All hands,
Dewasa ini mayoritas pemerintahan di dunia menganut paradigma gun and butter, kecuali pemerintahan di Indonesia. Mengapa mereka menganut paradigma gun and butter dan meninggalkan paradigma gun or butter? Jawabannya sederhana, sebab mereka sadar bahwa kepentingan nasional mereka tidak bisa menerima dikotomi gun and butter.
Kepentingan nasional bangsa-bangsa itu selain menekankan pada kemakmuran bagi bangsa mereka, juga menekankan bahwa mereka perlu keamanan untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran itu. Bagi mereka, mustahil mencapai kemakmuran dengan menempatkan kekuatan militer mereka sebagai anak tiri di negeri sendiri. Apalagi dalam dunia yang kini saling interdepensi keamanan, yang mana ancaman dan tantangan keamanan bisa berimplikasi langsung terhadap upaya mencapai dan mengamankan kemakmuran mereka.
Atas nama kemakmuran ---lepas mayoritas dari kita tidak setuju---, Amerika Serikat membangun kekuatan militer dan kemudian menginvasi Afghanistan dan Irak. Berdasarkan alasan yang sama sebagian negara-negara NATO mendukung tindakan melanggar hukum internasional tersebut. Atas nama kemakmuran pula, Jepang, Korea Selatan dan Singapura mengirimkan kekuatan lautnya ke perairan Teluk Persia, Laut Arab dan Samudera India guna berpartisipasi dalam perang terhadap terorisme.
Kita semua paham bahwa minyak menjadi alasan utama mengapa Amerika Serikat menginvasi dua negeri Muslim itu. Eksistensi senjata pemusnah massal dan dukungan terhadap kelompok teroris Al Qaidah hanyalah alasan penyamar. Di balik semua itu terdapat minyak bumi yang merupakan salah satu sarana untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran bagi mereka.
Apapun kondisi yang terjadi, pembangunan kekuatan militer guna menjamin kepentingan bangsa-bangsa itu terus dilaksanakan. Karena mereka merasa nyaman dengan mempunyai militer yang kuat, bukan sekedar kehidupan yang makmur. Sebab mereka sadar, untuk mencapai kemakmuran tanpa didukung oleh kekuatan militer yang memadai merupakan suatu kemustahilan.
Di Indonesia, atas nama kemakmuran maka kekuatan militer dinomorduakan dalam pengembangannya. Atas nama kemakmuran, dinamika lingkungan keamanan yang sebagian di antaranya memunculkan ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional Indonesia diabaikan. Contoh jelasnya adalah kasus Laut Sulawesi, yang mana sejak 2005 sampai sekarang tidak ada pembangunan kekuatan laut yang signifikan dari pemerintah.
Artinya, atas nama kemakmuran sebagian dari kepentingan nasional sepertinya tidak ragu untuk dikorbankan. Dan paradigma atas nama kemakmuran sudah berlangsung lama dan terus berlangsung hingga kini di Indonesia? Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah makmur?
Ketika terjadi krisis ekonomi 1997, atas nama kemakmuran uang sekitar Rp.400 trilyun tidak ragu dicurahkan bagi kepentingan ekonomi. Lalu apa hasilnya? Malah membuat negeri ini bangkrut dan terpuruk di dunia.
Anehnya, mengeluarkan dana Rp.10-20 trilyun bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut saja ---untuk pengadaan kapal selam, kapal atas air dan sistem pendukungnya--- susahnya minta ampun. Kenapa sulit? Sekali lagi alasannya atas nama kemakmuran.
Dewasa ini mayoritas pemerintahan di dunia menganut paradigma gun and butter, kecuali pemerintahan di Indonesia. Mengapa mereka menganut paradigma gun and butter dan meninggalkan paradigma gun or butter? Jawabannya sederhana, sebab mereka sadar bahwa kepentingan nasional mereka tidak bisa menerima dikotomi gun and butter.
Kepentingan nasional bangsa-bangsa itu selain menekankan pada kemakmuran bagi bangsa mereka, juga menekankan bahwa mereka perlu keamanan untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran itu. Bagi mereka, mustahil mencapai kemakmuran dengan menempatkan kekuatan militer mereka sebagai anak tiri di negeri sendiri. Apalagi dalam dunia yang kini saling interdepensi keamanan, yang mana ancaman dan tantangan keamanan bisa berimplikasi langsung terhadap upaya mencapai dan mengamankan kemakmuran mereka.
Atas nama kemakmuran ---lepas mayoritas dari kita tidak setuju---, Amerika Serikat membangun kekuatan militer dan kemudian menginvasi Afghanistan dan Irak. Berdasarkan alasan yang sama sebagian negara-negara NATO mendukung tindakan melanggar hukum internasional tersebut. Atas nama kemakmuran pula, Jepang, Korea Selatan dan Singapura mengirimkan kekuatan lautnya ke perairan Teluk Persia, Laut Arab dan Samudera India guna berpartisipasi dalam perang terhadap terorisme.
Kita semua paham bahwa minyak menjadi alasan utama mengapa Amerika Serikat menginvasi dua negeri Muslim itu. Eksistensi senjata pemusnah massal dan dukungan terhadap kelompok teroris Al Qaidah hanyalah alasan penyamar. Di balik semua itu terdapat minyak bumi yang merupakan salah satu sarana untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran bagi mereka.
Apapun kondisi yang terjadi, pembangunan kekuatan militer guna menjamin kepentingan bangsa-bangsa itu terus dilaksanakan. Karena mereka merasa nyaman dengan mempunyai militer yang kuat, bukan sekedar kehidupan yang makmur. Sebab mereka sadar, untuk mencapai kemakmuran tanpa didukung oleh kekuatan militer yang memadai merupakan suatu kemustahilan.
Di Indonesia, atas nama kemakmuran maka kekuatan militer dinomorduakan dalam pengembangannya. Atas nama kemakmuran, dinamika lingkungan keamanan yang sebagian di antaranya memunculkan ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional Indonesia diabaikan. Contoh jelasnya adalah kasus Laut Sulawesi, yang mana sejak 2005 sampai sekarang tidak ada pembangunan kekuatan laut yang signifikan dari pemerintah.
Artinya, atas nama kemakmuran sebagian dari kepentingan nasional sepertinya tidak ragu untuk dikorbankan. Dan paradigma atas nama kemakmuran sudah berlangsung lama dan terus berlangsung hingga kini di Indonesia? Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah makmur?
Ketika terjadi krisis ekonomi 1997, atas nama kemakmuran uang sekitar Rp.400 trilyun tidak ragu dicurahkan bagi kepentingan ekonomi. Lalu apa hasilnya? Malah membuat negeri ini bangkrut dan terpuruk di dunia.
Anehnya, mengeluarkan dana Rp.10-20 trilyun bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut saja ---untuk pengadaan kapal selam, kapal atas air dan sistem pendukungnya--- susahnya minta ampun. Kenapa sulit? Sekali lagi alasannya atas nama kemakmuran.
3 komentar:
ya mo gimana,... pemimpin,... harus punya visi dan misi yang kuat untuk itu semua,... beberapa negara dapat dengan cepat membangun perekonomian negara tsb,... kenapa kita tidak belajar dan mencontoh mereka???? sehingga hankam kita dapat diperbaiki dan menunjang kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
Kita jangan terjebak pada paradigma mana yang lebih dahulu ayam atau telur dalam soal pertahanan dan ekonomi.Pengambil keputusan masih terpaku di situ, makanya bangsa ini cuma besar di atas kertas, kenyataannya ciprit. Termasuk soal kekuatan militer.
saya pernah bercerita pada teman saya sambil melihat berita ambalat yg memanas.... saya bercerita bahwa indonesia membeli corvet sigma 4 buah dengan kisaran harga 1 kapal Rp 2trilyun,kemudian dia spontan berkata
" haahhh buat pa beli kapal mahal2 mending buat dibagiin ke org miskin,bs buat makan nasi bungkus.klo ga subsidi bensin digedein buat rakyat"
spontan saya berpikir dan merasa marah,dan saya mengatakan
"memang dengan harga sgitu kita bs memberi makan org bnyk,mensubsidi,dan membantu org miskin... tp apa kmu tw harga diri bangsa kita diinjak2,nelayan di perbatasan dihajar dipukul krn tidak adanya kapal KRI yg berpatroli disana"
dan kemudian saya mengambil perumpamaan
"klo kmu seorg sudagar kaya berjalan ksana kemari dengan gelang emas berjalan disomalia yg tiap tahunnya ratusan ribu org meninggal krn klaparan.. dan saya org somalia yg memegang senjata AK-47 saya tak akan segan2 mengambil hartamu agar saya bs menjadi kaya dan contohnya ambalat ini negara lain berani masuk negara kita krn kita diremehkan dan mereka tw klo kapal dan psawat kita tua dan sedikit"
yg intinya percuma klo kita makmur tp tak bs menjaga kemakmuran tersebut,anggapannya kita mengumpankan pindang(indonesia yg makmur SDAnya) ke kucing(negara lain) lapar.
Posting Komentar