All hands,
Tidak ada yang bisa membantah bahwa kehadiran di laut alias naval presence merupakan salah satu bagian fundamental dari kekuatan laut. Kehadiran di laut oleh masing-masing Angkatan Laut diterjemahkan dalam beragam bentuk, tergantung pada kepentingan nasional tiap negara. Sebagai contoh, U.S. Navy menganut forward presence dengan menyebarkan kekuatannya jauh dari wilayah Amerika Serikat. Tujuannya agar apabila terjadi perang atau konflik yang melibatkan U.S. Navy, lokasinya terjadi jauh di luar wilayah negaranya.
Tidak banyak negara di dunia yang Angkatan Lautnya menganut forward presence. Sebab hal itu terkait erat dengan kemampuan operasional masing-masing Angkatan Laut, selain tentunya kebijakan politik luar negeri yang dianut oleh tiap negara tersebut. Indonesia sebagaimana mayoritas negara lain di dunia, Angkatan Lautnya tidak menganut konsep forward presence. Yang dianut adalah naval presence di perairan yurisdiksinya sendiri.
Meskipun demikian, sesungguhnya terdapat tantangan untuk bagaimana memaksimalkan kehadiran di laut itu. Memaksimalkan kehadiran di laut bukan saja dalam intensitas dan kuantitas kapal perang, tetapi mencakup pula bagaimana kehadiran itu bisa mempengaruhi perkembangan situasi di darat dan atau bisa merespon krisis.
Sebagai contoh, bagaimana intensitas kehadiran kapal perang di sekitar Papua bisa mempengaruhi course of action di wilayah itu dan sekitarnya. Course of action di sana bukan semata terbatas pada wilayah Papua, tetapi pula course of action di Australia. Selama ini harus jujur kita akui bahwa kehadiran kapal perang Indonesia di perairan Papua belum banyak berkontribusi terhadap course of action di sana.
Begitu pula dalam merespon krisis, sudah sepantasnya bila Angkatan Laut melalui kapal perangnya menjadi pihak pertama yang merespon krisis. Misalnya terjadi masalah keamanan di Papua yang berpotensi mengundang intervensi kekuatan militer asing. Bisa pula terjadi bencana alam di wilayah tertentu yang terletak sampai 200 km dari pantai.
Untuk bisa mengeksploitasi kehadiran di laut, dibutuhkan pembenahan dari hulu yaitu aspek kebijakan pemerintah hingga ke hilir yaitu aspek operasional Angkatan Laut. Di wilayah hilir misalnya apakah perlu mengaktifkan kembali Kompi Marinir Apung dalam satu kompi, kini mungkin bisa satu batalyon.
Dengan tersedianya kapal LPD dengan fasilitas lebih lengkap dan lebih besar daripada LST yang di masa lalu menjadi platform dari Kimar Apung, berarti ada modalitas untuk mewujudkan hal tersebut. Tinggal pengaturan hal-hal yang bersifat teknis.
Aspek operasional berikutnya adalah soal Guspurla. Perlu perbedaan yang nyata di lapangan dalam melaksanakan tugas pokok antara Guspurla dengan Guskamla. Selain itu, perlu dikaji agar operasi Guspurla hendaknya berjalan sepanjang tahun sebagaimana layaknya operasi kamla. Dalam mengeksploitasi kehadiran di laut, peran Guspurla berpeluang untuk “ditajamkan’.
Masih banyak aspek operasional lainnya yang perlu dibenahi apabila Indonesia mau mengeksloitasi kehadiran di laut. Terkait dengan hal tersebut, pembenahan harus mencakup pula unsur logistik. Jangan sampai unsur logistik belum mampu sepenuhnya mendukung kesiapan unsur operasional. Untuk membahas kesiapan unsur logistik tentu saja ceritanya panjang dan memerlukan sesi tersendiri. Kata kuncinya adalah unsur logistik harus mampu mendukung unsur operasional.
Kebijakan pemerintah merupakan penentu pula apabila kehadiran laut ingin dieksploitasi lebih lanjut. Salah satu aspek kritis dari kebijakan pemerintah adalah dukungan anggaran. Baik untuk operasi maupun pemeliharaan. Namun lepas dari semua itu, kata kuncinya adalah kemauan politik. Berapa pun jumlah total APBN per tahun, berapa digit pun pertumbuhan ekonomi per tahun, namun apabila tidak ada keberpihakan terhadap kekuatan pertahanan, termasuk Angkatan Laut, maka semua itu tidak ada artinya.
No guts no glory!!!
Tidak ada yang bisa membantah bahwa kehadiran di laut alias naval presence merupakan salah satu bagian fundamental dari kekuatan laut. Kehadiran di laut oleh masing-masing Angkatan Laut diterjemahkan dalam beragam bentuk, tergantung pada kepentingan nasional tiap negara. Sebagai contoh, U.S. Navy menganut forward presence dengan menyebarkan kekuatannya jauh dari wilayah Amerika Serikat. Tujuannya agar apabila terjadi perang atau konflik yang melibatkan U.S. Navy, lokasinya terjadi jauh di luar wilayah negaranya.
Tidak banyak negara di dunia yang Angkatan Lautnya menganut forward presence. Sebab hal itu terkait erat dengan kemampuan operasional masing-masing Angkatan Laut, selain tentunya kebijakan politik luar negeri yang dianut oleh tiap negara tersebut. Indonesia sebagaimana mayoritas negara lain di dunia, Angkatan Lautnya tidak menganut konsep forward presence. Yang dianut adalah naval presence di perairan yurisdiksinya sendiri.
Meskipun demikian, sesungguhnya terdapat tantangan untuk bagaimana memaksimalkan kehadiran di laut itu. Memaksimalkan kehadiran di laut bukan saja dalam intensitas dan kuantitas kapal perang, tetapi mencakup pula bagaimana kehadiran itu bisa mempengaruhi perkembangan situasi di darat dan atau bisa merespon krisis.
Sebagai contoh, bagaimana intensitas kehadiran kapal perang di sekitar Papua bisa mempengaruhi course of action di wilayah itu dan sekitarnya. Course of action di sana bukan semata terbatas pada wilayah Papua, tetapi pula course of action di Australia. Selama ini harus jujur kita akui bahwa kehadiran kapal perang Indonesia di perairan Papua belum banyak berkontribusi terhadap course of action di sana.
Begitu pula dalam merespon krisis, sudah sepantasnya bila Angkatan Laut melalui kapal perangnya menjadi pihak pertama yang merespon krisis. Misalnya terjadi masalah keamanan di Papua yang berpotensi mengundang intervensi kekuatan militer asing. Bisa pula terjadi bencana alam di wilayah tertentu yang terletak sampai 200 km dari pantai.
Untuk bisa mengeksploitasi kehadiran di laut, dibutuhkan pembenahan dari hulu yaitu aspek kebijakan pemerintah hingga ke hilir yaitu aspek operasional Angkatan Laut. Di wilayah hilir misalnya apakah perlu mengaktifkan kembali Kompi Marinir Apung dalam satu kompi, kini mungkin bisa satu batalyon.
Dengan tersedianya kapal LPD dengan fasilitas lebih lengkap dan lebih besar daripada LST yang di masa lalu menjadi platform dari Kimar Apung, berarti ada modalitas untuk mewujudkan hal tersebut. Tinggal pengaturan hal-hal yang bersifat teknis.
Aspek operasional berikutnya adalah soal Guspurla. Perlu perbedaan yang nyata di lapangan dalam melaksanakan tugas pokok antara Guspurla dengan Guskamla. Selain itu, perlu dikaji agar operasi Guspurla hendaknya berjalan sepanjang tahun sebagaimana layaknya operasi kamla. Dalam mengeksploitasi kehadiran di laut, peran Guspurla berpeluang untuk “ditajamkan’.
Masih banyak aspek operasional lainnya yang perlu dibenahi apabila Indonesia mau mengeksloitasi kehadiran di laut. Terkait dengan hal tersebut, pembenahan harus mencakup pula unsur logistik. Jangan sampai unsur logistik belum mampu sepenuhnya mendukung kesiapan unsur operasional. Untuk membahas kesiapan unsur logistik tentu saja ceritanya panjang dan memerlukan sesi tersendiri. Kata kuncinya adalah unsur logistik harus mampu mendukung unsur operasional.
Kebijakan pemerintah merupakan penentu pula apabila kehadiran laut ingin dieksploitasi lebih lanjut. Salah satu aspek kritis dari kebijakan pemerintah adalah dukungan anggaran. Baik untuk operasi maupun pemeliharaan. Namun lepas dari semua itu, kata kuncinya adalah kemauan politik. Berapa pun jumlah total APBN per tahun, berapa digit pun pertumbuhan ekonomi per tahun, namun apabila tidak ada keberpihakan terhadap kekuatan pertahanan, termasuk Angkatan Laut, maka semua itu tidak ada artinya.
No guts no glory!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar