All hands,
Pada Januari 2009 para pakar kapal selam Australia bersama dengan Royal Australian Navy berkumpul dalam sebuah kegiatan yang diprakarsai oleh The Submarine Institute of Australia. Kegiatan tersebut berlangsung di tengah menurunnya kemampuan operasional kapal selam Collins karena beragam sebab dan juga beberapa kasus kecelakaan saat menyelam. Dalam lokakarya tersebut, para praktisi dan pakar membahas tentang peningkatan kemampuan peperangan bawah air negeri itu, khususnya kapal selam.
Salah satu yang dibahas adalah menyangkut Future Submarine yang direncanakan akan menjalani sea trial pada 2022. Untuk pengembangan Future Submarine, selain didasarkan pada pengalaman mengembangkan kelas Collins, Australia juga masih akan mengandalkan bantuan teknologi kapal selam dari Amerika Serikat dan Eropa.
Soal sampai tingkat apa teknologi yang akan diberikan oleh Amerika Serikat dan Eropa, masih menjadi tanda tanya. Sebab belajar dari kasus F-35 yang rencananya akan memperkuat Royal Australian Air Force, ternyata teknologi yang diberikan oleh Amerika Serikat adalah “versi ekspor”. Artinya sistem senjata dan kemampuan F-35 RAAF tidak akan sama dengan F-35 yang dioperasikan oleh U.S. Air Force.
Australia sudah merancang timescales untuk Future Submarine, yang dimulai pada 2008 dan akan “diakhiri” dengan penyerahan kapal selam pertama pada 2022. Sebab pada 2025 kapal selam Collins akan berusia 30 tahun dalam berdinas di susunan tempur RAN.
Sikap Australia yang berkeras untuk merancangkan kapal selam baru tidak dapat dilepaskan dari lingkungan keamanan kawasan yang sebagian didominasi oleh kapal selam buatan Rusia. Dan rata-rata negara-negara yang telah dan akan mengoperasikan kapal selam produksi Rusia mempunyai sikap politik yang kurang disukai oleh Australia.
Pada sisi lain, meskipun Australia mampu membeli kapal selam dari Eropa, namun keinginan untuk mempunyai kapal selam yang tidak dioperasikan oleh negara-negara lain lebih kuat. Hal serupa juga terjadi pada kelas Collins, yang tebusannya ternyata cukup mahal. Sebab rancang bangun kapal selam yang aslinya dikembangkan oleh Swedia tersebut dibongkar habis oleh Australia. Misalnya peningkatan dimensi kapal selam yang berakibat pada banyak hal, antara lain tingginya tingkat kebisingan kapal selam itu dibandingkan aslinya.
Meskipun sebuah media cetak terkemuka di Australia memprediksi bahwa pengembangan kapal selam baru oleh Australia akan menimbulkan major diplomatik consequences dengan Jakarta (dan Beijing), menurut hemat saya tidak banyak pihak yang peduli dengan soal itu di Indonesia. Jangan berharap Departemen Pertahanan akan memberikan perhatian layak terhadap isu pengembangan kapal selam Australia. Apalagi Departemen Luar misalnya. Paling yang “grundel” kita yang di AL, itu pun di bawah tangan. Sulit untuk bagi AL secara institusi untuk blak-blakan, soalnya nanti pasti ada yang sakit gigi di hirarki yang lebih atas dari AL.
Contohnya saja pengadaan kapal selam Kilo. Pengadaan kapal selam itu yang terkesan sangat sulit tersebut tidak lepas dari rantai birokrasi di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Belum lagi rantai birokrasi di Departemen Keuangan dan Bappenas. Dan tidak semua pihak di birokrasi tersebut setuju dan atau suka AL kita mengoperasikan Kilo. Apakah tidak setuju dan atau tidak suka murni karena pertimbangan teknis ataukah karena pesan sponsor dari seberang lautan, entahlah!!! Wallahu alam bissawab…
Pada Januari 2009 para pakar kapal selam Australia bersama dengan Royal Australian Navy berkumpul dalam sebuah kegiatan yang diprakarsai oleh The Submarine Institute of Australia. Kegiatan tersebut berlangsung di tengah menurunnya kemampuan operasional kapal selam Collins karena beragam sebab dan juga beberapa kasus kecelakaan saat menyelam. Dalam lokakarya tersebut, para praktisi dan pakar membahas tentang peningkatan kemampuan peperangan bawah air negeri itu, khususnya kapal selam.
Salah satu yang dibahas adalah menyangkut Future Submarine yang direncanakan akan menjalani sea trial pada 2022. Untuk pengembangan Future Submarine, selain didasarkan pada pengalaman mengembangkan kelas Collins, Australia juga masih akan mengandalkan bantuan teknologi kapal selam dari Amerika Serikat dan Eropa.
Soal sampai tingkat apa teknologi yang akan diberikan oleh Amerika Serikat dan Eropa, masih menjadi tanda tanya. Sebab belajar dari kasus F-35 yang rencananya akan memperkuat Royal Australian Air Force, ternyata teknologi yang diberikan oleh Amerika Serikat adalah “versi ekspor”. Artinya sistem senjata dan kemampuan F-35 RAAF tidak akan sama dengan F-35 yang dioperasikan oleh U.S. Air Force.
Australia sudah merancang timescales untuk Future Submarine, yang dimulai pada 2008 dan akan “diakhiri” dengan penyerahan kapal selam pertama pada 2022. Sebab pada 2025 kapal selam Collins akan berusia 30 tahun dalam berdinas di susunan tempur RAN.
Sikap Australia yang berkeras untuk merancangkan kapal selam baru tidak dapat dilepaskan dari lingkungan keamanan kawasan yang sebagian didominasi oleh kapal selam buatan Rusia. Dan rata-rata negara-negara yang telah dan akan mengoperasikan kapal selam produksi Rusia mempunyai sikap politik yang kurang disukai oleh Australia.
Pada sisi lain, meskipun Australia mampu membeli kapal selam dari Eropa, namun keinginan untuk mempunyai kapal selam yang tidak dioperasikan oleh negara-negara lain lebih kuat. Hal serupa juga terjadi pada kelas Collins, yang tebusannya ternyata cukup mahal. Sebab rancang bangun kapal selam yang aslinya dikembangkan oleh Swedia tersebut dibongkar habis oleh Australia. Misalnya peningkatan dimensi kapal selam yang berakibat pada banyak hal, antara lain tingginya tingkat kebisingan kapal selam itu dibandingkan aslinya.
Meskipun sebuah media cetak terkemuka di Australia memprediksi bahwa pengembangan kapal selam baru oleh Australia akan menimbulkan major diplomatik consequences dengan Jakarta (dan Beijing), menurut hemat saya tidak banyak pihak yang peduli dengan soal itu di Indonesia. Jangan berharap Departemen Pertahanan akan memberikan perhatian layak terhadap isu pengembangan kapal selam Australia. Apalagi Departemen Luar misalnya. Paling yang “grundel” kita yang di AL, itu pun di bawah tangan. Sulit untuk bagi AL secara institusi untuk blak-blakan, soalnya nanti pasti ada yang sakit gigi di hirarki yang lebih atas dari AL.
Contohnya saja pengadaan kapal selam Kilo. Pengadaan kapal selam itu yang terkesan sangat sulit tersebut tidak lepas dari rantai birokrasi di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Belum lagi rantai birokrasi di Departemen Keuangan dan Bappenas. Dan tidak semua pihak di birokrasi tersebut setuju dan atau suka AL kita mengoperasikan Kilo. Apakah tidak setuju dan atau tidak suka murni karena pertimbangan teknis ataukah karena pesan sponsor dari seberang lautan, entahlah!!! Wallahu alam bissawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar