All hands,
Bagi kita yang secara rutin mendarat dan tinggal landas di Surabaya, baik lewat Lanudal Juanda maupun Bandara Juanda, pasti akan menemukan ironi apabila mencermati memperhatikan lingkungan di sana. Ironi itu sekaligus mengundang senyum kecut sambil tak pikir habis di dalam hati kita. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa demikian?
Yang menjadi bahan renungan hingga tak habis pikir adalah eksistensi Lanud Surabaya milik Angkatan Udara di lingkungan Lanudal Juanda. Kenapa dikatakan tak habis pikir? Jawabannya sederhana, apa urgensinya mendirikan sebuah pangkalan udara di wilayah yang jelas-jelas dari awal sejarahnya adalah milik Angkatan Laut dalam bentuk organisasi Lanudal Juanda.
Toh kalau kita perhatikan pergerakan pesawat udara Angkatan Udara di Lanudal Juanda sangat tidak signifikan. Sangat jarang pesawat Angkatan Udara menggunakan Lanudal Juanda untuk kepentingan operasi. Sebab 10-15 menit penerbangan di sebelah selatan dan barat daya Lanudal Juanda terdapat dua Lanud punya Angkatan Udara yang berkategori kelas A.
Sejarah Lanudal Juanda jelas dibangun oleh Angkatan Laut dan khusus untuk kepentingan penerbangan Angkatan Laut menggantikan peran PUALAM yang kini menjadi bagian dari AAL. Karena fasilitas di Lanudal Juanda ketika baru selesai dibangun jauh lebih lengkap daripada di IWY, dulu seringkali pesawat MiG bermanuver di Juanda dengan kecepatan suara untuk menunjukkan ketidaksukaan tersebut. Dengan manuver tersebut, diharapkan fasilitas rusak seperti misalnya pecahnya sistem lampu pendaratan.
Ketika di era Orde Baru Pelabuhan Udara (sipil) Morokrembangan ditutup dan disulap menjadi lapangan peti kemas hingga kini, penerbangan sipil kemudian pindah menumpang ke Lanudal. Semua fasilitas di Lanudal Juanda yang berada di sisi selatan landasan pacu merupakan inventaris Angkatan Laut.
Dikaitkan dengan kehadiran Lanud Surabaya di tengah-tengah Lanudal Juanda, menjadi pertanyaan apa urgensinya? Toh secara nyata Lanud Surabaya praktis tidak punya apa-apa di Lanudal Juanda, kecuali Markas Lanud saja. Dan posisi Surabaya dari sisi operasional Angkatan Udara nampaknya masih bisa terliput dari Lanud ABD maupun IWY.
Pertanyaan ini bisa dianalogikan apabila misalnya Angkatan Laut mau mendirikan Lanudal di IWY. IWY dari sejarahnya jelas milik Angkatan Udara. Dari sisi operasional Angkatan Laut, nampaknya tidak ada urgensi harus mendirikan Lanudal di Maospati. Semua masih bisa terliput dari Lanudal Juanda.
Kalau kita berpikir dalam konteks operasi gabungan, tidak ada urgensi bagi Angkatan Udara untuk mendirikan Lanud di Surabaya. Toh seandainya ada kebutuhan operasional, bisa menggunakan fasilitas yang tersedia di Lanudal. Kalaupun Angkatan Udara mau hadir di Surabaya, apa perlu setingkat Lanud. Apa tidak cuma setingkat perwakilan atau Detasemen saja?
Memang tidak diingkari fakta bahwa ada pula sejumlah Lanudal yang berdampingan dengan Lanud di sejumlah tempat, seperti di Manado, Kupang dan Sabang. Namun kehadiran Lanual tersebut beralasan, sebab di wilayah tersebut memang menjadi salah satu basis operasional Penerbangan Angkatan Laut dalam rangka menggelar patroli maritim. Sehingga wajar saja ada Lanudal di situ. Sekarang silakan bandingkan dengan kondisi di Surabaya yang buat kita yang paham tentu sangat jelas berbeda.
Tulisan ini bukan ditujukan untuk persaingan tidak sehat antar matra. Pesan yang ingin disampaikan adalah mari kita lihat kebutuhan untuk membangun suatu pangkalan. Jangan sampai terjadi redundansi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kebutuhan untuk membangun pangkalan hendaknya bukan didasarkan pada kebutuhan untuk menambah jabatan dan pangkat tertentu dalam DSP, tetapi mengacu pada kebutuhan operasional.
Penting untuk kita pahami bahwa saat ini eranya adalah operasi gabungan. Dalam operasi gabungan, suatu Angkatan menggunakan fasilitas Angkatan lainnya sah-sah saja. Itu lebih efisien daripada harus membangun fasilitas baru, termasuk pangkalan yang sebenarnya urgensinya dipertanyakan.
Bagi kita yang secara rutin mendarat dan tinggal landas di Surabaya, baik lewat Lanudal Juanda maupun Bandara Juanda, pasti akan menemukan ironi apabila mencermati memperhatikan lingkungan di sana. Ironi itu sekaligus mengundang senyum kecut sambil tak pikir habis di dalam hati kita. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa demikian?
Yang menjadi bahan renungan hingga tak habis pikir adalah eksistensi Lanud Surabaya milik Angkatan Udara di lingkungan Lanudal Juanda. Kenapa dikatakan tak habis pikir? Jawabannya sederhana, apa urgensinya mendirikan sebuah pangkalan udara di wilayah yang jelas-jelas dari awal sejarahnya adalah milik Angkatan Laut dalam bentuk organisasi Lanudal Juanda.
Toh kalau kita perhatikan pergerakan pesawat udara Angkatan Udara di Lanudal Juanda sangat tidak signifikan. Sangat jarang pesawat Angkatan Udara menggunakan Lanudal Juanda untuk kepentingan operasi. Sebab 10-15 menit penerbangan di sebelah selatan dan barat daya Lanudal Juanda terdapat dua Lanud punya Angkatan Udara yang berkategori kelas A.
Sejarah Lanudal Juanda jelas dibangun oleh Angkatan Laut dan khusus untuk kepentingan penerbangan Angkatan Laut menggantikan peran PUALAM yang kini menjadi bagian dari AAL. Karena fasilitas di Lanudal Juanda ketika baru selesai dibangun jauh lebih lengkap daripada di IWY, dulu seringkali pesawat MiG bermanuver di Juanda dengan kecepatan suara untuk menunjukkan ketidaksukaan tersebut. Dengan manuver tersebut, diharapkan fasilitas rusak seperti misalnya pecahnya sistem lampu pendaratan.
Ketika di era Orde Baru Pelabuhan Udara (sipil) Morokrembangan ditutup dan disulap menjadi lapangan peti kemas hingga kini, penerbangan sipil kemudian pindah menumpang ke Lanudal. Semua fasilitas di Lanudal Juanda yang berada di sisi selatan landasan pacu merupakan inventaris Angkatan Laut.
Dikaitkan dengan kehadiran Lanud Surabaya di tengah-tengah Lanudal Juanda, menjadi pertanyaan apa urgensinya? Toh secara nyata Lanud Surabaya praktis tidak punya apa-apa di Lanudal Juanda, kecuali Markas Lanud saja. Dan posisi Surabaya dari sisi operasional Angkatan Udara nampaknya masih bisa terliput dari Lanud ABD maupun IWY.
Pertanyaan ini bisa dianalogikan apabila misalnya Angkatan Laut mau mendirikan Lanudal di IWY. IWY dari sejarahnya jelas milik Angkatan Udara. Dari sisi operasional Angkatan Laut, nampaknya tidak ada urgensi harus mendirikan Lanudal di Maospati. Semua masih bisa terliput dari Lanudal Juanda.
Kalau kita berpikir dalam konteks operasi gabungan, tidak ada urgensi bagi Angkatan Udara untuk mendirikan Lanud di Surabaya. Toh seandainya ada kebutuhan operasional, bisa menggunakan fasilitas yang tersedia di Lanudal. Kalaupun Angkatan Udara mau hadir di Surabaya, apa perlu setingkat Lanud. Apa tidak cuma setingkat perwakilan atau Detasemen saja?
Memang tidak diingkari fakta bahwa ada pula sejumlah Lanudal yang berdampingan dengan Lanud di sejumlah tempat, seperti di Manado, Kupang dan Sabang. Namun kehadiran Lanual tersebut beralasan, sebab di wilayah tersebut memang menjadi salah satu basis operasional Penerbangan Angkatan Laut dalam rangka menggelar patroli maritim. Sehingga wajar saja ada Lanudal di situ. Sekarang silakan bandingkan dengan kondisi di Surabaya yang buat kita yang paham tentu sangat jelas berbeda.
Tulisan ini bukan ditujukan untuk persaingan tidak sehat antar matra. Pesan yang ingin disampaikan adalah mari kita lihat kebutuhan untuk membangun suatu pangkalan. Jangan sampai terjadi redundansi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kebutuhan untuk membangun pangkalan hendaknya bukan didasarkan pada kebutuhan untuk menambah jabatan dan pangkat tertentu dalam DSP, tetapi mengacu pada kebutuhan operasional.
Penting untuk kita pahami bahwa saat ini eranya adalah operasi gabungan. Dalam operasi gabungan, suatu Angkatan menggunakan fasilitas Angkatan lainnya sah-sah saja. Itu lebih efisien daripada harus membangun fasilitas baru, termasuk pangkalan yang sebenarnya urgensinya dipertanyakan.
1 komentar:
mungkin bila RI perang lg lanud juanda bs jd lanud garis belakang,pertahanan terakhir... mungkin sih....
Posting Komentar