All hands,
Dalam pengembangan sistem senjata, selama 10 tahun terakhir tidak ada kemajuan signifikan menyangkut kemajuan industri pertahanan dalam negeri. Khususnya pada kemampuan produksi sistem senjata yang diawaki, seperti kapal perang dan pesawat udara. Baik secara teknologi maupun kapasitas produksi. Sebagai akibat dari reformasi, industri pertahanan cenderung kurang diperhatikan, yang bisa jadi karena ketidaksetujuan secara pemikiran dan praktek sebagian pihak yang kini berkuasa terhadap konsep industri pertahanan di masa lalu yang dikembangkan oleh seorang teknokrat terkemuka yang pernah dipunyai oleh bangsa Indonesia dan diakui oleh dunia internasional.
Contohnya tidak adanya kemajuan itu bisa dilihat dari produksi sistem senjata. Sistem senjata yang diproduksi saat ini merupakan hasil lisensi di masa lalu, seperti misalnya kapal perang jenis FPB-57 buatan PT PAL, torpedo SUT dan berbagai pesawat udara produksi PT DI. Sementara program offset dalam pengadaan sistem senjata sudah tidak dilaksanakan lagi. Tidak jalannya program offset sepertinya bukan karena ketidaksiapan industri pertahanan, namun lebih pada kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri pertahanan nasional.
Tentu kita masih ingat, pengadaan 12 F-16 A/B pada akhir 1980-an ditunjang oleh sistem offset. Dengan sistem offset, selain menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, juga merupakan sarana transfer pengetahuan dalam produksi suatu sistem senjata. Kini sistem offset sepertinya sudah dilupakan, terlebih ketika kontrak pengadaan sistem senjata jumlahnya sedikit-sedikit, tidak langsung dalam jumlah banyak.
Untuk lisensi, tidak ada program lisensi baru di Indonesia pasca reformasi. Hal ini jelas merupakan suatu kemunduran, sebab dengan program lisensi terjadi transfer of knowledge. Sementara beberapa negara lain di sekitar Indonesia kini justru makin berhasrat melaksanakan program lisensi dalam pengadaan sistem senjatanya.
Apabila negeri ini ingin mempunyai industri pertahanan yang tidak kalah dari negara lain, pemerintah harus mengacu pada kepentingan nasional dan bukan menjadi anak manis organisasi internasional seperti IMF atau sejenisnya. Artinya, industri pertahanan harus disubsidi agar maju. Sangat keliru bila subsidi dipahami hanya sebatas mengucurkan dana APBN, sebab bisa pula ditempuh cara lain yaitu harga jualnya untuk pasaran dalam negeri lebih murah daripada untuk pasaran luar negeri. Bisa pula komponen pajak impor bahan baku dan bahan pendukungnya dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali. Subsidi bisa pula diberikan dalam bentuk bahwa TNI harus menggunakan sistem senjata yang diberikan, tentu saja dengan catatan kualitasnya sesuai standar internasional.
Ke depan, nampaknya kekuatan laut negeri ini akan mengadakan pembelian sejumlah PKR untuk modernisasi kekuatan. Untuk kepentingan nasional, lebih baik bila pemerintah melalui BUMN terkait membeli lisensi kelas kapal perang yang diinginkan daripada dibangun di luar negeri. Apabila dibangun di luar negeri, keuntungan yang didapat oleh Indonesia sangat terbatas, misalnya pada transfer pengetahuan tentang pemeliharaan kapal perang. Sedangkan kalau dibangun di dalam negeri, transfer pengetahuannya lebih luas.
Tidak ada alasan lisensi kapal perang tidak bisa terlaksana. Keberhasilan lisensi FPB-57 dan torpedo SUT adalah contoh bahwa lisensi bisa dibeli, asalkan ada kemauan politik. Di masa lalu, FPB-57 dan torpedo SUT berhasil dikembangkan di Indonesia karena kemauan politik pemerintah kuat dalam mendukung hal tersebut.
Dalam pengembangan sistem senjata, selama 10 tahun terakhir tidak ada kemajuan signifikan menyangkut kemajuan industri pertahanan dalam negeri. Khususnya pada kemampuan produksi sistem senjata yang diawaki, seperti kapal perang dan pesawat udara. Baik secara teknologi maupun kapasitas produksi. Sebagai akibat dari reformasi, industri pertahanan cenderung kurang diperhatikan, yang bisa jadi karena ketidaksetujuan secara pemikiran dan praktek sebagian pihak yang kini berkuasa terhadap konsep industri pertahanan di masa lalu yang dikembangkan oleh seorang teknokrat terkemuka yang pernah dipunyai oleh bangsa Indonesia dan diakui oleh dunia internasional.
Contohnya tidak adanya kemajuan itu bisa dilihat dari produksi sistem senjata. Sistem senjata yang diproduksi saat ini merupakan hasil lisensi di masa lalu, seperti misalnya kapal perang jenis FPB-57 buatan PT PAL, torpedo SUT dan berbagai pesawat udara produksi PT DI. Sementara program offset dalam pengadaan sistem senjata sudah tidak dilaksanakan lagi. Tidak jalannya program offset sepertinya bukan karena ketidaksiapan industri pertahanan, namun lebih pada kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri pertahanan nasional.
Tentu kita masih ingat, pengadaan 12 F-16 A/B pada akhir 1980-an ditunjang oleh sistem offset. Dengan sistem offset, selain menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, juga merupakan sarana transfer pengetahuan dalam produksi suatu sistem senjata. Kini sistem offset sepertinya sudah dilupakan, terlebih ketika kontrak pengadaan sistem senjata jumlahnya sedikit-sedikit, tidak langsung dalam jumlah banyak.
Untuk lisensi, tidak ada program lisensi baru di Indonesia pasca reformasi. Hal ini jelas merupakan suatu kemunduran, sebab dengan program lisensi terjadi transfer of knowledge. Sementara beberapa negara lain di sekitar Indonesia kini justru makin berhasrat melaksanakan program lisensi dalam pengadaan sistem senjatanya.
Apabila negeri ini ingin mempunyai industri pertahanan yang tidak kalah dari negara lain, pemerintah harus mengacu pada kepentingan nasional dan bukan menjadi anak manis organisasi internasional seperti IMF atau sejenisnya. Artinya, industri pertahanan harus disubsidi agar maju. Sangat keliru bila subsidi dipahami hanya sebatas mengucurkan dana APBN, sebab bisa pula ditempuh cara lain yaitu harga jualnya untuk pasaran dalam negeri lebih murah daripada untuk pasaran luar negeri. Bisa pula komponen pajak impor bahan baku dan bahan pendukungnya dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali. Subsidi bisa pula diberikan dalam bentuk bahwa TNI harus menggunakan sistem senjata yang diberikan, tentu saja dengan catatan kualitasnya sesuai standar internasional.
Ke depan, nampaknya kekuatan laut negeri ini akan mengadakan pembelian sejumlah PKR untuk modernisasi kekuatan. Untuk kepentingan nasional, lebih baik bila pemerintah melalui BUMN terkait membeli lisensi kelas kapal perang yang diinginkan daripada dibangun di luar negeri. Apabila dibangun di luar negeri, keuntungan yang didapat oleh Indonesia sangat terbatas, misalnya pada transfer pengetahuan tentang pemeliharaan kapal perang. Sedangkan kalau dibangun di dalam negeri, transfer pengetahuannya lebih luas.
Tidak ada alasan lisensi kapal perang tidak bisa terlaksana. Keberhasilan lisensi FPB-57 dan torpedo SUT adalah contoh bahwa lisensi bisa dibeli, asalkan ada kemauan politik. Di masa lalu, FPB-57 dan torpedo SUT berhasil dikembangkan di Indonesia karena kemauan politik pemerintah kuat dalam mendukung hal tersebut.
2 komentar:
Saya termasuk salah seorang yang mengikuti produksi kapal FPB 57 dan
LPD dalam negeri oleh PT PAL untuk TNI AL.
Yang saya lihat selama ini produksinya terkesan "asal jadi"
segala sesuatu dikerjakan dengan "asal pasang" dan jarang menindak lanjuti masukan dari pihak TNI AL selaku pengguna padahal kekurangannya banyak sekali.
Belum lagi untuk pelaksanaan pelatihan para ABK yang cuma "berjalan asal-asalan" dan tidak mencapai tujuan yang seharusnya bagi pengawak pertama sebuah kapal.
Sepertinya pihak PT PAL hanya memanfaatkan ini sebagai "proyek" untuk memperoleh banyak kucuran dana dari pemerintah hanya untuk masuk ke kantong mereka tanpa melihat mutu/kualitas produksi yang dihasilkan.
Menurut saya sebelumnya PT PAL harus membenahi dirinya dahulu jika memang akan kita berdayakan
untuk produksi Alutsista Dalam negeri.
Kalau kondisi seperti ini terus berjalan maka saya takutkan kekuatan TNI AL akan semakin gembos karena tidak tercapainya hasil yang diinginkan dalam produksi kapal perang oleh PT PAL.
Kalau di-analogikan pihak TNI AL saat proses pembuatan kapal pesanannya bisa dikatakan : "tidak membeli mobil baru dengan segala after sales service-nya"
tetapi "ikut memperbaiki mobil yang baru dibeli dalam kondisi tidak sempurna" karena saat dalam proses pembuatannya pun sudah disibukan dengan sebagian hasilnya yang tidak sempurna.
Berbenahlah dahulu PT PAL...
Tks
Kebijakan penunjukan pelaksana offset selama ini masih berkesan pada kebijakan komando (prinsip komunal). Hal ini akan berakibat memperlemah fungsi kontrol dan menutup kemampuan manusia2 hebat produk dalam negeri lainnya yang tidak termasuk dalam koloni ini.
Akan menjadi pelajaran bagi BUMNIS2 dan menimbulkan spirit daya saing yang tinggi jika pelaksana offset dibuka untuk umum melalui sistem tender ketat.
Posting Komentar