All hands,
Sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan apabila Indonesia ingin diperhitungkan dalam percaturan politik keamanan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Karena selama ini masih terdapat banyak missing link di antara keduanya. Sehingga tidak aneh Indonesia kurang dianggap lagi di kawasan ini, sebab andalannya adalah soft power diplomacy yang sudah terbukti mandul di Laut Sulawesi.
Lalu sinkronisasi seperti apa yang harus dilakukan? Yang tidak boleh dilakukan dalam sinkronisasi adalah kebijakan pertahanan menyesuaikan dengan kebijakan luar negeri. Apabila hal itu dilakukan, yang terjadi adalah kecelakaan besar. Sebab kebijakan luar negeri Indonesia selama ini justru yang menghambat sebagian dari kemajuan kekuatan pertahanan, khususnya TNI dan berimplikasi pada sulitnya para perencana pertahanan dalam bersikap merespon dinamika keamanan kawasan.
Sebagai contoh, Departemen Luar Negeri sangat sensitif apabila mendengar latihan AL kita dengan U.S. Navy, apalagi yang menyentuh manuver lapangan seperti VBSS. Sehingga seolah-olah latihan dengan kekuatan laut adidaya itu mendekati status haram. Padahal para diplomat di Pejambon tidak tahu betapa sulitnya Indonesia untuk menampik “tawaran” Washington di lapangan. Di samping itu, toh latihan itu sebenarnya juga bermanfaat bagi peningkatan kemampuan AL kita.
Isu seperti kebebasan berlatih dengan negara mana pun, sepanjang memberikan manfaat nyata bagi kekuatan pertahanan negeri ini, begitu pula kerjasama lainnya yang lebih luas dan tidak sekedar terbatas pada soft matters, juga peningkatan peran diplomasi Angkatan Laut sehingga kita bebas menyebarkan kekuatan laut negeri ini kemana saja dan untuk apa saja sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional merupakan hal-hal yang harus disinkronkan.
Dalam sinkronisasi itu, tidak boleh terjadi trade off. Sebab trade off akan lebih banyak merugikan kebijakan pertahanan, karena dapat dipastikan ada hal-hal yang selama ini dinilai sakral oleh Departemen Luar Negeri yang tidak akan dikorbankan. Masalahnya adalah sakral bagi instansi itu belum tentu sakral bagi Departemen Pertahanan, apalagi bagi kepentingan nasional.
Penyebaran kekuatan Angkatan Laut dilaksanakan untuk mendukung kebijakan luar negeri. Itu merupakan praktek yang sudah ratusan tahun dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara maju. Dalam konteks Indonesia juga harus demikian, dengan catatan kebijakan luar negerinya bukan seperti yang selama ini dianut. Sebab kebijakan luar negeri yang selama ini dianut dalam prakteknya menjadikan Indonesia terlalu naif dalam memandang hubungan antar negara.
Aspirasi kita untuk meningkatkan peran diplomasi Angkatan Laut akan lebih terwadahi apabila ada sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri. Karena diplomasi Angkatan Laut mengandung karakteristik compel and coerce, tidak ada pilihan lain kecuali kebijakan luar negeri yang dalam prakteknya selama ini naif harus ditinjau ulang. Kebijakan luar negeri harus mengacu pada kepentingan nasional, bukan kepentingan nasional yang ditafsirkan dan atau sesuai selera segelintir pihak. Dan kepentingan nasional itu sudah jelas tercantum dalam Perpres No.7 Tahun 2008.
Sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan apabila Indonesia ingin diperhitungkan dalam percaturan politik keamanan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Karena selama ini masih terdapat banyak missing link di antara keduanya. Sehingga tidak aneh Indonesia kurang dianggap lagi di kawasan ini, sebab andalannya adalah soft power diplomacy yang sudah terbukti mandul di Laut Sulawesi.
Lalu sinkronisasi seperti apa yang harus dilakukan? Yang tidak boleh dilakukan dalam sinkronisasi adalah kebijakan pertahanan menyesuaikan dengan kebijakan luar negeri. Apabila hal itu dilakukan, yang terjadi adalah kecelakaan besar. Sebab kebijakan luar negeri Indonesia selama ini justru yang menghambat sebagian dari kemajuan kekuatan pertahanan, khususnya TNI dan berimplikasi pada sulitnya para perencana pertahanan dalam bersikap merespon dinamika keamanan kawasan.
Sebagai contoh, Departemen Luar Negeri sangat sensitif apabila mendengar latihan AL kita dengan U.S. Navy, apalagi yang menyentuh manuver lapangan seperti VBSS. Sehingga seolah-olah latihan dengan kekuatan laut adidaya itu mendekati status haram. Padahal para diplomat di Pejambon tidak tahu betapa sulitnya Indonesia untuk menampik “tawaran” Washington di lapangan. Di samping itu, toh latihan itu sebenarnya juga bermanfaat bagi peningkatan kemampuan AL kita.
Isu seperti kebebasan berlatih dengan negara mana pun, sepanjang memberikan manfaat nyata bagi kekuatan pertahanan negeri ini, begitu pula kerjasama lainnya yang lebih luas dan tidak sekedar terbatas pada soft matters, juga peningkatan peran diplomasi Angkatan Laut sehingga kita bebas menyebarkan kekuatan laut negeri ini kemana saja dan untuk apa saja sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional merupakan hal-hal yang harus disinkronkan.
Dalam sinkronisasi itu, tidak boleh terjadi trade off. Sebab trade off akan lebih banyak merugikan kebijakan pertahanan, karena dapat dipastikan ada hal-hal yang selama ini dinilai sakral oleh Departemen Luar Negeri yang tidak akan dikorbankan. Masalahnya adalah sakral bagi instansi itu belum tentu sakral bagi Departemen Pertahanan, apalagi bagi kepentingan nasional.
Penyebaran kekuatan Angkatan Laut dilaksanakan untuk mendukung kebijakan luar negeri. Itu merupakan praktek yang sudah ratusan tahun dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara maju. Dalam konteks Indonesia juga harus demikian, dengan catatan kebijakan luar negerinya bukan seperti yang selama ini dianut. Sebab kebijakan luar negeri yang selama ini dianut dalam prakteknya menjadikan Indonesia terlalu naif dalam memandang hubungan antar negara.
Aspirasi kita untuk meningkatkan peran diplomasi Angkatan Laut akan lebih terwadahi apabila ada sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri. Karena diplomasi Angkatan Laut mengandung karakteristik compel and coerce, tidak ada pilihan lain kecuali kebijakan luar negeri yang dalam prakteknya selama ini naif harus ditinjau ulang. Kebijakan luar negeri harus mengacu pada kepentingan nasional, bukan kepentingan nasional yang ditafsirkan dan atau sesuai selera segelintir pihak. Dan kepentingan nasional itu sudah jelas tercantum dalam Perpres No.7 Tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar