All hands,
Dalam dua tahun terakhir, istilah transfer of technology begitu digemari di lingkungan komunitas pertahanan negeri ini. Namun apabila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak pihak di lingkungan itu yang justru tidak paham betul dengan apa yang dimaksud dengan transfer of technology. Sehingga tidak aneh bila ada pandangan skeptis bahwa transfer of technology seperti yang dicita-citakan hanyalah sebatas mimpi belaka yang tidak akan terwujud dalam alam nyata.
Pandangan skeptis itu sebenarnya betul bisa yang dimaksud adalah transfer teknologi yang menyangkut bagaimana merancang sebuah sistem senjata ---katakanlah kapal perang---, bagaimana menciptakan jenis baja yang sesuai bagi kebutuhan sistem senjata, bagaimana menciptakan meriam, bagaimana membuat sewaco, bagaimana mengintegrasikan senjata dengan sensor dan lain sebagainya. Semua ilmu itu tidak akan pernah ditransfer kepada Indonesia.
Transfer of technology yang mungkin diberikan kepada Indonesia hanyalah sebatas bagaimana memelihara kapal perang. Atau paling jauh bagaimana merakit kapal perang. Dapat dipastikan ilmu yang ditransfer hanya berkisar pada itu. Padahal ilmu merakit kapal perang sudah dimiliki oleh bangsa ini sejak 1980-an.
Kalau kita ingin transfer of technology yang berkualitas, sebaiknya jangan mengharapkan makan siang gratis. Harus berkorban!!! Berkorban seperti apa?
Beli lisensi terhadap sistem senjata yang kita inginkan kepada produsennya. Kalau kita ingin mengembangkan kapal fregat, belilah lisensi fregat itu di negara produsen misalnya di Eropa. Hal itu sudah terbukti ketika di masa lalu Indonesia membeli lisensi torpedo SUT. Meskipun sebagian komponen dalam SUT masih tergantung pasokan dari Jerman, namun sebagian lagi sudah bisa dibuat di Indonesia oleh tenaga ahli Indonesia sendiri.
Pertanyaannya kini, transfer of technology seperti apa yang diinginkan oleh komunitas pertahanan? Apakah yang gratis atau yang berbayar? Kalau yang gratis, ilmu yang didapatkan hanya “begitu-begitu” saja.
Kalau kita membeli kapal perang tanpa lisensi, maka muatan teknologi yang ditransfer dipastikan akan sedikit. Teknologinya tidak akan jauh dari bagaimana memelihara kapal itu. Kurang tepat kita berharap produsen memberikan teknologi yang lebih tinggi, kecuali kalau kita beli sekaligus dengan lisensinya.
Dalam dua tahun terakhir, istilah transfer of technology begitu digemari di lingkungan komunitas pertahanan negeri ini. Namun apabila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak pihak di lingkungan itu yang justru tidak paham betul dengan apa yang dimaksud dengan transfer of technology. Sehingga tidak aneh bila ada pandangan skeptis bahwa transfer of technology seperti yang dicita-citakan hanyalah sebatas mimpi belaka yang tidak akan terwujud dalam alam nyata.
Pandangan skeptis itu sebenarnya betul bisa yang dimaksud adalah transfer teknologi yang menyangkut bagaimana merancang sebuah sistem senjata ---katakanlah kapal perang---, bagaimana menciptakan jenis baja yang sesuai bagi kebutuhan sistem senjata, bagaimana menciptakan meriam, bagaimana membuat sewaco, bagaimana mengintegrasikan senjata dengan sensor dan lain sebagainya. Semua ilmu itu tidak akan pernah ditransfer kepada Indonesia.
Transfer of technology yang mungkin diberikan kepada Indonesia hanyalah sebatas bagaimana memelihara kapal perang. Atau paling jauh bagaimana merakit kapal perang. Dapat dipastikan ilmu yang ditransfer hanya berkisar pada itu. Padahal ilmu merakit kapal perang sudah dimiliki oleh bangsa ini sejak 1980-an.
Kalau kita ingin transfer of technology yang berkualitas, sebaiknya jangan mengharapkan makan siang gratis. Harus berkorban!!! Berkorban seperti apa?
Beli lisensi terhadap sistem senjata yang kita inginkan kepada produsennya. Kalau kita ingin mengembangkan kapal fregat, belilah lisensi fregat itu di negara produsen misalnya di Eropa. Hal itu sudah terbukti ketika di masa lalu Indonesia membeli lisensi torpedo SUT. Meskipun sebagian komponen dalam SUT masih tergantung pasokan dari Jerman, namun sebagian lagi sudah bisa dibuat di Indonesia oleh tenaga ahli Indonesia sendiri.
Pertanyaannya kini, transfer of technology seperti apa yang diinginkan oleh komunitas pertahanan? Apakah yang gratis atau yang berbayar? Kalau yang gratis, ilmu yang didapatkan hanya “begitu-begitu” saja.
Kalau kita membeli kapal perang tanpa lisensi, maka muatan teknologi yang ditransfer dipastikan akan sedikit. Teknologinya tidak akan jauh dari bagaimana memelihara kapal itu. Kurang tepat kita berharap produsen memberikan teknologi yang lebih tinggi, kecuali kalau kita beli sekaligus dengan lisensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar