All hands,
Konsep SPLN yang hingga kini masih dianut merupakan buah pemikiran strategis AL di era 1970-an hingga 1980-an. Paradigma yang memberi warna pada SPLN tidak dapat dilepaskan dari lingkungan strategis saat itu. Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila dalam SPLN dikenal adanya zona pertahanan di ZEE, yang menuntut AL negeri ini untuk mampu bertempur di perairan dengan sea state di atas 3 tersebut.
Situasi lingkungan keamanan di dekade pertama abad ke-21 dan kita akan segera menyongsong dekade kedua abad ini sudah sangat jauh berbeda dari kondisi ketika SPLN dirumuskan. Yang tidak berubah cuma satu, yaitu kepentingan nasional masing-masing bangsa di kawasan ini, termasuk bangsa Indonesia. Dihadapkan pada kondisi demikian, menurut hemat saya sudah sepantasnya bila SPLN direaktualisasi agar sesuai dengan situasi kekinian.
Adapun hal-hal yang mesti direaktualisasi ada beberapa. Soal opsgab merupakan hal pertama. Sudah menjadi persyaratan bahwa major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut masa kini tidak akan pernah mencapai desired strategic objective bila dilakukan sendirian. Operasi Angkatan Laut masa kini dan masa depan harus senantiasa berada dalam bingkai opsgab. SPLN yang saat ini berlaku sepertinya tidak berangkat dari cara berpikir demikian.
Persepsi terhadap ancaman adalah hal berikutnya. Ancaman dan atau tantangan masa kini datangnya tak terbatas dari aktor negara, tetapi sangat mungkin pula dari aktor non negara. Di samping itu, ancaman terhadap republik ini kecil kemungkinannya berupa invasi militer asing untuk menduduki wilayah. Sebaliknya, probabilitas ancaman datang dari isu seperti kebebasan bernavigasi, klaim maritim, keamanan maritim, keamanan energi yang lain sebagainya.
Probabilitas ancaman demikian kecil kemungkinannya muncul ketika SPLN yang saat ini berlaku disusun. Di masa itu persepsi terhadap ancaman nampaknya antara lain masih menekankan pada invasi militer asing, terlebih lagi saat itu secara politik Cina adalah musuh negeri ini. Sehingga bukan suatu hal yang keliru bila para pemikir strategi AL di masa itu menempatkan kemampuan bertempur di ZEE sebagai salah satu prioritas.
Perkembangan teknologi juga tidak boleh dilupakan dalam mereaktualisasi SPLN. Sebab teknologi militer masa kini dan masa depan makin mematikan dengan mengandalkan pada NCW serta makin berperannya wahana tak berawak dalam major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut. Semua itu adalah hasil dari RMA yang ketika SPLN dirumuskan, RMA baru pada tahap awal pengembangan yang dipelopori oleh Angkatan Bersenjata Uni Soviet.
Setidaknya tiga pertimbangan tersebut menjadi alasan mengapa SPLN menurut hemat saya perlu direaktualisasikan. Dalam SPLN salah satu penekanan adalah kemampuan untuk bertempur di ZEE. Keinginan tersebut hingga saat ini belum tercapai, karena pengadaan kapal perang baru sebagian besar opsreq-nya tidak dirancang untuk mampu beroperasi di ZEE.
Berangkat dari kondisi seperti itu, dengan kemampuan yang ada saat ini dan mungkin hingga akhir dekade kedua abad ke-21, sebaiknya kemampuan untuk bertempur di ZEE tidak terlalu diprioritaskan. Sebab baik dalam Renstra 2005-2009 maupun 2010-2014 saja pengadaan alutsista yang mampu beroperasi di ZEE jumlahnya tidak banyak. Keinginan untuk beroperasi di ZEE tetap harus kita idamkan, tetapi perwujudannya harus bertahap. Ancaman dan atau tantangan yang ada saat ini sebagian besar bukan datang dari ZEE, tetapi dari perairan yurisdiksi kita yang menjadi perlintasan kapal asing, baik kapal perang maupun kapal niaga. Begitu pula dengan konflik maritim, seperti di Laut Sulawesi atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah lainnya yang disengaja.
Apabila kapal-kapal itu tidak mampu kita awasi ketika melintas di perairan yurisdiksi, bukan suatu hal yang mustahil mereka akan melakuan pelecahan. Itulah yang terjadi dalam kasus Laut Jawa (Bawean) Juli 2003. Itu pula yang terjadi dengan pelanggaran berulang kali dari negeri tukang klaim terhadap wilayah perairan Indonesia. Hal serupa juga dilakukan oleh patroli negeri kecil yang kaya, licik, rakus dan menjadi tempat penampungan uang hasil korupsi di perairan Kepulauan Riau dan sekitarnya.
Konsep SPLN yang hingga kini masih dianut merupakan buah pemikiran strategis AL di era 1970-an hingga 1980-an. Paradigma yang memberi warna pada SPLN tidak dapat dilepaskan dari lingkungan strategis saat itu. Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila dalam SPLN dikenal adanya zona pertahanan di ZEE, yang menuntut AL negeri ini untuk mampu bertempur di perairan dengan sea state di atas 3 tersebut.
Situasi lingkungan keamanan di dekade pertama abad ke-21 dan kita akan segera menyongsong dekade kedua abad ini sudah sangat jauh berbeda dari kondisi ketika SPLN dirumuskan. Yang tidak berubah cuma satu, yaitu kepentingan nasional masing-masing bangsa di kawasan ini, termasuk bangsa Indonesia. Dihadapkan pada kondisi demikian, menurut hemat saya sudah sepantasnya bila SPLN direaktualisasi agar sesuai dengan situasi kekinian.
Adapun hal-hal yang mesti direaktualisasi ada beberapa. Soal opsgab merupakan hal pertama. Sudah menjadi persyaratan bahwa major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut masa kini tidak akan pernah mencapai desired strategic objective bila dilakukan sendirian. Operasi Angkatan Laut masa kini dan masa depan harus senantiasa berada dalam bingkai opsgab. SPLN yang saat ini berlaku sepertinya tidak berangkat dari cara berpikir demikian.
Persepsi terhadap ancaman adalah hal berikutnya. Ancaman dan atau tantangan masa kini datangnya tak terbatas dari aktor negara, tetapi sangat mungkin pula dari aktor non negara. Di samping itu, ancaman terhadap republik ini kecil kemungkinannya berupa invasi militer asing untuk menduduki wilayah. Sebaliknya, probabilitas ancaman datang dari isu seperti kebebasan bernavigasi, klaim maritim, keamanan maritim, keamanan energi yang lain sebagainya.
Probabilitas ancaman demikian kecil kemungkinannya muncul ketika SPLN yang saat ini berlaku disusun. Di masa itu persepsi terhadap ancaman nampaknya antara lain masih menekankan pada invasi militer asing, terlebih lagi saat itu secara politik Cina adalah musuh negeri ini. Sehingga bukan suatu hal yang keliru bila para pemikir strategi AL di masa itu menempatkan kemampuan bertempur di ZEE sebagai salah satu prioritas.
Perkembangan teknologi juga tidak boleh dilupakan dalam mereaktualisasi SPLN. Sebab teknologi militer masa kini dan masa depan makin mematikan dengan mengandalkan pada NCW serta makin berperannya wahana tak berawak dalam major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut. Semua itu adalah hasil dari RMA yang ketika SPLN dirumuskan, RMA baru pada tahap awal pengembangan yang dipelopori oleh Angkatan Bersenjata Uni Soviet.
Setidaknya tiga pertimbangan tersebut menjadi alasan mengapa SPLN menurut hemat saya perlu direaktualisasikan. Dalam SPLN salah satu penekanan adalah kemampuan untuk bertempur di ZEE. Keinginan tersebut hingga saat ini belum tercapai, karena pengadaan kapal perang baru sebagian besar opsreq-nya tidak dirancang untuk mampu beroperasi di ZEE.
Berangkat dari kondisi seperti itu, dengan kemampuan yang ada saat ini dan mungkin hingga akhir dekade kedua abad ke-21, sebaiknya kemampuan untuk bertempur di ZEE tidak terlalu diprioritaskan. Sebab baik dalam Renstra 2005-2009 maupun 2010-2014 saja pengadaan alutsista yang mampu beroperasi di ZEE jumlahnya tidak banyak. Keinginan untuk beroperasi di ZEE tetap harus kita idamkan, tetapi perwujudannya harus bertahap. Ancaman dan atau tantangan yang ada saat ini sebagian besar bukan datang dari ZEE, tetapi dari perairan yurisdiksi kita yang menjadi perlintasan kapal asing, baik kapal perang maupun kapal niaga. Begitu pula dengan konflik maritim, seperti di Laut Sulawesi atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah lainnya yang disengaja.
Apabila kapal-kapal itu tidak mampu kita awasi ketika melintas di perairan yurisdiksi, bukan suatu hal yang mustahil mereka akan melakuan pelecahan. Itulah yang terjadi dalam kasus Laut Jawa (Bawean) Juli 2003. Itu pula yang terjadi dengan pelanggaran berulang kali dari negeri tukang klaim terhadap wilayah perairan Indonesia. Hal serupa juga dilakukan oleh patroli negeri kecil yang kaya, licik, rakus dan menjadi tempat penampungan uang hasil korupsi di perairan Kepulauan Riau dan sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar