All hands,
Dalam merancang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus dihitung adalah threats and vulnerabilities. Adapun variabel lainnya adalah challenges and opportunities. Variabel-variabel tersebut harus di-assess untuk mendapatkan deficiencies and risks. Untuk meng-asses semua variabel itu, harus dikaitkan dengan variabel lain seperti allies, friendly nations, international institution dan non-state actors.
Indonesia yang merupakan barometer stabilitas kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara dituntut untuk selalu mengamankan kepentingan nasionalnya. Pada saat yang sama, negeri ini dituntut pula untuk mengamankan kepentingan internasional alias pihak-pihak asing yang berada wilayah Indonesia, khususnya di wilayah perairan.
Salah satu wilayah perairan Indonesia yang memiliki threats and vulnerabilities yang tinggi adalah perairan Indonesia Timur. Mencakup Laut Banda, Laut Timor, Laut Flores, Laut Seram, Laut Maluku hingga ke perairan Samudera Pasifik di utara Pulau Morotai hingga Pulau Biak.
Threats and vulnerabilities tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya eksistensi ALKI III yang terkait dengan kebebasan bernavigasi kapal perang asing, potensi konflik di Maluku dan Irian Jaya alias Papua serta kepentingan asing di kawasan Indonesia Timur secara umum.
Dari situ perlu dihitung seberapa besar risk yang akan timbul dikaitkan dengan faktor-faktor pemicu yang telah disebutkan sebelumnya. Apakah most likely, likely atau less likely. Ketiga pengkategorian tersebut meminjam dari kategori yang digunakan secara luas dalam perencanaan strategis di Amerika Serikat dan negara-negara NATO.
Apabila ALKI III terganggu, dalam arti jalur pelayaran utara-selatan dari dan ke Australia terganggu atau bahkan terancam, dapat dipastikan Australia akan turun tangan langsung. Wilayah Timor Timur akan menjadi pangkalan aju dalam mengamankan SLOC Australia yang berada di ALKI III.
Munculnya konflik di Maluku dan Papua juga akan mengundang intervensi asing, dalam hal ini Australia (dan FPDA) dan Amerika Serikat. Kepentingan Amerika Serikat di Papua tidak lain dan tidak bukan adalah tambang emas di Tembaga Pura. Sekitar 9 tahun lalu, seorang petinggi militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik pernah mengancam Menteri Luar Negeri Indonesia agar Indonesia “tidak macam-macam” dengan investasi Amerika Serikat di Timika dan sekitarnya. U.S. Pacom tidak akan ragu untuk menyebarkan kekuatan militer ke wilayah itu apabila kepentingan Washington terancam.
Berangkat dari situ, dapat diprediksi seberapa besar risk yang akan timbul dan dihadapi oleh Indonesia bila kawasan perairan Indonesia Timur stabilitasnya terancam. Pertanyaannya, apakah perencanaan kontinjensi kita sudah menghitung dengan benar semua variabel terkait risk di perairan Indonesia Timur? Mengingat bahwa dalam menangani isu keamanan nasional harus mengandalkan pada pendekatan komprehensif memakai semua instrumen kekuatan nasional, adakah perencanaan kontinjensi Indonesia yang multi aspek. Artinya bukan cuma bertumpu pada instrumen militer, tetapi juga instrumen lainnya.
Katakanlah ada skenario kekacauan di salah satu wilayah Indonesia Timur dalam pelaksanaan pemilu. Kekacauan itu segera direspon oleh pihak asing dengan menyebarkan kekuatan militernya, dengan alasan responsibility to protect. Lalu apa rencana kontinjensi kita menghadapi skenario demikian?
Dari skenario itu jelas bahwa TNI harus bersiap mengamankan pemilu. Mengamankan pemilu sangat keliru kalau diartikan menyebarkan kekuatan di sekitar TPS untuk mem-back up polisi. Menyebarkan kekuatan harus diartikan menempatkan kekuatan tempur pada wilayah-wilayah yang rawan akan munculnya kekacauan yang berpotensi besar mengundang intervensi asing.
Dalam konteks AL misalnya, harus ada arahan dari hirarki yang lebih tinggi dari AL untuk meningkatkan patroli di perairan Indonesia Timur. Dengan gelar kekuatan demikian, pihak asing akan paham dengan sinyal yang diberikan oleh Indonesia. Selama ini sangat disayangkan pengamanan pemilu lebih sering diartikan pengamanan TPS dan tempat-tempat lain yang terkait dengan rangkaian pemilu. Namun jarang dipersepsikan menjaga pintu-pintu tertentu yang dinilai rawan.
Konsekuensinya, anggaran pengamanan pemilu oleh TNI dipastikan akan lebih besar daripada yang jatuh pada polisi. Dengan tambahan anggaran tersebut, kehadiran kapal perang di laut dapat ditingkatkan, minimal pada rentang waktu dari Maret-Oktober 2009. Itu kalau kita cerdas melihat dan menangkap peluang yang berujung pada peningkatan kehadiran unsur di laut.
Ini baru contoh sederhana dengan mengambil kasus pemilu. Masih banyak skenario lain yang dapat mengundang intervensi asing di wilayah perairan Indonesia Timur. Skenario tersebut harus kita telaah dengan benar, sehingga strategi untuk meng-counter-nya juga benar.
Substansinya adalah mari berhitung risk dengan benar, tidak mengurangi dan juga tidak melebih-lebihkan. Dengan risk yang dapat kita rumuskan parameternya, hal itu akan menjadi alasan penguat yang rasional mengapa TNI membutuhkan tambahan anggaran operasional.
Dalam merancang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus dihitung adalah threats and vulnerabilities. Adapun variabel lainnya adalah challenges and opportunities. Variabel-variabel tersebut harus di-assess untuk mendapatkan deficiencies and risks. Untuk meng-asses semua variabel itu, harus dikaitkan dengan variabel lain seperti allies, friendly nations, international institution dan non-state actors.
Indonesia yang merupakan barometer stabilitas kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara dituntut untuk selalu mengamankan kepentingan nasionalnya. Pada saat yang sama, negeri ini dituntut pula untuk mengamankan kepentingan internasional alias pihak-pihak asing yang berada wilayah Indonesia, khususnya di wilayah perairan.
Salah satu wilayah perairan Indonesia yang memiliki threats and vulnerabilities yang tinggi adalah perairan Indonesia Timur. Mencakup Laut Banda, Laut Timor, Laut Flores, Laut Seram, Laut Maluku hingga ke perairan Samudera Pasifik di utara Pulau Morotai hingga Pulau Biak.
Threats and vulnerabilities tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya eksistensi ALKI III yang terkait dengan kebebasan bernavigasi kapal perang asing, potensi konflik di Maluku dan Irian Jaya alias Papua serta kepentingan asing di kawasan Indonesia Timur secara umum.
Dari situ perlu dihitung seberapa besar risk yang akan timbul dikaitkan dengan faktor-faktor pemicu yang telah disebutkan sebelumnya. Apakah most likely, likely atau less likely. Ketiga pengkategorian tersebut meminjam dari kategori yang digunakan secara luas dalam perencanaan strategis di Amerika Serikat dan negara-negara NATO.
Apabila ALKI III terganggu, dalam arti jalur pelayaran utara-selatan dari dan ke Australia terganggu atau bahkan terancam, dapat dipastikan Australia akan turun tangan langsung. Wilayah Timor Timur akan menjadi pangkalan aju dalam mengamankan SLOC Australia yang berada di ALKI III.
Munculnya konflik di Maluku dan Papua juga akan mengundang intervensi asing, dalam hal ini Australia (dan FPDA) dan Amerika Serikat. Kepentingan Amerika Serikat di Papua tidak lain dan tidak bukan adalah tambang emas di Tembaga Pura. Sekitar 9 tahun lalu, seorang petinggi militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik pernah mengancam Menteri Luar Negeri Indonesia agar Indonesia “tidak macam-macam” dengan investasi Amerika Serikat di Timika dan sekitarnya. U.S. Pacom tidak akan ragu untuk menyebarkan kekuatan militer ke wilayah itu apabila kepentingan Washington terancam.
Berangkat dari situ, dapat diprediksi seberapa besar risk yang akan timbul dan dihadapi oleh Indonesia bila kawasan perairan Indonesia Timur stabilitasnya terancam. Pertanyaannya, apakah perencanaan kontinjensi kita sudah menghitung dengan benar semua variabel terkait risk di perairan Indonesia Timur? Mengingat bahwa dalam menangani isu keamanan nasional harus mengandalkan pada pendekatan komprehensif memakai semua instrumen kekuatan nasional, adakah perencanaan kontinjensi Indonesia yang multi aspek. Artinya bukan cuma bertumpu pada instrumen militer, tetapi juga instrumen lainnya.
Katakanlah ada skenario kekacauan di salah satu wilayah Indonesia Timur dalam pelaksanaan pemilu. Kekacauan itu segera direspon oleh pihak asing dengan menyebarkan kekuatan militernya, dengan alasan responsibility to protect. Lalu apa rencana kontinjensi kita menghadapi skenario demikian?
Dari skenario itu jelas bahwa TNI harus bersiap mengamankan pemilu. Mengamankan pemilu sangat keliru kalau diartikan menyebarkan kekuatan di sekitar TPS untuk mem-back up polisi. Menyebarkan kekuatan harus diartikan menempatkan kekuatan tempur pada wilayah-wilayah yang rawan akan munculnya kekacauan yang berpotensi besar mengundang intervensi asing.
Dalam konteks AL misalnya, harus ada arahan dari hirarki yang lebih tinggi dari AL untuk meningkatkan patroli di perairan Indonesia Timur. Dengan gelar kekuatan demikian, pihak asing akan paham dengan sinyal yang diberikan oleh Indonesia. Selama ini sangat disayangkan pengamanan pemilu lebih sering diartikan pengamanan TPS dan tempat-tempat lain yang terkait dengan rangkaian pemilu. Namun jarang dipersepsikan menjaga pintu-pintu tertentu yang dinilai rawan.
Konsekuensinya, anggaran pengamanan pemilu oleh TNI dipastikan akan lebih besar daripada yang jatuh pada polisi. Dengan tambahan anggaran tersebut, kehadiran kapal perang di laut dapat ditingkatkan, minimal pada rentang waktu dari Maret-Oktober 2009. Itu kalau kita cerdas melihat dan menangkap peluang yang berujung pada peningkatan kehadiran unsur di laut.
Ini baru contoh sederhana dengan mengambil kasus pemilu. Masih banyak skenario lain yang dapat mengundang intervensi asing di wilayah perairan Indonesia Timur. Skenario tersebut harus kita telaah dengan benar, sehingga strategi untuk meng-counter-nya juga benar.
Substansinya adalah mari berhitung risk dengan benar, tidak mengurangi dan juga tidak melebih-lebihkan. Dengan risk yang dapat kita rumuskan parameternya, hal itu akan menjadi alasan penguat yang rasional mengapa TNI membutuhkan tambahan anggaran operasional.
1 komentar:
numpang kopas komandan :)
Posting Komentar