All hands,
Operasi gabungan yang kini menjadi keharusan di abad ke-21 sebenarnya bukan suatu hal yang baru bagi militer Indonesia. Dalam sejarahnya, militer negeri ini pernah beberapa kali melaksanakan operasi gabungan, yaitu dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta dan Operasi Trikora. Kedua kampanye militer tersebut merupakan operasi gabungan yang melibatkan ketiga matra militer. Dari sini tergambar bahwa militer Indonesia mempunyai modalitas mengenai operasi gabungan.
Namun modalitas itu nampaknya kurang ditonjolkan ketika berbicara soal pengalaman operasi di masa lalu dan apa lesson learned bagi kebutuhan operasi gabungan di masa kini dan di masa depan. Militer negeri ini lebih suka melihat pengalaman perang kemerdekaan sebagai tonggak penting ketika dihadapkan dengan lingkungan keamanan saat ini dan ke depan yang menuntut operasi gabungan. Tidak heran ketika berdiskusi tentang perang, yang langsung muncul biasanya bukan soal bagaimana kita merancang operasi gabungan ke depan, tetapi tentang perang semesta yang identik dengan perang gerilya.
Akibatnya nyaris tidak ada kemajuan dalam pola pikir soal perang, termasuk menyangkut operasi. Meskipun sejak 1980-an telah beberapa dilaksanakan latihan gabungan secara cerminan pelaksanaan operasi gabungan, namun mindset mayoritas masih pada perang kemerdekaan. Upaya-upaya untuk mendobrak paradigma perang kemerdekaan pada tingkat doktrin sangat sulit. Kalau melihat doktrin militer negeri ini (Doktrin TNI), itulah cerminan dari kegagalan mendobrak paradigma perang kemerdekaan.
Perang kemerdekaan bagi militer sangat identik dengan tokoh tertentu. Nama dan patung tokoh ini pasti ada di markas-markas non laut dan udara. Bahkan di Departemen Pertahanan pun demikian. Lebih dari itu, di departemen ini yang harusnya bernuansa gabungan kita tidak akan pernah menemukan tokoh matra laut dan udara yang namanya diabadikan menjadi nama gedung.
Perang kemerdekaan dan peran tokoh tertentu yang sentral adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Namun apakah kita harus menyakralkannya sehingga pola pikir mengenai perang, kampanye dan operasi masih harus terkungkung pada pengalaman era itu? Bukankah militer negeri ini juga mempunyai sejumlah pengalaman perang yang jauh lebih maju dari sekedar perang kemerdekaan?
Kalau kita mau jujur, militer negeri ini sebagai tentara modern baru mempunyai setidaknya dua pengalaman perang, yaitu saat menumpas PRRI/Permesta dan kampanye pembebasan Irian Barat lewat Operasi Trikora. Pada era kemerdekaan, militer negeri ini belum bisa disebut sebagai tentara modern, sebab modalnya cuma senapan ringan dan mortir. Tidak ada tank, meriam apalagi kapal perang dan pesawat udara.
Mengingat kompleksitas tantangan dan ancaman masa kini, nampaknya militer negeri ini perlu mencari sosok tokoh baru yang dapat dijadikan sebagai founder dalam operasi gabungan. Sosok tokoh baru itu tidak harus satu orang, bisa dua atau tiga orang. Misalnya perlu dilacak dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, siapa saja yang menjadi otak dari operasi gabungan itu? Kehadiran sosok tokoh baru ini menurut saya penting, agar militer negeri ini tidak terpaku pada satu episode saja dalam rangkaian sejarahnya. Terpaku pada satu periode sejarah mengakibatkan stagnasi dalam berpikir soal perang di masa depan, termasuk pengembangan doktrin.
Operasi gabungan yang kini menjadi keharusan di abad ke-21 sebenarnya bukan suatu hal yang baru bagi militer Indonesia. Dalam sejarahnya, militer negeri ini pernah beberapa kali melaksanakan operasi gabungan, yaitu dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta dan Operasi Trikora. Kedua kampanye militer tersebut merupakan operasi gabungan yang melibatkan ketiga matra militer. Dari sini tergambar bahwa militer Indonesia mempunyai modalitas mengenai operasi gabungan.
Namun modalitas itu nampaknya kurang ditonjolkan ketika berbicara soal pengalaman operasi di masa lalu dan apa lesson learned bagi kebutuhan operasi gabungan di masa kini dan di masa depan. Militer negeri ini lebih suka melihat pengalaman perang kemerdekaan sebagai tonggak penting ketika dihadapkan dengan lingkungan keamanan saat ini dan ke depan yang menuntut operasi gabungan. Tidak heran ketika berdiskusi tentang perang, yang langsung muncul biasanya bukan soal bagaimana kita merancang operasi gabungan ke depan, tetapi tentang perang semesta yang identik dengan perang gerilya.
Akibatnya nyaris tidak ada kemajuan dalam pola pikir soal perang, termasuk menyangkut operasi. Meskipun sejak 1980-an telah beberapa dilaksanakan latihan gabungan secara cerminan pelaksanaan operasi gabungan, namun mindset mayoritas masih pada perang kemerdekaan. Upaya-upaya untuk mendobrak paradigma perang kemerdekaan pada tingkat doktrin sangat sulit. Kalau melihat doktrin militer negeri ini (Doktrin TNI), itulah cerminan dari kegagalan mendobrak paradigma perang kemerdekaan.
Perang kemerdekaan bagi militer sangat identik dengan tokoh tertentu. Nama dan patung tokoh ini pasti ada di markas-markas non laut dan udara. Bahkan di Departemen Pertahanan pun demikian. Lebih dari itu, di departemen ini yang harusnya bernuansa gabungan kita tidak akan pernah menemukan tokoh matra laut dan udara yang namanya diabadikan menjadi nama gedung.
Perang kemerdekaan dan peran tokoh tertentu yang sentral adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Namun apakah kita harus menyakralkannya sehingga pola pikir mengenai perang, kampanye dan operasi masih harus terkungkung pada pengalaman era itu? Bukankah militer negeri ini juga mempunyai sejumlah pengalaman perang yang jauh lebih maju dari sekedar perang kemerdekaan?
Kalau kita mau jujur, militer negeri ini sebagai tentara modern baru mempunyai setidaknya dua pengalaman perang, yaitu saat menumpas PRRI/Permesta dan kampanye pembebasan Irian Barat lewat Operasi Trikora. Pada era kemerdekaan, militer negeri ini belum bisa disebut sebagai tentara modern, sebab modalnya cuma senapan ringan dan mortir. Tidak ada tank, meriam apalagi kapal perang dan pesawat udara.
Mengingat kompleksitas tantangan dan ancaman masa kini, nampaknya militer negeri ini perlu mencari sosok tokoh baru yang dapat dijadikan sebagai founder dalam operasi gabungan. Sosok tokoh baru itu tidak harus satu orang, bisa dua atau tiga orang. Misalnya perlu dilacak dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, siapa saja yang menjadi otak dari operasi gabungan itu? Kehadiran sosok tokoh baru ini menurut saya penting, agar militer negeri ini tidak terpaku pada satu episode saja dalam rangkaian sejarahnya. Terpaku pada satu periode sejarah mengakibatkan stagnasi dalam berpikir soal perang di masa depan, termasuk pengembangan doktrin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar