All hands,
Pemahaman bangsa Indonesia terhadap kepentingan nasionalnya masih memprihatinkan. Masih banyak pihak di tingkat pengambilan keputusan yang tidak paham apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional. Sehingga kebijakan yang diambil pun seringkali tidak mengacu pada kepentingan nasional tersebut. Kalaupun mengacu pada kepentingan nasional, hanya terbatas pada kepentingan nasional yang parsial.
Akibatnya dunia pertahanan negeri ini seringkali menjadi korban. Penganaktirian terhadap dunia pertahanan dikarenakan pemahaman yang parsial terhadap kepentingan nasional. Padahal apabila mengacu pada Lloyd, kepentingan nasional terdiri dari survival, important, marginal dan peripheral.
Survival terkait dengan hidup matinya suatu bangsa. Berarti aspek keamanan nasional ---yang mana pertahanan adalah salah satu bagian di dalamnya--- adalah urusan hidup mati, sehingga tidak boleh dinomorduakan. Apabila kita perhatikan konstitusi berbagai bangsa di dunia, mempertahankan bangsa dan keutuhan wilayah selalu menempati urutan teratas.
Tentang important, di situ salah satunya adalah aspek kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan adalah kepentingan nasional setiap bangsa. Dengan sejahtera, salah satu tujuan mendirikan negara tercapai. Namun harus diingat, sejahtera adalah salah satu tujuan negara, bukan satu-satunya tujuan bernegara.
Tanpa perlu membahas kepentingan nasional pada lini marginal dan peripheral, sudah jelas tergambar bahwa dua urutan teratas dalam kepentingan nasional suatu bangsa sebenarnya tidak bersifat dikotomis. Kepentingan nasional tidak mengenal gun or butter, tetapi hanya mengenal gun and butter.
Tetapi mengapa di Indonesia kepentingan nasional mengenal gun or butter? Itu karena pengambil kebijakan tidak memahami dengan betul kepentingan nasional dan bagaimana mengimplementasikannya. Slogan “Mempertahankan NKRI” hanya sebatas slogan politik minus niat melaksanakannya secara maksimal. Dalam praktek, upaya mempertahankan republik ini belum maksimal.
Merupakan praktek yang lazim bila memprioritaskan kepentingan nasional yang important dengan mengerahkan segala sumber daya yang tersedia, namun pada saat saat yang sama menomorduakan kepentingan nasional yang survival. Salah satu sumber daya nasional adalah APBN. Mari kita periksa struktur APBN, berapa persen sumber daya di dalamnya yang digunakan untuk kepentingan nasional survival, important, marginal dan peripheral. Dapat dipastikan lebih dari 98 persen pembiayaan APBN diarahkan bagi kepentingan nasional yang important, sisanya dibagi untuk tiga klasifikasi kepentingan nasional lainnya.
Kondisi kekuatan pertahanan Indonesia sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan nasional survival sudah mendekati peralihan dari lampu kuning ke lampu merah. Tetapi sumber daya nasional yang dikerahkan agar kekuatan itu bisa kembali ke posisi lampu hijau masih sangat sedikit. Struktur pembiayaan APBN masih menganut pendekatan gun or butter.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana solusi dari semua ini? Solusi murah yang tersedia adalah pengambil kebijakan mengubah kebijakannya dengan mengacu pada tingkatan kepentingan nasional. Sedangkan solusi yang mahal adalah wajib militer selama lima tahun bagi calon setiap aparatur pemerintah, khususnya di lembaga yang mengatur APBN, agar tahu bagaimana kondisi ril kekuatan pertahanan negeri ini. Sebab manusia biasanya lebih punya empati dan keberpihakan setelah mengalami sendiri suatu pengalaman yang ‘tidak enak’.
Pemahaman bangsa Indonesia terhadap kepentingan nasionalnya masih memprihatinkan. Masih banyak pihak di tingkat pengambilan keputusan yang tidak paham apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional. Sehingga kebijakan yang diambil pun seringkali tidak mengacu pada kepentingan nasional tersebut. Kalaupun mengacu pada kepentingan nasional, hanya terbatas pada kepentingan nasional yang parsial.
Akibatnya dunia pertahanan negeri ini seringkali menjadi korban. Penganaktirian terhadap dunia pertahanan dikarenakan pemahaman yang parsial terhadap kepentingan nasional. Padahal apabila mengacu pada Lloyd, kepentingan nasional terdiri dari survival, important, marginal dan peripheral.
Survival terkait dengan hidup matinya suatu bangsa. Berarti aspek keamanan nasional ---yang mana pertahanan adalah salah satu bagian di dalamnya--- adalah urusan hidup mati, sehingga tidak boleh dinomorduakan. Apabila kita perhatikan konstitusi berbagai bangsa di dunia, mempertahankan bangsa dan keutuhan wilayah selalu menempati urutan teratas.
Tentang important, di situ salah satunya adalah aspek kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan adalah kepentingan nasional setiap bangsa. Dengan sejahtera, salah satu tujuan mendirikan negara tercapai. Namun harus diingat, sejahtera adalah salah satu tujuan negara, bukan satu-satunya tujuan bernegara.
Tanpa perlu membahas kepentingan nasional pada lini marginal dan peripheral, sudah jelas tergambar bahwa dua urutan teratas dalam kepentingan nasional suatu bangsa sebenarnya tidak bersifat dikotomis. Kepentingan nasional tidak mengenal gun or butter, tetapi hanya mengenal gun and butter.
Tetapi mengapa di Indonesia kepentingan nasional mengenal gun or butter? Itu karena pengambil kebijakan tidak memahami dengan betul kepentingan nasional dan bagaimana mengimplementasikannya. Slogan “Mempertahankan NKRI” hanya sebatas slogan politik minus niat melaksanakannya secara maksimal. Dalam praktek, upaya mempertahankan republik ini belum maksimal.
Merupakan praktek yang lazim bila memprioritaskan kepentingan nasional yang important dengan mengerahkan segala sumber daya yang tersedia, namun pada saat saat yang sama menomorduakan kepentingan nasional yang survival. Salah satu sumber daya nasional adalah APBN. Mari kita periksa struktur APBN, berapa persen sumber daya di dalamnya yang digunakan untuk kepentingan nasional survival, important, marginal dan peripheral. Dapat dipastikan lebih dari 98 persen pembiayaan APBN diarahkan bagi kepentingan nasional yang important, sisanya dibagi untuk tiga klasifikasi kepentingan nasional lainnya.
Kondisi kekuatan pertahanan Indonesia sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan nasional survival sudah mendekati peralihan dari lampu kuning ke lampu merah. Tetapi sumber daya nasional yang dikerahkan agar kekuatan itu bisa kembali ke posisi lampu hijau masih sangat sedikit. Struktur pembiayaan APBN masih menganut pendekatan gun or butter.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana solusi dari semua ini? Solusi murah yang tersedia adalah pengambil kebijakan mengubah kebijakannya dengan mengacu pada tingkatan kepentingan nasional. Sedangkan solusi yang mahal adalah wajib militer selama lima tahun bagi calon setiap aparatur pemerintah, khususnya di lembaga yang mengatur APBN, agar tahu bagaimana kondisi ril kekuatan pertahanan negeri ini. Sebab manusia biasanya lebih punya empati dan keberpihakan setelah mengalami sendiri suatu pengalaman yang ‘tidak enak’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar