All hands,
Indonesia secara resmi masih menganut pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan yang lebih sering dikenal dengan dua trouble spot. Hal demikian dipraktekkan dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008. Meskipun belum pernah ditetapkan secara gamblang dan tegas di mana dua kawasan itu, itu hanya satu dari beberapa persoalan terkini menyangkut pendekatan dari dua daerah pelibatan.
Masalah lainnya yang selama ini kurang disorot adalah daya dukung sistem senjata. Pertanyaan pokoknya adalah apakah kondisi kesiapan sistem senjata saat ini mendukung bagi diterapkannya pendekatan dua kawasan pelibatan. Penting untuk dipahami bahwa pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan dianut sejak 1980-an, setelah modernisasi kekuatan militer Indonesia dilaksanakan untuk menggantikan sistem senjata buatan Uni Soviet.
Dengan demikian, hingga 1990-an konsep dua kawasan pelibatan secara simultan masih relevan dan dapat dilaksanakan. Sebab tingkat kesiapan sistem senjata cukup tinggi, khususnya pada kekuatan laut dan udara. Sebagai contoh adalah kesiapan kapal-kapal angkut AL yang saat itu bertumpu pada LST buatan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sedangkan kesiapan angkut AU didukung oleh sekitar 20-an C-130 Hercules.
Memasuki dekade 2000-an, kondisi pertahanan Indonesia mengalami kemunduran drastis. Kondisi ekonomi yang morat-marit pada awal 2000-an membuat program modernisasi kekuatan militer tidak berjalan. Kini menjelang akhir dekade pertama abad ke-21, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang jauh lebih baik dibandingkan di awal dekade ini, tetap saja modernisasi pertahanan nyaris berjalan di tempat. Situasi itu disebabkan oleh tidak adanya keberpihakan terhadap kekuatan militer negeri ini dari pengambil keputusan.
Modernisasi pertahanan yang nyaris jalan di tempat dan makin menurunnya kinerja sistem senjata lama berpengaruh pula terhadap kesiapan untuk menggelar operasi di dua kawasan sekaligus. Secara nyata, kemampuan kekuatan laut negeri ini untuk menggelar kampanye saat ini hanya pada satu kawasan pelibatan. Asumsi itulah yang dibangun dalam konsep minimum essential force kekuatan laut Indonesia. Suatu asumsi yang patut diacungi jempol, karena berani berkata tentang kondisi kemampuan sebenarnya kepada pengambil keputusan negeri ini.
Kalaupun dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008 digambarkan mampu melaksanakan kampanye di dua kawasan pelibatan secara simultan, tentu saja perlu dikaji kembali apakah kekuatan lawan dirancang sebagai kekuatan yang lebih kuat, sama kuat atau lebih lemah dari kekuatan militer Indonesia.
Pesan yang hendak disampaikan di sini adalah mari kita meninjau kembali pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan. Pendekatan itu bisa diterapkan apabila program modernisasi yang telah direncanakan tidak sebatas di atas kertas seperti ini. Selama program modernisasi miskin realisasi, hendaknya kita secara arif harus meninjau kembali pendekatan yang selama ini dianut.
Indonesia secara resmi masih menganut pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan yang lebih sering dikenal dengan dua trouble spot. Hal demikian dipraktekkan dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008. Meskipun belum pernah ditetapkan secara gamblang dan tegas di mana dua kawasan itu, itu hanya satu dari beberapa persoalan terkini menyangkut pendekatan dari dua daerah pelibatan.
Masalah lainnya yang selama ini kurang disorot adalah daya dukung sistem senjata. Pertanyaan pokoknya adalah apakah kondisi kesiapan sistem senjata saat ini mendukung bagi diterapkannya pendekatan dua kawasan pelibatan. Penting untuk dipahami bahwa pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan dianut sejak 1980-an, setelah modernisasi kekuatan militer Indonesia dilaksanakan untuk menggantikan sistem senjata buatan Uni Soviet.
Dengan demikian, hingga 1990-an konsep dua kawasan pelibatan secara simultan masih relevan dan dapat dilaksanakan. Sebab tingkat kesiapan sistem senjata cukup tinggi, khususnya pada kekuatan laut dan udara. Sebagai contoh adalah kesiapan kapal-kapal angkut AL yang saat itu bertumpu pada LST buatan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sedangkan kesiapan angkut AU didukung oleh sekitar 20-an C-130 Hercules.
Memasuki dekade 2000-an, kondisi pertahanan Indonesia mengalami kemunduran drastis. Kondisi ekonomi yang morat-marit pada awal 2000-an membuat program modernisasi kekuatan militer tidak berjalan. Kini menjelang akhir dekade pertama abad ke-21, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang jauh lebih baik dibandingkan di awal dekade ini, tetap saja modernisasi pertahanan nyaris berjalan di tempat. Situasi itu disebabkan oleh tidak adanya keberpihakan terhadap kekuatan militer negeri ini dari pengambil keputusan.
Modernisasi pertahanan yang nyaris jalan di tempat dan makin menurunnya kinerja sistem senjata lama berpengaruh pula terhadap kesiapan untuk menggelar operasi di dua kawasan sekaligus. Secara nyata, kemampuan kekuatan laut negeri ini untuk menggelar kampanye saat ini hanya pada satu kawasan pelibatan. Asumsi itulah yang dibangun dalam konsep minimum essential force kekuatan laut Indonesia. Suatu asumsi yang patut diacungi jempol, karena berani berkata tentang kondisi kemampuan sebenarnya kepada pengambil keputusan negeri ini.
Kalaupun dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008 digambarkan mampu melaksanakan kampanye di dua kawasan pelibatan secara simultan, tentu saja perlu dikaji kembali apakah kekuatan lawan dirancang sebagai kekuatan yang lebih kuat, sama kuat atau lebih lemah dari kekuatan militer Indonesia.
Pesan yang hendak disampaikan di sini adalah mari kita meninjau kembali pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan. Pendekatan itu bisa diterapkan apabila program modernisasi yang telah direncanakan tidak sebatas di atas kertas seperti ini. Selama program modernisasi miskin realisasi, hendaknya kita secara arif harus meninjau kembali pendekatan yang selama ini dianut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar