All hands,
Sea denial merupakan satu dari tiga elemen utama kekuatan laut. Setiap bangsa yang mempunyai Angkatan Laut harus mempunyai kemampuan melaksanakan sea denial, kecuali kalau Angkatan Lautnya tidak dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional. Sea denial adalah salah satu cara mengamankan kepentingan nasional.
Pada dasarnya semua sistem senjata yang terkait dengan Angkatan Laut dapat dieksploitasi untuk kepentingan sea denial, termasuk pesawat udara dan anti permukaan yang berpangkalan di pantai. Namun dibandingkan sistem senjata tersebut, sistem senjata yang paling ditakuti dalam sea denial adalah kapal selam.
Ketika Rusia ekonominya terpuruk pada tahun 1990-an setelah bubarnya Uni Soviet, negeri itu masih memprioritaskan pembangunan kemampuan sea denial bagi Angkatan Lautnya. Hasilnya adalah masuknya sejumlah kapal selam nuklir SSGN kelas Oscar II. Kelas ini didesain untuk mampu merusak kapal induk Amerika Serikat dan menghancurkan setelah dari kapal pengawal kapal induk tersebut dalam waktu yang sama.
Sejak 1990-an sampai sekarang, aksi kapal Oscar II membayang-bayangi battle group kapal induk Amerika Serikat di Samudera Pasifik terus berlangsung. Tanpa diketahui oleh publik, setiap kapal induk Om Sam yang berpatroli di Samudera Pasifik senantiasa dibayang-bayangi oleh kapal selam Oscar II. Salah satu aksi membayang-bayangi yang dramatis dilakukan oleh kapal selam Kursk, salah satu dari (saat itu) enam kelas Oscar II yang memperkuat Armada Pasifik Rusia, yang mampu menembus perimeter pertahanan kapal induk Amerika Serikat tanpa mampu dideteksi oleh kapal pengawal.
Di kawasan Asia Pasifik, nilai strategis kapal selam sebagai senjata bagi sea denial semakin disadari oleh banyak negara. Tidak heran bila sekarang negara-negara yang dulunya tidak pernah mengoperasikan kapal selam, kini justru berlomba-lomba membeli kapal selam.
Tujuannya cuma satu yaitu mengamankan kepentingan nasional melalui sea denial. Dengan mempunyai kapal selam, mereka berpikir tentang pukulan balik kepada lawan. Asumsinya, bila mereka kalah pada peperangan kapal atas air, masih ada peluang untuk membalas lewat peperangan bawah air.
Pola berpikir demikian dari dulu dianut oleh Rusia. Itulah penjelasan mengapa dahulu Laksamana Armada Uni Soviet S.G. Gorshkov memberikan perhatian khusus pada kemampuan sea denial lewat pengembangan armada kapal selam secara drastis. Harus kita akui, pemikiran Gorshkov kini diadopsi pula oleh negara-negara di sekitar Indonesia. Meskipun mereka belum mengembangkan armada kapal selam secara drastis seperti halnya Uni Soviet di masa silam.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia terjadi keterputusan dalam pemikiran strategis antara Angkatan Lautnya dengan pengambil kebijakan politik. Pengambil kebijakan politik lebih berpikir soal uang daripada pentingnya memelihara dan membangun sea denial. Itulah ironi di negeri yang mengaku dirinya negara kepulauan.
Sea denial merupakan satu dari tiga elemen utama kekuatan laut. Setiap bangsa yang mempunyai Angkatan Laut harus mempunyai kemampuan melaksanakan sea denial, kecuali kalau Angkatan Lautnya tidak dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional. Sea denial adalah salah satu cara mengamankan kepentingan nasional.
Pada dasarnya semua sistem senjata yang terkait dengan Angkatan Laut dapat dieksploitasi untuk kepentingan sea denial, termasuk pesawat udara dan anti permukaan yang berpangkalan di pantai. Namun dibandingkan sistem senjata tersebut, sistem senjata yang paling ditakuti dalam sea denial adalah kapal selam.
Ketika Rusia ekonominya terpuruk pada tahun 1990-an setelah bubarnya Uni Soviet, negeri itu masih memprioritaskan pembangunan kemampuan sea denial bagi Angkatan Lautnya. Hasilnya adalah masuknya sejumlah kapal selam nuklir SSGN kelas Oscar II. Kelas ini didesain untuk mampu merusak kapal induk Amerika Serikat dan menghancurkan setelah dari kapal pengawal kapal induk tersebut dalam waktu yang sama.
Sejak 1990-an sampai sekarang, aksi kapal Oscar II membayang-bayangi battle group kapal induk Amerika Serikat di Samudera Pasifik terus berlangsung. Tanpa diketahui oleh publik, setiap kapal induk Om Sam yang berpatroli di Samudera Pasifik senantiasa dibayang-bayangi oleh kapal selam Oscar II. Salah satu aksi membayang-bayangi yang dramatis dilakukan oleh kapal selam Kursk, salah satu dari (saat itu) enam kelas Oscar II yang memperkuat Armada Pasifik Rusia, yang mampu menembus perimeter pertahanan kapal induk Amerika Serikat tanpa mampu dideteksi oleh kapal pengawal.
Di kawasan Asia Pasifik, nilai strategis kapal selam sebagai senjata bagi sea denial semakin disadari oleh banyak negara. Tidak heran bila sekarang negara-negara yang dulunya tidak pernah mengoperasikan kapal selam, kini justru berlomba-lomba membeli kapal selam.
Tujuannya cuma satu yaitu mengamankan kepentingan nasional melalui sea denial. Dengan mempunyai kapal selam, mereka berpikir tentang pukulan balik kepada lawan. Asumsinya, bila mereka kalah pada peperangan kapal atas air, masih ada peluang untuk membalas lewat peperangan bawah air.
Pola berpikir demikian dari dulu dianut oleh Rusia. Itulah penjelasan mengapa dahulu Laksamana Armada Uni Soviet S.G. Gorshkov memberikan perhatian khusus pada kemampuan sea denial lewat pengembangan armada kapal selam secara drastis. Harus kita akui, pemikiran Gorshkov kini diadopsi pula oleh negara-negara di sekitar Indonesia. Meskipun mereka belum mengembangkan armada kapal selam secara drastis seperti halnya Uni Soviet di masa silam.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia terjadi keterputusan dalam pemikiran strategis antara Angkatan Lautnya dengan pengambil kebijakan politik. Pengambil kebijakan politik lebih berpikir soal uang daripada pentingnya memelihara dan membangun sea denial. Itulah ironi di negeri yang mengaku dirinya negara kepulauan.
Penting untuk diketahui bahwa para pengambil keputusan politik di negara-negara lain pola pikirnya sudah mencapai pada gun and butter. Sementara di Indonesia masih gun or butter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar