All hands,
Keamanan maritim merupakan salah satu isu utama dalam dinamika lingkungan saat ini. Menghadapi isu itu, banyak negara yang berkepentingan tidak ragu untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia, baik politik, ekonomi maupun militer. Secara militer, Angkatan Laut berbagai negara menggelar patroli di wilayah perairan yang dinilai sangat rawan terhadap ancaman keamanan maritim, misalnya di Somalia. Ada pula kerjasama patroli antar beberapa negara pantai, seperti di Selat Malaka.
Salah satu cara yang hingga kini belum ditempuh oleh banyak negara adalah attack at the source. Yaitu menyerang langsung sumber masalah keamanan maritim, yaitu para perompak dan pembajak. Sasaran penyerangan adalah di daratan yang menjadi basis kelompok tersebut. Meskipun belum pernah dilaksanakan, pemikiran seperti ini telah muncul dalam rencana kontinjensi beberapa Angkatan Laut untuk wilayah perairan tertentu, khususnya choke points.
Amerika Serikat dalam rencana kontinjensinya mempersiapkan pendaratan pasukan Marinir di wilayah Selat Malaka apabila negara-negara pantai dinilai sudah tidak sanggup lagi menghadapi ancaman perompakan dan pembajakan. Sedangkan pada rencana kontinjensi Australia, Angkatan Darat negeri itu akan menyerang wilayah pantai choke points apabila ada ancaman terhadap negara tersebut, baik dari aktor negara maupun non negara. Seperti diketahui, Negeri Kangguru tidak mempunyai kekuatan Marinir.
Indonesia belum pernah secara langsung mempraktekkan penggunaan kekuatan Marinir untuk mengatasi perompakan dan pembajakan melalui serangan ke wilayah pantai yang diduga menjadi basis kelompok tersebut. Ketika di Aceh terjadi pemberontakan GAM beberapa tahun lalu, kelompok bersenjata ini turut melancarkan aksi perompakan dan pembajakan sebagai cara untuk mencari uang. Untuk menghadapi masalah tersebut, penggunaan kekuatan Marinir nampaknya belum dioptimalkan, sebab fokus operasi militer saat itu bukan untuk memerangi perompakan dan pembajakan yang dilaksanakan oleh GAM, tetapi melumpuhkan perlawanan kelompok pemberontak ini secara umum. Sehingga tidak aneh bila pada era 2000-2005 perompakan dan pembajakan di perairan sekitar Aceh merajalela.
Menilik akar masalah perompakan dan pembajakan di Indonesia, memang ada beberapa penyebab. Salah satunya adalah aspek kultural pada kelompok masyarakat tertentu. Artinya penggunaan kekuatan Angkatan Laut, termasuk Marinir bukan satu-satunya cara untuk menumpas masalah itu. Namun di sisi lain perlu pula dipersiapkan rencana kontinjensi untuk menggunakan kekuatan militer untuk to attack at the source. Skenario itu hendaknya dipertimbangkan daripada suatu saat nanti kekuatan Marinir Amerika Serikat yang menyerang ke wilayah Indonesia dengan alasan untuk memerangi perompakan dan pembajakan. Preseden itu sudah ada di masa lalu, yakni ketika Marinir Uwak Sam menyerang pantai Aceh karena Kerajaan Aceh dinilai tidak bisa memerangi para bajak laut.
Keamanan maritim merupakan salah satu isu utama dalam dinamika lingkungan saat ini. Menghadapi isu itu, banyak negara yang berkepentingan tidak ragu untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia, baik politik, ekonomi maupun militer. Secara militer, Angkatan Laut berbagai negara menggelar patroli di wilayah perairan yang dinilai sangat rawan terhadap ancaman keamanan maritim, misalnya di Somalia. Ada pula kerjasama patroli antar beberapa negara pantai, seperti di Selat Malaka.
Salah satu cara yang hingga kini belum ditempuh oleh banyak negara adalah attack at the source. Yaitu menyerang langsung sumber masalah keamanan maritim, yaitu para perompak dan pembajak. Sasaran penyerangan adalah di daratan yang menjadi basis kelompok tersebut. Meskipun belum pernah dilaksanakan, pemikiran seperti ini telah muncul dalam rencana kontinjensi beberapa Angkatan Laut untuk wilayah perairan tertentu, khususnya choke points.
Amerika Serikat dalam rencana kontinjensinya mempersiapkan pendaratan pasukan Marinir di wilayah Selat Malaka apabila negara-negara pantai dinilai sudah tidak sanggup lagi menghadapi ancaman perompakan dan pembajakan. Sedangkan pada rencana kontinjensi Australia, Angkatan Darat negeri itu akan menyerang wilayah pantai choke points apabila ada ancaman terhadap negara tersebut, baik dari aktor negara maupun non negara. Seperti diketahui, Negeri Kangguru tidak mempunyai kekuatan Marinir.
Indonesia belum pernah secara langsung mempraktekkan penggunaan kekuatan Marinir untuk mengatasi perompakan dan pembajakan melalui serangan ke wilayah pantai yang diduga menjadi basis kelompok tersebut. Ketika di Aceh terjadi pemberontakan GAM beberapa tahun lalu, kelompok bersenjata ini turut melancarkan aksi perompakan dan pembajakan sebagai cara untuk mencari uang. Untuk menghadapi masalah tersebut, penggunaan kekuatan Marinir nampaknya belum dioptimalkan, sebab fokus operasi militer saat itu bukan untuk memerangi perompakan dan pembajakan yang dilaksanakan oleh GAM, tetapi melumpuhkan perlawanan kelompok pemberontak ini secara umum. Sehingga tidak aneh bila pada era 2000-2005 perompakan dan pembajakan di perairan sekitar Aceh merajalela.
Menilik akar masalah perompakan dan pembajakan di Indonesia, memang ada beberapa penyebab. Salah satunya adalah aspek kultural pada kelompok masyarakat tertentu. Artinya penggunaan kekuatan Angkatan Laut, termasuk Marinir bukan satu-satunya cara untuk menumpas masalah itu. Namun di sisi lain perlu pula dipersiapkan rencana kontinjensi untuk menggunakan kekuatan militer untuk to attack at the source. Skenario itu hendaknya dipertimbangkan daripada suatu saat nanti kekuatan Marinir Amerika Serikat yang menyerang ke wilayah Indonesia dengan alasan untuk memerangi perompakan dan pembajakan. Preseden itu sudah ada di masa lalu, yakni ketika Marinir Uwak Sam menyerang pantai Aceh karena Kerajaan Aceh dinilai tidak bisa memerangi para bajak laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar