All hands,
Bagi sejumlah Angkatan Laut yang menerapkan forward presence, masalah jarak antara negara induk dengan kawasan di mana digelar forward presence memperoleh perhatian tersendiri. Tyranny of distance akan mengemuka ketika muncul krisis, yang mana krisis tersebut harus direspon dengan cepat. Antara lain dalam bentuk penyebaran kekuatan militer guna memperkuat kekuatan laut yang tengah melaksanakan forward presence.
Sebagai contoh, apabila timbul krisis di Teluk Persia, kekuatan U.S. Navy yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut (Armada Kelima) harus diperkuat dengan kekuatan lainnya yang biasanya didatangkan dari Armada Ketujuh atau armada yang berada di Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Tentu saja untuk menyebarkan kekuatan tersebut butuh waktu beberapa hari, padahal di sisi lain krisis yang terjadi biasanya berkembang dalam hitungan jam.
Indonesia sebenarnya juga menghadapi tyranny of distance, meskipun jarang disorot atau kurang disadari. Sebab meskipun AL kita tidak melaksanakan forward presence, akan tetapi untuk merespon krisis di suatu wilayah rata-rata membutuhkan waktu beberapa hari. Sebab kekuatan utama AL terpusat di Pulau Jawa, sementara wilayah yang sering terkena krisis adalah di luar Jawa.
Krisis yang dimaksud tidak mesti krisis politik saja, tetapi mencakup pula bencana alam. Sebagai contoh, waktu tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, berapa hari yang diperlukan oleh kapal perang yang berangkat dari pangkalan di Pulau Jawa untuk sampai di lokasi bencana. Itulah tyranny of distance.
Contoh tersebut baru pada masalah bencana alam. Belum lagi bila krisis yang terjadi adalah krisis militer antar negara, entah itu serangan terbatas dan lain sebagainya. Hal demikian merupakan tantangan yang harus dipecahkan dalam perencanaan pertahanan.
Sebab respon pertama terhadap krisis akan menentukan course of action dari krisis itu. Apakah course of action-nya in favor of kepentingan kita atau sebaliknya merugikan kita. Tidak aneh bila dalam strategi pertahanan di banyak negara, kemampuan Angkatan Laut untuk merespon krisis merupakan sesuatu yang wajib untuk dimiliki.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Angkatan Laut dirancang sebagai crisis responder, yang berkonsekuensi pada tingginya kesiapan operasional unsur-unsur Angkatan Laut. Dikaitkan dengan tyranny of distance, biasanya dalam perencanaan strategis telah diidentifikan wilayah mana saja yang probabilitasnya besar untuk pecahnya krisis. Sehingga penyebaran kekuatan laut diprioritaskan pada wilayah-wilayah terdekat, agar dapat segera merespon saat krisis muncul. Dengan demikian tyranny of distance dapat diminimalisasi.
Bagi sejumlah Angkatan Laut yang menerapkan forward presence, masalah jarak antara negara induk dengan kawasan di mana digelar forward presence memperoleh perhatian tersendiri. Tyranny of distance akan mengemuka ketika muncul krisis, yang mana krisis tersebut harus direspon dengan cepat. Antara lain dalam bentuk penyebaran kekuatan militer guna memperkuat kekuatan laut yang tengah melaksanakan forward presence.
Sebagai contoh, apabila timbul krisis di Teluk Persia, kekuatan U.S. Navy yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut (Armada Kelima) harus diperkuat dengan kekuatan lainnya yang biasanya didatangkan dari Armada Ketujuh atau armada yang berada di Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Tentu saja untuk menyebarkan kekuatan tersebut butuh waktu beberapa hari, padahal di sisi lain krisis yang terjadi biasanya berkembang dalam hitungan jam.
Indonesia sebenarnya juga menghadapi tyranny of distance, meskipun jarang disorot atau kurang disadari. Sebab meskipun AL kita tidak melaksanakan forward presence, akan tetapi untuk merespon krisis di suatu wilayah rata-rata membutuhkan waktu beberapa hari. Sebab kekuatan utama AL terpusat di Pulau Jawa, sementara wilayah yang sering terkena krisis adalah di luar Jawa.
Krisis yang dimaksud tidak mesti krisis politik saja, tetapi mencakup pula bencana alam. Sebagai contoh, waktu tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, berapa hari yang diperlukan oleh kapal perang yang berangkat dari pangkalan di Pulau Jawa untuk sampai di lokasi bencana. Itulah tyranny of distance.
Contoh tersebut baru pada masalah bencana alam. Belum lagi bila krisis yang terjadi adalah krisis militer antar negara, entah itu serangan terbatas dan lain sebagainya. Hal demikian merupakan tantangan yang harus dipecahkan dalam perencanaan pertahanan.
Sebab respon pertama terhadap krisis akan menentukan course of action dari krisis itu. Apakah course of action-nya in favor of kepentingan kita atau sebaliknya merugikan kita. Tidak aneh bila dalam strategi pertahanan di banyak negara, kemampuan Angkatan Laut untuk merespon krisis merupakan sesuatu yang wajib untuk dimiliki.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Angkatan Laut dirancang sebagai crisis responder, yang berkonsekuensi pada tingginya kesiapan operasional unsur-unsur Angkatan Laut. Dikaitkan dengan tyranny of distance, biasanya dalam perencanaan strategis telah diidentifikan wilayah mana saja yang probabilitasnya besar untuk pecahnya krisis. Sehingga penyebaran kekuatan laut diprioritaskan pada wilayah-wilayah terdekat, agar dapat segera merespon saat krisis muncul. Dengan demikian tyranny of distance dapat diminimalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar