All hands,
Secara garis besar, Angkatan Laut di dunia dituntut untuk mampu dan bisa menghadapi peperangan konvensional dan irregular warfare. Hanya Angkatan Laut tertentu yang bisa menghadapi bentuk peperangan lainnya, yaitu peperangan nuklir. Membahas tentang peperangan konvensional dan irregular warfare, tidak sedikit Angkatan Laut di berbagai negara seperti dihadapkan pada dilema. Meskipun secara universal Angkatan Laut mempunyai tiga peran yang unik.
Mengapa dilema? Peperangan konvensional adalah alasan utama mengapa Angkatan Laut dibangun dengan struktur kekuatan yang sedemikian rupa. Ketika kini dunia juga dihadapkan pada irregular warfare seperti ancaman terorisme, perompakan dan pembajakan di laut, di situlah dimulai titik perdebatan mengenai struktur kekuatan Angkatan Laut.
Apakah struktur kekuatan Angkatan Laut harus dibangun untuk menghadapi irregular warfare at the expense of conventional warfare capability? Ataukah sebaliknya, Angkatan Laut harus tetap dibangun guna menghadapi conventional warfare at the expense of irregular warfare capability?
Dari tinjauan ideal, Angkatan Laut harus mampu menghadapi semua spektrum ancaman. Akan tetapi pencapaian posisi ideal itu tidak gampang, sebab ada banyak hal yang harus diperhatikan. Bukan saja soal alokasi anggaran seperti pendapat kalangan awam, tetapi mencakup pula kesiapan organisasi dan sumber daya manusia.
Bertolak dari latar belakang dilema saat ini, strategi Angkatan Laut sampai kapan pun akan berfokus pada pengendalian laut. Dengan pengendalian laut, operasi apapun dapat dilaksanakan, baik pada masa damai maupun masa perang. Dikaitkan dengan peperangan konvensional, menjadi pertanyaan yaitu sumber terbesar ancaman terhadap kemampuan pengendalian laut Indonesia berasal dari mana?
Apakah dari kapal permukaan, kapal selam ataukah pesawat udara? Masalah ini perlu dikaji dengan seksama, agar penentuan prioritas dalam perencanaan kekuatan tidak keliru. Meskipun menurut sebagian pihak Indonesia tidak akan mempunyai perang dalam tahun-tahun ke depan, tetapi mengingat bahwa perang masa kini terjadi secara tiba-tiba dan berakhir dengan cepat pula, tetap perlu mempersiapkan kemampuan peperangan konvensional untuk menghadapi situasi demikian.
Menurut hemat saya, ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia sumbernya berasal dari kapal selam. Sebab selain sifat kapal selam yang senyap dan beroperasi di kolom air yang tidak gampang untuk dideteksi, Indonesia kini telah dikepung oleh tiga negara anggota FPDA yang kekuatan lautnya sekarang semuanya telah mengoperasikan kapal selam. Jangan sampai ketika suatu saat nanti tiba-tiba muncul konflik, kekuatan laut Indonesia bertindak seperti Angkatan Laut Argentina saat Perang Malvinas.
Dalam Perang Malvinas, kapal penjelajah ARA Belgrano ditorpedo oleh HMS Conqueror. Setelah kapal penjelajah eks U.S. Navy itu tenggelam ke dasar Samudera Atlantik Selatan, kekuatan laut Argentina tidak punya keberanian untuk beroperasi lagi menyongsong invasi Inggris ke Kepulauan Malvinas. Artinya, jangan sampai nanti kemampuan pengendalian laut Indonesia lumpuh setelah satu kapal atas airnya ditorpedo oleh kapal selam lawan dan peristiwa itu selanjutnya berdampak seperti kasus Angkatan Laut Argentina.
Kalau kapal selam dipandang sebagai sumber ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia, tentu saja diperlukan langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan peperangan bawah air. Untuk menuju ke situ, dibutuhkan kesamaan persepsi secara nasional. Artinya, masalah ini tidak boleh dipandang sebagai bisnisnya Angkatan Laut negeri ini semata sehingga pihak lain yang sebenarnya terkait tidak terlalu peduli atau bahkan tidak mau ambil pusing.
Kasus penundaan pengadaan kapal selam menunjukkan bahwa pemahaman bangsa ini terhadap Angkatan Laut dan lebih khusus lagi peperangan bawah air sangat lemah. Seolah-olah itu urusan Angkatan Laut semata dan tidak ada kaitannya dengan mereka. Padahal masalah pengendalian laut Indonesia terkait juga dengan pemasukan negara berupa pajak dan lain sebagainya, suatu hal yang sangat dipahami dan pasti akan dikejar-kejar oleh Departemen Keuangan. Sangat disayangkan, pemahaman para pemburu uang untuk mengisi pundi-pundi APBN tidak paham hubungan antara kapal selam dengan pemasukan uang bagi negara.
Secara garis besar, Angkatan Laut di dunia dituntut untuk mampu dan bisa menghadapi peperangan konvensional dan irregular warfare. Hanya Angkatan Laut tertentu yang bisa menghadapi bentuk peperangan lainnya, yaitu peperangan nuklir. Membahas tentang peperangan konvensional dan irregular warfare, tidak sedikit Angkatan Laut di berbagai negara seperti dihadapkan pada dilema. Meskipun secara universal Angkatan Laut mempunyai tiga peran yang unik.
Mengapa dilema? Peperangan konvensional adalah alasan utama mengapa Angkatan Laut dibangun dengan struktur kekuatan yang sedemikian rupa. Ketika kini dunia juga dihadapkan pada irregular warfare seperti ancaman terorisme, perompakan dan pembajakan di laut, di situlah dimulai titik perdebatan mengenai struktur kekuatan Angkatan Laut.
Apakah struktur kekuatan Angkatan Laut harus dibangun untuk menghadapi irregular warfare at the expense of conventional warfare capability? Ataukah sebaliknya, Angkatan Laut harus tetap dibangun guna menghadapi conventional warfare at the expense of irregular warfare capability?
Dari tinjauan ideal, Angkatan Laut harus mampu menghadapi semua spektrum ancaman. Akan tetapi pencapaian posisi ideal itu tidak gampang, sebab ada banyak hal yang harus diperhatikan. Bukan saja soal alokasi anggaran seperti pendapat kalangan awam, tetapi mencakup pula kesiapan organisasi dan sumber daya manusia.
Bertolak dari latar belakang dilema saat ini, strategi Angkatan Laut sampai kapan pun akan berfokus pada pengendalian laut. Dengan pengendalian laut, operasi apapun dapat dilaksanakan, baik pada masa damai maupun masa perang. Dikaitkan dengan peperangan konvensional, menjadi pertanyaan yaitu sumber terbesar ancaman terhadap kemampuan pengendalian laut Indonesia berasal dari mana?
Apakah dari kapal permukaan, kapal selam ataukah pesawat udara? Masalah ini perlu dikaji dengan seksama, agar penentuan prioritas dalam perencanaan kekuatan tidak keliru. Meskipun menurut sebagian pihak Indonesia tidak akan mempunyai perang dalam tahun-tahun ke depan, tetapi mengingat bahwa perang masa kini terjadi secara tiba-tiba dan berakhir dengan cepat pula, tetap perlu mempersiapkan kemampuan peperangan konvensional untuk menghadapi situasi demikian.
Menurut hemat saya, ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia sumbernya berasal dari kapal selam. Sebab selain sifat kapal selam yang senyap dan beroperasi di kolom air yang tidak gampang untuk dideteksi, Indonesia kini telah dikepung oleh tiga negara anggota FPDA yang kekuatan lautnya sekarang semuanya telah mengoperasikan kapal selam. Jangan sampai ketika suatu saat nanti tiba-tiba muncul konflik, kekuatan laut Indonesia bertindak seperti Angkatan Laut Argentina saat Perang Malvinas.
Dalam Perang Malvinas, kapal penjelajah ARA Belgrano ditorpedo oleh HMS Conqueror. Setelah kapal penjelajah eks U.S. Navy itu tenggelam ke dasar Samudera Atlantik Selatan, kekuatan laut Argentina tidak punya keberanian untuk beroperasi lagi menyongsong invasi Inggris ke Kepulauan Malvinas. Artinya, jangan sampai nanti kemampuan pengendalian laut Indonesia lumpuh setelah satu kapal atas airnya ditorpedo oleh kapal selam lawan dan peristiwa itu selanjutnya berdampak seperti kasus Angkatan Laut Argentina.
Kalau kapal selam dipandang sebagai sumber ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia, tentu saja diperlukan langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan peperangan bawah air. Untuk menuju ke situ, dibutuhkan kesamaan persepsi secara nasional. Artinya, masalah ini tidak boleh dipandang sebagai bisnisnya Angkatan Laut negeri ini semata sehingga pihak lain yang sebenarnya terkait tidak terlalu peduli atau bahkan tidak mau ambil pusing.
Kasus penundaan pengadaan kapal selam menunjukkan bahwa pemahaman bangsa ini terhadap Angkatan Laut dan lebih khusus lagi peperangan bawah air sangat lemah. Seolah-olah itu urusan Angkatan Laut semata dan tidak ada kaitannya dengan mereka. Padahal masalah pengendalian laut Indonesia terkait juga dengan pemasukan negara berupa pajak dan lain sebagainya, suatu hal yang sangat dipahami dan pasti akan dikejar-kejar oleh Departemen Keuangan. Sangat disayangkan, pemahaman para pemburu uang untuk mengisi pundi-pundi APBN tidak paham hubungan antara kapal selam dengan pemasukan uang bagi negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar