All hands,
Beberapa waktu lalu Menteri Pertahanan telah menjelaskan hasil audit alutsista, yang mana tingkat kesiapan sistem senjata negeri ini hanya 35 persen. Pertanyaannya kemudian, kebijakan apa yang ditempuh oleh pemerintah kondisi tersebut? Tanpa perlu menunggu waktu yang tak terlalu lama, pengambil keputusan di Negeri Nusantara memerintahkan panglima militernya untuk memelihara alutsista yang ada.
Dengan kata lain, ada kecenderungan bahwa audit alutsista terkesan kebijakan setengah hati. Sebab begitu hasilnya dipaparkan sesuai dengan kondisi di lapangan, titah yang keluar dari pengambil keputusan adalah pelihara alutsista itu. Dengan demikian, militer Indonesia masih akan tetap terjebak dalam lingkaran setan kebijakan sistem senjata.
Mengapa lingkaran setan? Pertama, tidak ada keberpihakan terhadap modernisasi kekuatan militer. Komitmen itu sebatas lip service yang dimunculkan kapan diperlukan, khususnya ketika publik menuntut agar kekuatan militer mereka dimodernisasi.
Kedua, miskinnya keberpihakan dari sisi anggaran. Kalau kita mau jujur, sebagian putra-putri bangsa yang mengabdikan dirinya ke dalam dinas militer menemui akhir hidupnya karena kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada mereka. Sebagai contoh, apabila kita mempunyai 10 kapal perang jenis tertentu, dukungan anggarannya paling banyak untuk 6 kapal.
Ketiga, pemborosan anggaran yang luar biasa. Titah untuk memelihara sistem senjata yang mayoritas berumur berimplikasi pada pemborosan anggaran. Sebab biaya pemeliharaan sistem senjata itu sangat mahal, sebab life cycle cost-nya sudah tidak terhingga. Selain itu, sistem senjata yang dipaksakan untuk terus dipelihara tidak akan optimal untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok.
Sebagai ilustrasi adalah dalam latihan lintas laut militer, yang sebagian di antaranya mengandalkan kapal angkut yang usianya lebih tua daripada perwira paling tua yang masih berdinas aktif di militer negeri ini. Kecepatan ekonomis kapal perang itu rata-rata cuma 5-6 knot, sementara kapal tabirnya rata-rata 14-16 knot, bahkan ada yang lebih cepat lagi. Bisa dibayangkan betapa lelahnya mengawal kapal angkut ini, selain waktu yang terbuang karena rendahnya kecepatan kapal yang dikawal.
Dari situ tergambar bahwa pemeliharaan sistem senjata yang berumur sebenarnya tidak berkontribusi banyak pada kepentingan operasional, bahkan sebaliknya cenderung menjadi beban. Beban bukan sebatas pada kepentingan operasional, tetapi juga pada kepentingan anggaran pemeliharaan.
Sebenarnya masalah-masalah yang menggelayuti sistem senjata militer negeri ini sudah dipahami dengan betul. Namun tidak ada niat dan langkah untuk memperbaikinya. Jangankan untuk modernisasi kekuatan, untuk menganggarkan pemeliharaan sistem senjata yang masih ekonomis untuk digunakan saja sulitnya luar biasa. Sementara untuk kepentingan ekonomi, mengeluarkan dana yang nilainya setara atau bahkan lebih besar dari harga sebuah kapal selam termutakhir dunia sulitnya minta ampun. Pertanyaannya, apakah negeri bernama Indonesia didirikan oleh para pendahulu hanya agar bangsa ini sejahtera dengan mengabaikan kepentingan pertahanan, martabat dan harga diri? Ataukah kini tujuan bangsa Indonesia telah berubah menjadi menciptakan masyarakat yang adil makmur dengan martabat dan harga diri diinjak-injak oleh bangsa lain? Apakah bangsa Indonesia kini diharamkan menggunakan hard power untuk mengamankan kepentingan nasionalnya? Kalau diharamkan, siapa yang mengharamkan dan dasarnya apa?
Beberapa waktu lalu Menteri Pertahanan telah menjelaskan hasil audit alutsista, yang mana tingkat kesiapan sistem senjata negeri ini hanya 35 persen. Pertanyaannya kemudian, kebijakan apa yang ditempuh oleh pemerintah kondisi tersebut? Tanpa perlu menunggu waktu yang tak terlalu lama, pengambil keputusan di Negeri Nusantara memerintahkan panglima militernya untuk memelihara alutsista yang ada.
Dengan kata lain, ada kecenderungan bahwa audit alutsista terkesan kebijakan setengah hati. Sebab begitu hasilnya dipaparkan sesuai dengan kondisi di lapangan, titah yang keluar dari pengambil keputusan adalah pelihara alutsista itu. Dengan demikian, militer Indonesia masih akan tetap terjebak dalam lingkaran setan kebijakan sistem senjata.
Mengapa lingkaran setan? Pertama, tidak ada keberpihakan terhadap modernisasi kekuatan militer. Komitmen itu sebatas lip service yang dimunculkan kapan diperlukan, khususnya ketika publik menuntut agar kekuatan militer mereka dimodernisasi.
Kedua, miskinnya keberpihakan dari sisi anggaran. Kalau kita mau jujur, sebagian putra-putri bangsa yang mengabdikan dirinya ke dalam dinas militer menemui akhir hidupnya karena kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada mereka. Sebagai contoh, apabila kita mempunyai 10 kapal perang jenis tertentu, dukungan anggarannya paling banyak untuk 6 kapal.
Ketiga, pemborosan anggaran yang luar biasa. Titah untuk memelihara sistem senjata yang mayoritas berumur berimplikasi pada pemborosan anggaran. Sebab biaya pemeliharaan sistem senjata itu sangat mahal, sebab life cycle cost-nya sudah tidak terhingga. Selain itu, sistem senjata yang dipaksakan untuk terus dipelihara tidak akan optimal untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok.
Sebagai ilustrasi adalah dalam latihan lintas laut militer, yang sebagian di antaranya mengandalkan kapal angkut yang usianya lebih tua daripada perwira paling tua yang masih berdinas aktif di militer negeri ini. Kecepatan ekonomis kapal perang itu rata-rata cuma 5-6 knot, sementara kapal tabirnya rata-rata 14-16 knot, bahkan ada yang lebih cepat lagi. Bisa dibayangkan betapa lelahnya mengawal kapal angkut ini, selain waktu yang terbuang karena rendahnya kecepatan kapal yang dikawal.
Dari situ tergambar bahwa pemeliharaan sistem senjata yang berumur sebenarnya tidak berkontribusi banyak pada kepentingan operasional, bahkan sebaliknya cenderung menjadi beban. Beban bukan sebatas pada kepentingan operasional, tetapi juga pada kepentingan anggaran pemeliharaan.
Sebenarnya masalah-masalah yang menggelayuti sistem senjata militer negeri ini sudah dipahami dengan betul. Namun tidak ada niat dan langkah untuk memperbaikinya. Jangankan untuk modernisasi kekuatan, untuk menganggarkan pemeliharaan sistem senjata yang masih ekonomis untuk digunakan saja sulitnya luar biasa. Sementara untuk kepentingan ekonomi, mengeluarkan dana yang nilainya setara atau bahkan lebih besar dari harga sebuah kapal selam termutakhir dunia sulitnya minta ampun. Pertanyaannya, apakah negeri bernama Indonesia didirikan oleh para pendahulu hanya agar bangsa ini sejahtera dengan mengabaikan kepentingan pertahanan, martabat dan harga diri? Ataukah kini tujuan bangsa Indonesia telah berubah menjadi menciptakan masyarakat yang adil makmur dengan martabat dan harga diri diinjak-injak oleh bangsa lain? Apakah bangsa Indonesia kini diharamkan menggunakan hard power untuk mengamankan kepentingan nasionalnya? Kalau diharamkan, siapa yang mengharamkan dan dasarnya apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar