All hands,
Reformasi politik berimbas pula pada kekuatan pertahanan Indonesia. Pada satu sisi, hasil dari reformasi itu memang bagus. Yakni kekuatan pertahanan, khususnya TNI tidak lagi mengurus hal-hal yang bukan tugas pokoknya. Sehingga tak ada lagi pameo “Semua tugas terlaksana, kecuali tugas pokok”.
Namun kemauan TNI mengikuti arahan politik untuk kembali ke fungsi utamanya tidak diimbangi oleh aktor-aktor bangsa lainnya. Kalau kita bandingkan antara kondisi kekuatan TNI saat ini dengan 1998, nyaris tidak berbeda. Tidak ada penambahan fire power TNI yang signifikan selama 11 tahun belakangan. Betul bahwa ada sejumlah sistem senjata baru, tetapi itu lebih untuk menggantikan sistem senjata lama yang terpaksa dipensiunkan karena sangat amat sekali sering bermasalah. Kalau tidak terpaksa, sistem senjata lama itu tidak akan dipensiunkan meskipun perhitungan ekonomis mengatakan bahwa pemeliharaannya sudah tidak ekonomis lagi dan menjadi beban bagi anggaran.
Meskipun katanya sudah reformasi, sampai sekarang pun TNI dipaksa untuk mengandalkan kemampuannya pada sistem senjata lama. Contohnya adalah kebijakan minimum essential force. Karena anggaran yang dialokasi bagi kepentingan pertahanan tidak berbeda dengan masa sebelum reformasi. Dalam arti anggaran pertahanan bukan prioritas utama, meskipun secara besaran kini menempati nomor dua dalam APBN.
Kenaikan anggaran pun ---dalam kasus tertentu--- harus didahului oleh pengorbanan jiwa sekian puluh atau ratus prajurit. Mungkin kalau mereka tidak “berkorban”, tahun 2010 pun anggaran pertahanan bisa lebih kecil daripada yang telah ditetapkan.
Lalu apa arti dari semua itu? Pengambil kebijakan masih menganut paradigma gun or butter. Paradigma itu masih dianut meskipun ada kasus klaim wilayah di Laut Sulawesi, begitu pula kapal perang asing melanggar ketentuan-ketentuan tentang lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa reformasi tidak memberikan keuntungan bagi kekuatan pertahanan, dalam arti aspek profesionalisme. Apa artinya kembali ke fungsi utama tetapi tidak didukung oleh kemauan politik dari pengambil kebijakan? Apakah bisa menjadi kekuatan pertahanan yang profesional bila kebijakan politik tidak berpihak pada modernisasi kekuatan?
Untuk menjadi kekuatan profesional, butuh sistem senjata yang baru sebab taktik dan strategi akan lebih andal dilaksanakan bila sistem senjatanya memadai dan sesuai dengan fungsi asasinya. Selain itu, butuh intensitas latihan yang tinggi bagi personel pengawak. Bagaimana pengambil kebijakan politik bisa mengharapkan AL kita menjadi kekuatan profesional bila anggaran untuk latihan sangat terbatas?
Suka atau tidak suka, latihan bagi AL adalah di laut menggunakan kapal perang. Semakin tinggi intensitas latihan antar unsur kapal perang di laut, semakin tinggi kesempatan untuk meningkatkan keterampilan di bidang taktik dan strategi. Untuk latihan, butuh dukungan BBM, munisi, uang layar dan lain sebagainya.
Kondisi pertahanan Indonesia sekarang yang seperti ini adalah hasil dari reformasi. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab? Dan mau dibawa kemana kekuatan pertahanan negeri ini?
Reformasi politik berimbas pula pada kekuatan pertahanan Indonesia. Pada satu sisi, hasil dari reformasi itu memang bagus. Yakni kekuatan pertahanan, khususnya TNI tidak lagi mengurus hal-hal yang bukan tugas pokoknya. Sehingga tak ada lagi pameo “Semua tugas terlaksana, kecuali tugas pokok”.
Namun kemauan TNI mengikuti arahan politik untuk kembali ke fungsi utamanya tidak diimbangi oleh aktor-aktor bangsa lainnya. Kalau kita bandingkan antara kondisi kekuatan TNI saat ini dengan 1998, nyaris tidak berbeda. Tidak ada penambahan fire power TNI yang signifikan selama 11 tahun belakangan. Betul bahwa ada sejumlah sistem senjata baru, tetapi itu lebih untuk menggantikan sistem senjata lama yang terpaksa dipensiunkan karena sangat amat sekali sering bermasalah. Kalau tidak terpaksa, sistem senjata lama itu tidak akan dipensiunkan meskipun perhitungan ekonomis mengatakan bahwa pemeliharaannya sudah tidak ekonomis lagi dan menjadi beban bagi anggaran.
Meskipun katanya sudah reformasi, sampai sekarang pun TNI dipaksa untuk mengandalkan kemampuannya pada sistem senjata lama. Contohnya adalah kebijakan minimum essential force. Karena anggaran yang dialokasi bagi kepentingan pertahanan tidak berbeda dengan masa sebelum reformasi. Dalam arti anggaran pertahanan bukan prioritas utama, meskipun secara besaran kini menempati nomor dua dalam APBN.
Kenaikan anggaran pun ---dalam kasus tertentu--- harus didahului oleh pengorbanan jiwa sekian puluh atau ratus prajurit. Mungkin kalau mereka tidak “berkorban”, tahun 2010 pun anggaran pertahanan bisa lebih kecil daripada yang telah ditetapkan.
Lalu apa arti dari semua itu? Pengambil kebijakan masih menganut paradigma gun or butter. Paradigma itu masih dianut meskipun ada kasus klaim wilayah di Laut Sulawesi, begitu pula kapal perang asing melanggar ketentuan-ketentuan tentang lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa reformasi tidak memberikan keuntungan bagi kekuatan pertahanan, dalam arti aspek profesionalisme. Apa artinya kembali ke fungsi utama tetapi tidak didukung oleh kemauan politik dari pengambil kebijakan? Apakah bisa menjadi kekuatan pertahanan yang profesional bila kebijakan politik tidak berpihak pada modernisasi kekuatan?
Untuk menjadi kekuatan profesional, butuh sistem senjata yang baru sebab taktik dan strategi akan lebih andal dilaksanakan bila sistem senjatanya memadai dan sesuai dengan fungsi asasinya. Selain itu, butuh intensitas latihan yang tinggi bagi personel pengawak. Bagaimana pengambil kebijakan politik bisa mengharapkan AL kita menjadi kekuatan profesional bila anggaran untuk latihan sangat terbatas?
Suka atau tidak suka, latihan bagi AL adalah di laut menggunakan kapal perang. Semakin tinggi intensitas latihan antar unsur kapal perang di laut, semakin tinggi kesempatan untuk meningkatkan keterampilan di bidang taktik dan strategi. Untuk latihan, butuh dukungan BBM, munisi, uang layar dan lain sebagainya.
Kondisi pertahanan Indonesia sekarang yang seperti ini adalah hasil dari reformasi. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab? Dan mau dibawa kemana kekuatan pertahanan negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar