All hands,
Filosofi utama yang membedakan Angkatan Laut dengan Angkatan Darat soal pengawakan sistem senjata. Sistem senjata Angkatan Laut diawaki oleh manusia, sementara Angkatan Darat menganut filosofi manusia yang dipersenjatai. Perbedaan filosofi ini membuat banyak perbedaan doktrin, strategi, operational art dan taktik antara kedua matra militer tersebut.
Kemajuan sistem senjata Angkatan Laut sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Teknologi Angkatan Laut secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu platform alias bangunan kapal, propulsi alias sistem pendorong dan sewaco alias combat management system yang di dalamnya tercakup pula senjata. Karena sensitifnya teknologi Angkatan Laut tersebut, merupakan hal yang lumrah apabila negara-negara yang menguasai ketiga sub teknologi Angkatan Laut begitu selektif dalam menjual sistem senjata ke negara-negara lain.
Indonesia termasuk negara yang terkena pembatasan teknologi tersebut. Sebagai contoh, negara-negara Barat tidak mengizinkan penjualan radar pengamat dan radar kendali penembakan dengan jangkauan efektif sampai 300 km. Sebaliknya Rusia tidak menutup pintu apabila Indonesia ingin membeli rudal berbasis di kapal perang dengan daya jelajah 300 km, seperti rudal Yakhont ataupun rudal yang bisa diluncurkan dari kapal selam.
Dari situ tergambar bahwa negara-negara yang menguasai teknologi Angkatan Laut sebenarnya telah “menakar” sampai sejauh mana sistem senjata kekuatan laut Indonesia boleh dipersenjatai dengan teknologi mereka. Amerika Serikat misalnya untuk sistem senjata rudal anti kapal permukaan maksimal memberikan rudal Harpoon kepada Indonesia, sedangkan untuk rudal yang diluncurkan dari kapal selam negara itu dipastikan akan menolak permintaan Indonesia. Sementara negara-negara Uni Eropa maksimal memberikan torpedo SUT kepada kekuatan laut Negeri Nusantara.
Bukan berarti kedua sistem senjata tidak bagus, namun harus diperhitungkan pula sistem lainnya yang terkait. Seperti bagaimana kemampuan radar pengamatan dan radar kendali penembakan yang diterbitkan lisensi untuk dijual kepada Indonesia. Bagaimana pula kemampuan sonar yang boleh dilepaskan untuk AL kita. Belum lagi sistem komunikasi di kapal perang, yang dapat dipastikan dibatasi pula teknologinya.
Berangkat dari kondisi itu, tantangan buat Indonesia adalah bagaimana membangun Angkatan Laut yang mempunyai daya rusak yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh negara-negara pemilik teknologi Angkatan Laut. Meskipun ada pembatasan-pembatasan, bukan berarti peluang untuk membangun kekuatan laut yang memiliki daya rusak tidak tersedia. Masih tersedia ruang tersebut, asalkan Indonesia pandai melihat peluang dan sekaligus cerdas merancang suatu arsitektur sistem senjata Angkatan Laut yang mengawinkan teknologi Angkatan Laut yang berbeda-beda.
Filosofi utama yang membedakan Angkatan Laut dengan Angkatan Darat soal pengawakan sistem senjata. Sistem senjata Angkatan Laut diawaki oleh manusia, sementara Angkatan Darat menganut filosofi manusia yang dipersenjatai. Perbedaan filosofi ini membuat banyak perbedaan doktrin, strategi, operational art dan taktik antara kedua matra militer tersebut.
Kemajuan sistem senjata Angkatan Laut sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Teknologi Angkatan Laut secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu platform alias bangunan kapal, propulsi alias sistem pendorong dan sewaco alias combat management system yang di dalamnya tercakup pula senjata. Karena sensitifnya teknologi Angkatan Laut tersebut, merupakan hal yang lumrah apabila negara-negara yang menguasai ketiga sub teknologi Angkatan Laut begitu selektif dalam menjual sistem senjata ke negara-negara lain.
Indonesia termasuk negara yang terkena pembatasan teknologi tersebut. Sebagai contoh, negara-negara Barat tidak mengizinkan penjualan radar pengamat dan radar kendali penembakan dengan jangkauan efektif sampai 300 km. Sebaliknya Rusia tidak menutup pintu apabila Indonesia ingin membeli rudal berbasis di kapal perang dengan daya jelajah 300 km, seperti rudal Yakhont ataupun rudal yang bisa diluncurkan dari kapal selam.
Dari situ tergambar bahwa negara-negara yang menguasai teknologi Angkatan Laut sebenarnya telah “menakar” sampai sejauh mana sistem senjata kekuatan laut Indonesia boleh dipersenjatai dengan teknologi mereka. Amerika Serikat misalnya untuk sistem senjata rudal anti kapal permukaan maksimal memberikan rudal Harpoon kepada Indonesia, sedangkan untuk rudal yang diluncurkan dari kapal selam negara itu dipastikan akan menolak permintaan Indonesia. Sementara negara-negara Uni Eropa maksimal memberikan torpedo SUT kepada kekuatan laut Negeri Nusantara.
Bukan berarti kedua sistem senjata tidak bagus, namun harus diperhitungkan pula sistem lainnya yang terkait. Seperti bagaimana kemampuan radar pengamatan dan radar kendali penembakan yang diterbitkan lisensi untuk dijual kepada Indonesia. Bagaimana pula kemampuan sonar yang boleh dilepaskan untuk AL kita. Belum lagi sistem komunikasi di kapal perang, yang dapat dipastikan dibatasi pula teknologinya.
Berangkat dari kondisi itu, tantangan buat Indonesia adalah bagaimana membangun Angkatan Laut yang mempunyai daya rusak yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh negara-negara pemilik teknologi Angkatan Laut. Meskipun ada pembatasan-pembatasan, bukan berarti peluang untuk membangun kekuatan laut yang memiliki daya rusak tidak tersedia. Masih tersedia ruang tersebut, asalkan Indonesia pandai melihat peluang dan sekaligus cerdas merancang suatu arsitektur sistem senjata Angkatan Laut yang mengawinkan teknologi Angkatan Laut yang berbeda-beda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar