All hands,
Salah satu tantangan dalam pembangunan kekuatan pertahanan di Indonesia adalah paradigma berpikir gabungan. Termasuk di dalamnya saat menyusun perencanaan kekuatan, paradigma operasi gabungan harus dikedepankan. Sebagai contoh, apabila Angkatan Laut merencanakan membeli kapal korvet dan atau fregat jenis x, sementara Angkatan Udara dalam waktu yang sama merencanakan pengadaan pesawat tempur jenis y, kedua matra sebaiknya berkoordinasi menyangkut interoperability kedua sistem senjata yang berbeda.
Meskipun sangat jelas bahwa opsreq antara kapal perang dengan pesawat tempur berbeda, minimal ada interoperability dalam sistem C4ISR. Sehingga ketika beroperasi nanti, kedua sistem senjata yang berbeda jenis itu dapat berkomunikasi di frekuensi gelombang elektronika yang sama untuk pertukaran informasi dan sekaligus komando dan kendali. Dengan demikian interoperability nantinya dapat benar-benar diterapkan di lapangan, bukan sekedar teori saja.
Masalah kesamaan frekuensi gelombang elektronika bagi gelombang elektronika antara Angkatan Laut dan Angkatan Udara di negeri ini merupakan masalah lama yang hingga kini belum dapat dipecahkan sepenuhnya. Agar tidak menjadi masalah terus di masa mendatang, hendaknya interoperability antar sistem senjata dari matra yang berbeda dibahas secara matang ketika dalam proses perencanaan kekuatan.
Isu interoperability lainnya yang harus dibenahi adalah soal operasi maritim. Seperti dipahami, operasi maritim bukanlah operasi yang eksklusif Angkatan Laut, meskipun Angkatan Laut selalu menjadi unsur utama dalam operasi itu. Dalam operasi maritim, kekuatan udara Angkatan Udara bisa terlibat, termasuk heli. Yang sangat jarang dipikirkan di Indonesia, apalagi dipraktekkan adalah bagaimana heli Angkatan Udara tergabung dalam gugus tugas gabungan maritim di bawah kendali Angkatan Laut.
Artinya heli itu harus berpangkalan di kapal perang Angkatan Laut dan melaksanakan operasi bersama unsur-unsur Angkatan Laut. Dari aspek perencanaan kekuatan, tergambar bahwa salah satu pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menyinkronisasi kapasitas heli Angkatan Udara dengan kemampuan kapal perang untuk menampungnya. Sebagai contoh, dengan SA-330 Puma dan SA-332 Super Puma sebagai tulang punggung kekuatan heli Angkatan Udara, berarti Angkatan Laut harus mempunyai kapal perang yang sanggup melayani heli jenis itu.
Sejauh ini, hanya kapal perang jenis LPD yang sanggup melayani operasional heli Puma/Super Puma. Itu pun belum pernah diuji coba interoperability antara kedua jenis sistem senjata. Kemampuan kapal LPD menampung heli Puma/Super Puma sebenarnya sebuah kebetulan belaka, sebab dalam perencanaannya di masa lalu belum mengarah penuh ke interoperability sistem senjata dengan Angkatan Udara.
Jalan ke depan masih panjang, artinya belum terlambat untuk memulai berpikir gabungan sejak dalam perencanaan kekuatan di masing-masing Angkatan. Kasus masalah frekuensi gelombang elektronika dan interoperability heli Angkatan Udara di kapal LPD Angkatan Laut hanya sedikit dari banyaknya peluang interoperability yang selama ini belum terpikirkan dan atau digarap.
Untuk menciptakan pola berpikir gabungan sejak dari perencanaan kekuatan, selain dibutuhkan paradigma gabungan dalam setiap perwira staf perencanaan, mesti didorong oleh kebijakan dari Departemen Pertahanan maupun Mabes TNI. Artinya paradigma di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI juga harus pada paradigma gabungan dalam arti yang sesungguhnya, bukan gabungan dalam arti semu. Penanaman paradigma gabungan ini yang masih perlu jalan panjang, karena operasi gabungan belum menjadi budaya yang mengakar di Indonesia.
Salah satu tantangan dalam pembangunan kekuatan pertahanan di Indonesia adalah paradigma berpikir gabungan. Termasuk di dalamnya saat menyusun perencanaan kekuatan, paradigma operasi gabungan harus dikedepankan. Sebagai contoh, apabila Angkatan Laut merencanakan membeli kapal korvet dan atau fregat jenis x, sementara Angkatan Udara dalam waktu yang sama merencanakan pengadaan pesawat tempur jenis y, kedua matra sebaiknya berkoordinasi menyangkut interoperability kedua sistem senjata yang berbeda.
Meskipun sangat jelas bahwa opsreq antara kapal perang dengan pesawat tempur berbeda, minimal ada interoperability dalam sistem C4ISR. Sehingga ketika beroperasi nanti, kedua sistem senjata yang berbeda jenis itu dapat berkomunikasi di frekuensi gelombang elektronika yang sama untuk pertukaran informasi dan sekaligus komando dan kendali. Dengan demikian interoperability nantinya dapat benar-benar diterapkan di lapangan, bukan sekedar teori saja.
Masalah kesamaan frekuensi gelombang elektronika bagi gelombang elektronika antara Angkatan Laut dan Angkatan Udara di negeri ini merupakan masalah lama yang hingga kini belum dapat dipecahkan sepenuhnya. Agar tidak menjadi masalah terus di masa mendatang, hendaknya interoperability antar sistem senjata dari matra yang berbeda dibahas secara matang ketika dalam proses perencanaan kekuatan.
Isu interoperability lainnya yang harus dibenahi adalah soal operasi maritim. Seperti dipahami, operasi maritim bukanlah operasi yang eksklusif Angkatan Laut, meskipun Angkatan Laut selalu menjadi unsur utama dalam operasi itu. Dalam operasi maritim, kekuatan udara Angkatan Udara bisa terlibat, termasuk heli. Yang sangat jarang dipikirkan di Indonesia, apalagi dipraktekkan adalah bagaimana heli Angkatan Udara tergabung dalam gugus tugas gabungan maritim di bawah kendali Angkatan Laut.
Artinya heli itu harus berpangkalan di kapal perang Angkatan Laut dan melaksanakan operasi bersama unsur-unsur Angkatan Laut. Dari aspek perencanaan kekuatan, tergambar bahwa salah satu pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menyinkronisasi kapasitas heli Angkatan Udara dengan kemampuan kapal perang untuk menampungnya. Sebagai contoh, dengan SA-330 Puma dan SA-332 Super Puma sebagai tulang punggung kekuatan heli Angkatan Udara, berarti Angkatan Laut harus mempunyai kapal perang yang sanggup melayani heli jenis itu.
Sejauh ini, hanya kapal perang jenis LPD yang sanggup melayani operasional heli Puma/Super Puma. Itu pun belum pernah diuji coba interoperability antara kedua jenis sistem senjata. Kemampuan kapal LPD menampung heli Puma/Super Puma sebenarnya sebuah kebetulan belaka, sebab dalam perencanaannya di masa lalu belum mengarah penuh ke interoperability sistem senjata dengan Angkatan Udara.
Jalan ke depan masih panjang, artinya belum terlambat untuk memulai berpikir gabungan sejak dalam perencanaan kekuatan di masing-masing Angkatan. Kasus masalah frekuensi gelombang elektronika dan interoperability heli Angkatan Udara di kapal LPD Angkatan Laut hanya sedikit dari banyaknya peluang interoperability yang selama ini belum terpikirkan dan atau digarap.
Untuk menciptakan pola berpikir gabungan sejak dari perencanaan kekuatan, selain dibutuhkan paradigma gabungan dalam setiap perwira staf perencanaan, mesti didorong oleh kebijakan dari Departemen Pertahanan maupun Mabes TNI. Artinya paradigma di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI juga harus pada paradigma gabungan dalam arti yang sesungguhnya, bukan gabungan dalam arti semu. Penanaman paradigma gabungan ini yang masih perlu jalan panjang, karena operasi gabungan belum menjadi budaya yang mengakar di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar