All hands,
Hingga saat ini, Angkatan Laut negeri ini masih mempunyai fungsi sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional. Apabila dulu dasar hukumnya adalah Undang-undang No.20 Tahun 1982, sekarang basis legalnya adalah Undang-undang No.34 Tahun 2004 Pasal 9 butir e. Penafsiran terhadap Pasal 9 butir e sebenarnya sangat luas. Semua potensi maritim yang berkaitan dengan kepentingan pertahanan berada dalam domain Angkatan Laut. Artinya, AL kita bisa membina semua potensi itu pada masa damai dan menggunakannya pada masa perang.
Potensi kekuatan maritim nasional yang nyata meliputi pelabuhan, Armada KPLP Departemen Perhubungan, armada BUMN pelayaran armada kapal patroli Departemen Kelautan dan Perikanan, armada kapal Bekang Angkatan Darat, armada kapal polisi, armada pelayaran niaga, industri perkapalan, stasiun radio pantai dan lain sebagainya. Dalam masa damai, Angkatan Laut berhak untuk membina potensi untuk itu, misalnya berupa latihan lintas laut yang melibatkan kapal perang dengan kapal niaga dan kapal-kapal pemerintah, BUMN dan milik polisi. Angkatan Laut juga berhak untuk memberikan masukan pada rancang bangun suatu pelabuhan, agar pelabuhan itu dapat menampung kepentingan pertahanan pada saat dibutuhkan. Dan masih banyak hak lagi yang melekat pada Angkatan Laut untuk membina potensi kekuatan maritim nasional.
Masalahnya saat ini, perlu diciptakan mekanisme yang jelas mengenai hal itu. Sebab potensi yang harus dibina oleh AL kita kepemilikannya bertebaran. Ada yang milik swasta, ada yang kepunyaan BUMN, ada pula milik instansi pemerintah. Di era demokratisasi sekarang, AL kita tidak bisa lagi menerapkan cara-cara di masa lalu ketika berlaku Dwi Fungsi ABRI.
Kalau jaman dahulu, pejabat Angkatan Laut tinggal menghubungi via telepon ke instansi terkait maka urusan dijamin beres. Sekarang mekanismenya tidak bisa begitu lagi. Terlebih lagi kepada BUMN dan badan usaha swasta yang di otak para manajernya adalah hanya mencari untung saja.
Pertanyaannya, siapa yang harus mekanisme itu? Sebaiknya Departemen Pertahanan sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pertahanan. Mekanisme itu harus dirumuskan dalam sebuah kebijakan yang mengikat semua pihak. Dengan demikian, Angkatan Laut akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional secara maksimal.
Hingga saat ini, Angkatan Laut negeri ini masih mempunyai fungsi sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional. Apabila dulu dasar hukumnya adalah Undang-undang No.20 Tahun 1982, sekarang basis legalnya adalah Undang-undang No.34 Tahun 2004 Pasal 9 butir e. Penafsiran terhadap Pasal 9 butir e sebenarnya sangat luas. Semua potensi maritim yang berkaitan dengan kepentingan pertahanan berada dalam domain Angkatan Laut. Artinya, AL kita bisa membina semua potensi itu pada masa damai dan menggunakannya pada masa perang.
Potensi kekuatan maritim nasional yang nyata meliputi pelabuhan, Armada KPLP Departemen Perhubungan, armada BUMN pelayaran armada kapal patroli Departemen Kelautan dan Perikanan, armada kapal Bekang Angkatan Darat, armada kapal polisi, armada pelayaran niaga, industri perkapalan, stasiun radio pantai dan lain sebagainya. Dalam masa damai, Angkatan Laut berhak untuk membina potensi untuk itu, misalnya berupa latihan lintas laut yang melibatkan kapal perang dengan kapal niaga dan kapal-kapal pemerintah, BUMN dan milik polisi. Angkatan Laut juga berhak untuk memberikan masukan pada rancang bangun suatu pelabuhan, agar pelabuhan itu dapat menampung kepentingan pertahanan pada saat dibutuhkan. Dan masih banyak hak lagi yang melekat pada Angkatan Laut untuk membina potensi kekuatan maritim nasional.
Masalahnya saat ini, perlu diciptakan mekanisme yang jelas mengenai hal itu. Sebab potensi yang harus dibina oleh AL kita kepemilikannya bertebaran. Ada yang milik swasta, ada yang kepunyaan BUMN, ada pula milik instansi pemerintah. Di era demokratisasi sekarang, AL kita tidak bisa lagi menerapkan cara-cara di masa lalu ketika berlaku Dwi Fungsi ABRI.
Kalau jaman dahulu, pejabat Angkatan Laut tinggal menghubungi via telepon ke instansi terkait maka urusan dijamin beres. Sekarang mekanismenya tidak bisa begitu lagi. Terlebih lagi kepada BUMN dan badan usaha swasta yang di otak para manajernya adalah hanya mencari untung saja.
Pertanyaannya, siapa yang harus mekanisme itu? Sebaiknya Departemen Pertahanan sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pertahanan. Mekanisme itu harus dirumuskan dalam sebuah kebijakan yang mengikat semua pihak. Dengan demikian, Angkatan Laut akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar