All hands,
Strategi yang dianut oleh Angkatan Laut akan menentukan pembangunan kekuatan yang dilakukan. Strategi akan mendikte sistem senjata apa saja yang dibutuhkan. Pembangunan kekuatan merupakan penjabaran dari strategi, yang mana salah satu means-nya adalah senjata dan sistem pendukungnya. Agar strategi dapat terwujud, dibutuhkan konsisten dalam pembangunan kekuatan.
Sampai saat ini kita masih menganut SPLN. Lepas dari banyak pendapat soal SPLN, strategi itu masih berlaku hingga kini. Berangkat dari situ, perlu direnungkan kembali apakah pembangunan kekuatan selama ini mengacu pada SPLN. Sebagai contoh, dalam SPLN mengenal forward strategy melalui forward defense. Lalu apakah pembangunan kekuatan kita selama ini salah satunya mengarah pada forward defense?
Untuk dapat mewujudkan forward defense, diperlukan alutsista kapal perang kelas fregat ke atas, (minimal) kapal angkut helikopter, kapal selam ocean going serta pesawat patroli maritim yang endurance-nya paling tidak delapan jam. Sebab kapal perang itu akan beroperasi di wilayah perairan dengan sea state di atas 3.
Mengacu pada Postur Pertahanan 2010-2029, sepertinya arah pembangunan kekuatan laut masih jauh dari upaya mewujudkan SPLN. Apa penyebabnya? Kalau ada pihak yang beranggapan bahwa hal itu terkait dengan ketersediaan anggaran, mungkin ada benarnya. Tetapi ada hal yang melampaui itu, yah tidak match-nya antara strategi Angkatan Laut dengan strategi pertahanan yang dipegang oleh Departemen Pertahanan.
Dalam Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, tidak sedikit pun disinggung tentang SPLN. Hanya disebutkan bahwa “Tindakan militer untuk menghadang serangan atau agresi negara lain dalam rangka preemptive dilaksanakan dengan mengerahkan kekuatan TNI sejauh mungkin sebelum musuh memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia”. Menurut saya itu bukan SPLN, itu hanya soal forward defense. Forward defense tidak identik dengan SPLN, tetapi dalam SPLN terdapat forward defense.
Meskipun dalam Strategi Pertahanan terdapat keinginan untuk bertempur di luar ZEE (entah siapa musuhnya), namun dalam Postur Pertahanan 2010-2029 tidak tampak jelas pembangunan kekuatan diarahkan ke situ bagi AL. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada keterputusan antara strategi dengan pembangunan kekuatan. Itu kesimpulan saya yang selama ini menekuni bidang strategi dan pembangunan kekuatan, entah kalau ada pihak lain yang berpendapat lain.
So what? Sebaiknya para perencana pertahanan, baik di TNI maupun Departemen Pertahanan, memahami kembali soal strategi dan pembangunan kekuatan. Sehingga missing link antara keduanya yang selama ini sering terjadi tidak terulang lagi di masa depan.
Strategi yang dianut oleh Angkatan Laut akan menentukan pembangunan kekuatan yang dilakukan. Strategi akan mendikte sistem senjata apa saja yang dibutuhkan. Pembangunan kekuatan merupakan penjabaran dari strategi, yang mana salah satu means-nya adalah senjata dan sistem pendukungnya. Agar strategi dapat terwujud, dibutuhkan konsisten dalam pembangunan kekuatan.
Sampai saat ini kita masih menganut SPLN. Lepas dari banyak pendapat soal SPLN, strategi itu masih berlaku hingga kini. Berangkat dari situ, perlu direnungkan kembali apakah pembangunan kekuatan selama ini mengacu pada SPLN. Sebagai contoh, dalam SPLN mengenal forward strategy melalui forward defense. Lalu apakah pembangunan kekuatan kita selama ini salah satunya mengarah pada forward defense?
Untuk dapat mewujudkan forward defense, diperlukan alutsista kapal perang kelas fregat ke atas, (minimal) kapal angkut helikopter, kapal selam ocean going serta pesawat patroli maritim yang endurance-nya paling tidak delapan jam. Sebab kapal perang itu akan beroperasi di wilayah perairan dengan sea state di atas 3.
Mengacu pada Postur Pertahanan 2010-2029, sepertinya arah pembangunan kekuatan laut masih jauh dari upaya mewujudkan SPLN. Apa penyebabnya? Kalau ada pihak yang beranggapan bahwa hal itu terkait dengan ketersediaan anggaran, mungkin ada benarnya. Tetapi ada hal yang melampaui itu, yah tidak match-nya antara strategi Angkatan Laut dengan strategi pertahanan yang dipegang oleh Departemen Pertahanan.
Dalam Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, tidak sedikit pun disinggung tentang SPLN. Hanya disebutkan bahwa “Tindakan militer untuk menghadang serangan atau agresi negara lain dalam rangka preemptive dilaksanakan dengan mengerahkan kekuatan TNI sejauh mungkin sebelum musuh memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia”. Menurut saya itu bukan SPLN, itu hanya soal forward defense. Forward defense tidak identik dengan SPLN, tetapi dalam SPLN terdapat forward defense.
Meskipun dalam Strategi Pertahanan terdapat keinginan untuk bertempur di luar ZEE (entah siapa musuhnya), namun dalam Postur Pertahanan 2010-2029 tidak tampak jelas pembangunan kekuatan diarahkan ke situ bagi AL. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada keterputusan antara strategi dengan pembangunan kekuatan. Itu kesimpulan saya yang selama ini menekuni bidang strategi dan pembangunan kekuatan, entah kalau ada pihak lain yang berpendapat lain.
So what? Sebaiknya para perencana pertahanan, baik di TNI maupun Departemen Pertahanan, memahami kembali soal strategi dan pembangunan kekuatan. Sehingga missing link antara keduanya yang selama ini sering terjadi tidak terulang lagi di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar