kapal perang yang melintas perairannya harus melalui ALKI. Sebab pada kenyataannya dalam hukum laut internasional masih ada dua rezim lain, yaitu lintas damai dan lintas transit.
Sampai sekarang Indonesia masih didesak oleh Amerika Serikat dan Australia untuk segera menetapkan ALKI Timur-Barat, karena mereka berpendapat bahwa perairan itu juga merupakan perlintasan kapal perang dari zaman dahulu (setidaknya sejak era Perang Dingin). Indonesia sampai kini masih bergeming soal itu, walaupun memang dalam Sidang IMO 1996 di London secara eksplisit Indonesia menyatakan masih akan ada penetapan ALKI lainnya selain ALKI Utara-Selatan.
ALKI Utara-Selatan secara hukum sudah eksis sejak beberapa tahun silam. Pertanyaannya adalah mau kita apakan ALKI yang sudah eksis tersebut? Selama ini dalam Strategi Pertahanan, ALKI terkesan hanya sebagai bahan latar belakang dan atau pertimbangan belaka, tetapi strategi yang dikembangkan tidak mengarah pada mau diapakan ALKI itu.
Sebagai contoh, apakah dislokasi kekuatan pertahanan juga mengacu pada ALKI? Seberapa banyak gelar kekuatan di sekitar ketiga ALKI? Gelar kekuatan yang dimaksud lebih pada gelar penindakan, bukan gelar permanen berupa kehadiran pangkalan AL dan AU. Kalau sekedar gelar permanen sih banyak, tetapi seberapa mampu pangkalan-pangkalan itu mengamankan ALKI?
Beberapa tahun lalu, usulan AL tentang validasi Armada yang salah satu pertimbangan obyektifnya adalah eksistensi ketiga ALKI belum disetujui oleh Mabes TNI. Alasannya macam-macam, antara lain harus disinkronisasikan dengan rencana pembuatan Kowilhan. Namun sampai sekarang ide Kowilhan itu tidak jelas kelanjutannya, sedangkan di sisi lain Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan Tri Matra Terpadu.
Memang ada pendapat bahwa untuk gelar penindakan di ALKI saat ini kondisinya dihadapkan pada keterbatasan alutsista. Pendapat demikian bisa dibenarkan, tetapi apakah lantas tidak ada cara agar ALKI bisa lebih diawasi? Kalau memang untuk fire power kita masih terbatas, ada baiknya bila yang diperkuat adalah sensing.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak radar pengamatan maritim dan radar hanud di sekitar ALKI? Dari situ saja bisa terlihat bahwa strategi pertahanan negeri ini tidak menempatkan ALKI pada posisi yang sepantasnya. Bila strateginya saja demikian, tidak aneh bila dalam force planning-nya kurang memperhatikan soal ALKI.
Kenapa ALKI harus diperhatikan dan perlu perhatian khusus? ALKI membuat Indonesia terbagi atas empat wilayah. Kalau saja ALKI II diblokade oleh asing, jalur laut dan udara antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur dipastikan putus. Pernahkah dipikirkan skenario demikian dalam rencana kontinjensi kita?
Skenario demikian menurut saya lebih realistis daripada skenario invasi asing yang menduduki semua wilayah negeri ini. Kalau ditanya soal pemicu skenario pemutusan ALKI oleh pihak asing, sangat banyak. Misalnya pihak asing merasa Indonesia membatasi freedom of navigation mereka atau Indonesia tidak kooperatif dengan mereka dalam isu tertentu yang menyangkut kepentingan nasional mereka yang vital.
Bisa pula penyebabnya adalah gejolak politik di wilayah tertentu di Indonesia Timur yang membuat pihak asing merasa harus terlibat langsung secara militer.
Berbicara soal skenario harus think out of the box. Jangan pernah berpendapat, “Oh…itu tidak mungkin…ini tidak mungkin dan lain sebagainya”.
Kembali ke isu pokok, mau kita apakan ALKI? Kalau dengan tiga ALKI saja kita tidak tahu harus berbuat apa, lalu bagaimana bila ada ALKI keempat?
Eksistensi ALKI merupakan konsekuensi dari tuntutan Indonesia agar statusnya diakui sebagai negara kepulauan dalam hukum laut internasional. Dengan kata lain, ada proses take and give antara pihak internasional, khususnya negara-negara pengguna perairan Indonesia dengan Indonesia menyangkut status negara kepulauan. Sebagai “balasan” dari diakomodasinya tuntutan Indonesia dalam hukum laut internasional, Indonesia harus merelakan sebagian wilayahnya dijadikan alur laut bagi kapal perang asing yang melintas. Persetujuan Indonesia mengenai penyediaan alur laut juga didorong oleh pendapat bahwa dengan menyediakan lintasan tersebut, akan lebih mudah mengawasi lalu lintas kapal perang yang melintas di perairan Indonesia.
Pendapat demikian memang benar adanya, tetapi dalam praktek Indonesia tidak bisa memaksa semua kapal perang yang melintas perairannya harus melalui ALKI. Sebab pada kenyataannya dalam hukum laut internasional masih ada dua rezim lain, yaitu lintas damai dan lintas transit.
Sampai sekarang Indonesia masih didesak oleh Amerika Serikat dan Australia untuk segera menetapkan ALKI Timur-Barat, karena mereka berpendapat bahwa perairan itu juga merupakan perlintasan kapal perang dari zaman dahulu (setidaknya sejak era Perang Dingin). Indonesia sampai kini masih bergeming soal itu, walaupun memang dalam Sidang IMO 1996 di London secara eksplisit Indonesia menyatakan masih akan ada penetapan ALKI lainnya selain ALKI Utara-Selatan.
ALKI Utara-Selatan secara hukum sudah eksis sejak beberapa tahun silam. Pertanyaannya adalah mau kita apakan ALKI yang sudah eksis tersebut? Selama ini dalam Strategi Pertahanan, ALKI terkesan hanya sebagai bahan latar belakang dan atau pertimbangan belaka, tetapi strategi yang dikembangkan tidak mengarah pada mau diapakan ALKI itu.
Sebagai contoh, apakah dislokasi kekuatan pertahanan juga mengacu pada ALKI? Seberapa banyak gelar kekuatan di sekitar ketiga ALKI? Gelar kekuatan yang dimaksud lebih pada gelar penindakan, bukan gelar permanen berupa kehadiran pangkalan AL dan AU. Kalau sekedar gelar permanen sih banyak, tetapi seberapa mampu pangkalan-pangkalan itu mengamankan ALKI?
Beberapa tahun lalu, usulan AL tentang validasi Armada yang salah satu pertimbangan obyektifnya adalah eksistensi ketiga ALKI belum disetujui oleh Mabes TNI. Alasannya macam-macam, antara lain harus disinkronisasikan dengan rencana pembuatan Kowilhan. Namun sampai sekarang ide Kowilhan itu tidak jelas kelanjutannya, sedangkan di sisi lain Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan Tri Matra Terpadu.
Memang ada pendapat bahwa untuk gelar penindakan di ALKI saat ini kondisinya dihadapkan pada keterbatasan alutsista. Pendapat demikian bisa dibenarkan, tetapi apakah lantas tidak ada cara agar ALKI bisa lebih diawasi? Kalau memang untuk fire power kita masih terbatas, ada baiknya bila yang diperkuat adalah sensing.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak radar pengamatan maritim dan radar hanud di sekitar ALKI? Dari situ saja bisa terlihat bahwa strategi pertahanan negeri ini tidak menempatkan ALKI pada posisi yang sepantasnya. Bila strateginya saja demikian, tidak aneh bila dalam force planning-nya kurang memperhatikan soal ALKI.
Kenapa ALKI harus diperhatikan dan perlu perhatian khusus? ALKI membuat Indonesia terbagi atas empat wilayah. Kalau saja ALKI II diblokade oleh asing, jalur laut dan udara antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur dipastikan putus. Pernahkah dipikirkan skenario demikian dalam rencana kontinjensi kita?
Skenario demikian menurut saya lebih realistis daripada skenario invasi asing yang menduduki semua wilayah negeri ini. Kalau ditanya soal pemicu skenario pemutusan ALKI oleh pihak asing, sangat banyak. Misalnya pihak asing merasa Indonesia membatasi freedom of navigation mereka atau Indonesia tidak kooperatif dengan mereka dalam isu tertentu yang menyangkut kepentingan nasional mereka yang vital.
Bisa pula penyebabnya adalah gejolak politik di wilayah tertentu di Indonesia Timur yang membuat pihak asing merasa harus terlibat langsung secara militer.
Berbicara soal skenario harus think out of the box. Jangan pernah berpendapat, “Oh…itu tidak mungkin…ini tidak mungkin dan lain sebagainya”.
Kembali ke isu pokok, mau kita apakan ALKI? Kalau dengan tiga ALKI saja kita tidak tahu harus berbuat apa, lalu bagaimana bila ada ALKI keempat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar