All hands,
Dalam menyusun strategi pertahanan, salah satu variabel yang harus diperhitungkan dengan cermat adalah cost. Sekali lagi, cost di sini mencakup aspek moneter dan non moneter. Yang termasuk non moneter di antaranya adalah personel, teknologi, organisasi dan aliansi atau kerjasama dengan negara-negara lain. Adapun menyangkut moneter sudah pasti terkait dengan sumber daya yang diperlukan sebagai konsekuensi dari strategi yang dipilih.
Dengan pengantar singkat demikian, mari kita bawa alam berpikir itu kepada kondisi Indonesia kekinian. Pernahkah kita mencoba menghitung antara strategi yang saat ini digunakan dengan cost yang harus ditanggung? Untuk bisa menghitung hal tersebut, kita harus berangkat dari paradigma bahwa cost mengikuti strategi, bukan strategi mengikuti cost.
Kalau kita mencoba menghitung strategi pertahanan saat ini dengan TNI sebagai ujung tombaknya, sulit untuk menemukan cost yang pasti. Abaikan dahulu menghitung cost komponen non moneter, cukup hitung saja cost komponen moneter. Mengapa sulit menemukan cost yang dibutuhkan? Karena ketiga matra TNI mempunyai strategi masing-masing yang tidak akan pernah match untuk interoperability dalam opsgab.
AD masih yakin dengan pertahanan pulau besar, AL masih memegang SPLN, sementara AU juga punya strategi sendiri yang entah namanya apa. Adanya mismatch dalam strategi pertahanan sudah pasti berpotensi menimbulkan pemborosan. Dengan tiga strategi pertahanan, berarti ada satu ends yang sama dengan tiga strategi yang berbeda, sehingga membuat cost pun harus dibagi tiga.
Berangkat dari kondisi demikian, wajar saja bila ada yang berpendapat bahwa materi Defense Resources Management yang dianut di Amerika Serikat apabila diterapkan di negeri ini akan membuat “ambruk” manajemen pertahanan Indonesia. Sebab cost yang untuk komponen moneter saja tidak akan pernah match dengan strategi.
Strategi merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Reduksi terhadap suatu strategi berarti membuka pintu kesempatan kepada pihak lawan untuk lebih banyak mengeksploitasi kelemahan kita. Bertolak dari persepsi demikian, maka tidak ada pilihan lain kecuali anggaran harus mengikuti strategi.
Mari kita jujur pada diri sendiri, apakah SPLN yang selama ini dianut secara resmi mendapat pendanaan yang cukup dari pemerintah untuk mewujudkannya? Jawaban atas pertanyaan itu kita sudah ketahui bersama. Artinya unsur-unsur di pemerintahan yang bertanggungjawab soal pertahanan dan keuangan sebagian besar tidak paham apa itu strategi dan bagaimana hubungannya dengan cost.
Juga merupakan suatu kesalahan sangat fatal bila memperlakukan cost di bidang pertahanan sebagai pemborosan. Sebab di mana pun di dunia, bidang pertahanan bukan penghasil keuntungan seperti BUMN. Investasi di bidang pertahanan hanya bisa dilihat hasilnya ketika muncul perang atau konflik.
Kalau dalam perang atau konflik militer gagal mengamankan kepentingan nasional, baru dari situ bisa diusut apa saja yang salah. Jangan selalu langsung menyalahkan para Laksamana, Marsekal dan Jenderal, sebab mereka pada dasarnya adalah pelaksana dari strategi pertahanan yang dianut. Artinya ada yang menyusun strategi tersebut dan secara politik dan hukum, penyusunan strategi pertahanan bukan domain militer.
Dalam menyusun strategi pertahanan, salah satu variabel yang harus diperhitungkan dengan cermat adalah cost. Sekali lagi, cost di sini mencakup aspek moneter dan non moneter. Yang termasuk non moneter di antaranya adalah personel, teknologi, organisasi dan aliansi atau kerjasama dengan negara-negara lain. Adapun menyangkut moneter sudah pasti terkait dengan sumber daya yang diperlukan sebagai konsekuensi dari strategi yang dipilih.
Dengan pengantar singkat demikian, mari kita bawa alam berpikir itu kepada kondisi Indonesia kekinian. Pernahkah kita mencoba menghitung antara strategi yang saat ini digunakan dengan cost yang harus ditanggung? Untuk bisa menghitung hal tersebut, kita harus berangkat dari paradigma bahwa cost mengikuti strategi, bukan strategi mengikuti cost.
Kalau kita mencoba menghitung strategi pertahanan saat ini dengan TNI sebagai ujung tombaknya, sulit untuk menemukan cost yang pasti. Abaikan dahulu menghitung cost komponen non moneter, cukup hitung saja cost komponen moneter. Mengapa sulit menemukan cost yang dibutuhkan? Karena ketiga matra TNI mempunyai strategi masing-masing yang tidak akan pernah match untuk interoperability dalam opsgab.
AD masih yakin dengan pertahanan pulau besar, AL masih memegang SPLN, sementara AU juga punya strategi sendiri yang entah namanya apa. Adanya mismatch dalam strategi pertahanan sudah pasti berpotensi menimbulkan pemborosan. Dengan tiga strategi pertahanan, berarti ada satu ends yang sama dengan tiga strategi yang berbeda, sehingga membuat cost pun harus dibagi tiga.
Berangkat dari kondisi demikian, wajar saja bila ada yang berpendapat bahwa materi Defense Resources Management yang dianut di Amerika Serikat apabila diterapkan di negeri ini akan membuat “ambruk” manajemen pertahanan Indonesia. Sebab cost yang untuk komponen moneter saja tidak akan pernah match dengan strategi.
Strategi merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Reduksi terhadap suatu strategi berarti membuka pintu kesempatan kepada pihak lawan untuk lebih banyak mengeksploitasi kelemahan kita. Bertolak dari persepsi demikian, maka tidak ada pilihan lain kecuali anggaran harus mengikuti strategi.
Mari kita jujur pada diri sendiri, apakah SPLN yang selama ini dianut secara resmi mendapat pendanaan yang cukup dari pemerintah untuk mewujudkannya? Jawaban atas pertanyaan itu kita sudah ketahui bersama. Artinya unsur-unsur di pemerintahan yang bertanggungjawab soal pertahanan dan keuangan sebagian besar tidak paham apa itu strategi dan bagaimana hubungannya dengan cost.
Juga merupakan suatu kesalahan sangat fatal bila memperlakukan cost di bidang pertahanan sebagai pemborosan. Sebab di mana pun di dunia, bidang pertahanan bukan penghasil keuntungan seperti BUMN. Investasi di bidang pertahanan hanya bisa dilihat hasilnya ketika muncul perang atau konflik.
Kalau dalam perang atau konflik militer gagal mengamankan kepentingan nasional, baru dari situ bisa diusut apa saja yang salah. Jangan selalu langsung menyalahkan para Laksamana, Marsekal dan Jenderal, sebab mereka pada dasarnya adalah pelaksana dari strategi pertahanan yang dianut. Artinya ada yang menyusun strategi tersebut dan secara politik dan hukum, penyusunan strategi pertahanan bukan domain militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar