All hands,
Kerjasama keamanan merupakan salah satu bagian dari kebijakan keamanan nasional di banyak negara. Tujuan dari kerjasama keamanan secara garis besar adalah mempromosikan keamanan kawasan dan sekaligus mempromosikan kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat kerjasama.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang tidak memiliki Strategi Keamanan Nasional. Tidak heran bila untuk manajemen keamanan maritim saja negeri ini sangat amburadul. Ada 13 instansi yang mempunyai kewenangan di laut dan sebagian besar dari instansi itu adalah instansi yang domainnya di daratan. Namun karena di laut menjanjikan uang, mereka berlomba-lomba untuk berpaling ke laut dengan tetap menggunakan paradigma darat.
Sebagai contoh, ada kapal kecelakaan di laut yang dipasangi garis polisi laksana TKP di darat. Ada pula pihak yang bersikeras mengamankan obyek vital yang berada di ZEE, padahal sangat jelas ZEE bukan wilayah kedaulatan Indonesia. Artinya KUHP tidak dapat diterapkan di ZEE dan pihak yang memegang KUHP tidak mempunyai landasan hukum untuk di ZEE. Yang bisa diterapkan di sana adalah beberapa konvensi internasional yang terkait dengan maritim, misalnya SUA dan SUA Protocol.
Kerjasama keamanan sejauh ini hanya diakomodasi dalam Strategi Pertahanan yang ditetapkan oleh Departemen Pertahanan. Penetapan kerjasama keamanan dalam Strategi Pertahanan merupakan langkah yang bagus, karena mustahil untuk mempertahankan negeri yang sangat luas ini dan didominasi oleh lautan tanpa kerjasama dengan negara-negara lain.
Pada domain maritim, kerjasama antar AL dengan negara-negara lain sudah berjalan sejak 1970-an. Apabila ditelusuri lebih jauh, sepertinya pola kerjasamanya dari abad ke-20 hingga abad ini masih begitu-begitu saja. Misalnya untuk patroli masih terus terikat pada bentuk patkor. Belum bisa melangkah ke combined patrol misalnya.
Di sisi lain, negeri ini telah mengadopsi Piagam ASEAN dan ASEAN Security Community (ASC). Salah satu ranah kerjasama dalam ASC adalah ASEAN Maritime Forum, yang digagas oleh “Indonesia”. “Indonesia” yang dimaksud di sini bukan semua instrumen kekuatan nasional Indonesia, tetapi hanya satu instrumen kekuatan nasional saja.
Gagasan ASEAN Maritime Forum ketika digodok pada 2003-2004 sepengetahuan saya tidak pernah didiskusikan secara resmi dengan AL kita sebagai ujung tombak keamanan maritim di negeri ini. Gagasan yang sesungguhnya cemerlang itu hanya digodok oleh pihak-pihak yang tidak pernah mabuk laut, tidak pernah merasakan tidak bersahabatnya perairan negeri ini pada musim-musim tertentu dan tidak pernah mengalami dinamika interaksi di laut secara nyata. Alih-alih mabuk laut, mereka lebih banyak habiskan waktu dari hotel ke hotel, dari seminar ke seminar dan sejenisnya. Namun tanpa sungkan merasa merasa paham dengan domain maritim dengan segala dinamikanya.
Lalu apa yang terjadi saat ini? Berkat inisiatif “Indonesia” tentang ASEAN Maritime Forum, yang mengisi agendanya adalah Singapura dan Malaysia. Mereka dari dulu sudah siap untuk mengisi agenda itu yang tentu saja tak lepas dari kepentingan nasional mereka. Sementara “Indonesia” akan selalu dikenang sejarah sebagai penggagas ASEAN Maritime Forum. That’s all !!!
Kerjasama keamanan merupakan salah satu bagian dari kebijakan keamanan nasional di banyak negara. Tujuan dari kerjasama keamanan secara garis besar adalah mempromosikan keamanan kawasan dan sekaligus mempromosikan kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat kerjasama.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang tidak memiliki Strategi Keamanan Nasional. Tidak heran bila untuk manajemen keamanan maritim saja negeri ini sangat amburadul. Ada 13 instansi yang mempunyai kewenangan di laut dan sebagian besar dari instansi itu adalah instansi yang domainnya di daratan. Namun karena di laut menjanjikan uang, mereka berlomba-lomba untuk berpaling ke laut dengan tetap menggunakan paradigma darat.
Sebagai contoh, ada kapal kecelakaan di laut yang dipasangi garis polisi laksana TKP di darat. Ada pula pihak yang bersikeras mengamankan obyek vital yang berada di ZEE, padahal sangat jelas ZEE bukan wilayah kedaulatan Indonesia. Artinya KUHP tidak dapat diterapkan di ZEE dan pihak yang memegang KUHP tidak mempunyai landasan hukum untuk di ZEE. Yang bisa diterapkan di sana adalah beberapa konvensi internasional yang terkait dengan maritim, misalnya SUA dan SUA Protocol.
Kerjasama keamanan sejauh ini hanya diakomodasi dalam Strategi Pertahanan yang ditetapkan oleh Departemen Pertahanan. Penetapan kerjasama keamanan dalam Strategi Pertahanan merupakan langkah yang bagus, karena mustahil untuk mempertahankan negeri yang sangat luas ini dan didominasi oleh lautan tanpa kerjasama dengan negara-negara lain.
Pada domain maritim, kerjasama antar AL dengan negara-negara lain sudah berjalan sejak 1970-an. Apabila ditelusuri lebih jauh, sepertinya pola kerjasamanya dari abad ke-20 hingga abad ini masih begitu-begitu saja. Misalnya untuk patroli masih terus terikat pada bentuk patkor. Belum bisa melangkah ke combined patrol misalnya.
Di sisi lain, negeri ini telah mengadopsi Piagam ASEAN dan ASEAN Security Community (ASC). Salah satu ranah kerjasama dalam ASC adalah ASEAN Maritime Forum, yang digagas oleh “Indonesia”. “Indonesia” yang dimaksud di sini bukan semua instrumen kekuatan nasional Indonesia, tetapi hanya satu instrumen kekuatan nasional saja.
Gagasan ASEAN Maritime Forum ketika digodok pada 2003-2004 sepengetahuan saya tidak pernah didiskusikan secara resmi dengan AL kita sebagai ujung tombak keamanan maritim di negeri ini. Gagasan yang sesungguhnya cemerlang itu hanya digodok oleh pihak-pihak yang tidak pernah mabuk laut, tidak pernah merasakan tidak bersahabatnya perairan negeri ini pada musim-musim tertentu dan tidak pernah mengalami dinamika interaksi di laut secara nyata. Alih-alih mabuk laut, mereka lebih banyak habiskan waktu dari hotel ke hotel, dari seminar ke seminar dan sejenisnya. Namun tanpa sungkan merasa merasa paham dengan domain maritim dengan segala dinamikanya.
Lalu apa yang terjadi saat ini? Berkat inisiatif “Indonesia” tentang ASEAN Maritime Forum, yang mengisi agendanya adalah Singapura dan Malaysia. Mereka dari dulu sudah siap untuk mengisi agenda itu yang tentu saja tak lepas dari kepentingan nasional mereka. Sementara “Indonesia” akan selalu dikenang sejarah sebagai penggagas ASEAN Maritime Forum. That’s all !!!
Aneh bin ajaib memang, Indonesia yang mempunyai wilayah perairan terluas di Asia Tenggara, akan tetapi yang "mengatur" agenda kerjasama maritim ASEAN adalah negara-negara yang luas perairannya tidak ada apa-apa bila dibandingkan oleh Indonesia. Lebih aneh lagi, di masa lalu Indonesia membolehkan Singapura ikut serta mengurus Selat Malaka yang panjangnya 600 mil laut, padahal tidak ada wilayah perairan Singapura di Selat Malaka. Perairan Singapura yang terhubung dengan Selat Malaka cuma Selat Phillips yang panjangnya cuma 15 mil laut.
Sekarang Piagam ASEAN dan ASEAN Maritime Forum akan segera diimplementasikan. Sangat disayangkan Indonesia tidak bisa berbuat banyak, karena miskin gagasan yang berbasis pada kepentingan nasional. Dengan kata lain, “Indonesia” membuat ruang dansa, namun yang berdansa adalah orang lain. Indonesia yang sesungguhnya sendiri tidak bisa berdansa di situ, karena tidak siap ketika “Indonesia” membuat ruang dansa.
Singkat kata, instrumen kekuatan nasional Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri sesuai kepentingan sektoral dan cenderung mengabaikan kepentingan nasional. Mungkin itu sudah sepantasnya diterima oleh Indonesia, sebab nenek moyang Indonesia memang seorang pelaut.
1 komentar:
"INDONESIA haruslah seperti ANJING GILA, yang terlalu BERBAHAYA untuk DIGANGGU". Konsep Kepentingan Nasional Indonesia seharusnya menganut paham di atas, artinya bahwa mutlak diperlukan suatu sikap tindakan yang tegas dan jelas dalam mewujudkan dan melaksanakan agenda kepentingan Nasional yang terancam baik oleh pihak dari luar maupun dari dalam, aktor negara maupun non-negara. Konsep di atas akan mendorong segenap komponen dan instrument negara yang relevan untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak yang akan merugikan kepentingan Nasional kita akan berpikir seribu kali untuk melaksanakan niatnya karena akan menghadapi konsekuensi balik dan tindakan (fisik maupun non-fisik) dari segenap komponen dan instrument Negara tersebut.
Posting Komentar