All hands,
End User Certificate merupakan salah satu mekanisme untuk pengendalian senjata internasional. Melalui end user certificate, negara produsen ingin memastikan bahwa produk senjata mereka tidak akan dialihkan kepada pihak ketiga tanpa seijin mereka. Banyak hal yang diatur dalam end user certificate, termasuk di antaranya tidak akan mengutak-atik bagian dalam sistem senjata. Negara yang mengeluarkan end user certificate dipastikan mampu mengawasi senjata yang dijualnya.
Negara-negara konsumen senjata seperti Indonesia seringkali menjadi korban dalam soal end user certificate. Misalnya, tidak bisa memodifikasi suatu sistem senjata tanpa ijin dari pemerintah negara pembuat. Atau tidak bisa menggunakan sistem senjata itu ketika dibutuhkan, dengan alasan negara pembuat memandang hal itu akan berpotensi melanggar dan lain sebagainya.
Mengapa menjadi korban? Sebab posisi negara pembeli biasanya selalu lebih lemah dibandingkan negara produsen. Pilihannya tinggal take it atau leave it. Tidak ada pilihan lain.
Salah satu pilihan agar kita tidak menjadi korban end user certificate adalah meneliti dengan cermat klausul dalam end user certificate. Kalau bisa dinegosiasikan, kenapa tidak? Katakanlah ada 20 klausul di dalamnya, 5-8 klausul bisa dinegosiasikan saja sudah bagus.
Artinya kita butuh negosiator yang handal dan negosiator itu sebaiknya harus perwira militer. Karena dia yang paham akan teknis penggunaan senjata yang akan dibeli. Kelemahan Indonesia selama ini, sangat jarang mempunyai perwira militer yang pandai untuk bernegosiasi soal itu.
Kalau selama ini Indonesia seringkali menjadi korban dari end user certificate, sebagian dari hal itu karena kekurangcermatan Indonesia juga. Mungkin kita lebih tergoda pada “hal lain-lain” dalam pengadaan senjata, sehingga untuk end user certificate kita langsung setuju saja terhadap klausul yang disodorkan oleh negara pembuat senjata.
End User Certificate merupakan salah satu mekanisme untuk pengendalian senjata internasional. Melalui end user certificate, negara produsen ingin memastikan bahwa produk senjata mereka tidak akan dialihkan kepada pihak ketiga tanpa seijin mereka. Banyak hal yang diatur dalam end user certificate, termasuk di antaranya tidak akan mengutak-atik bagian dalam sistem senjata. Negara yang mengeluarkan end user certificate dipastikan mampu mengawasi senjata yang dijualnya.
Negara-negara konsumen senjata seperti Indonesia seringkali menjadi korban dalam soal end user certificate. Misalnya, tidak bisa memodifikasi suatu sistem senjata tanpa ijin dari pemerintah negara pembuat. Atau tidak bisa menggunakan sistem senjata itu ketika dibutuhkan, dengan alasan negara pembuat memandang hal itu akan berpotensi melanggar dan lain sebagainya.
Mengapa menjadi korban? Sebab posisi negara pembeli biasanya selalu lebih lemah dibandingkan negara produsen. Pilihannya tinggal take it atau leave it. Tidak ada pilihan lain.
Salah satu pilihan agar kita tidak menjadi korban end user certificate adalah meneliti dengan cermat klausul dalam end user certificate. Kalau bisa dinegosiasikan, kenapa tidak? Katakanlah ada 20 klausul di dalamnya, 5-8 klausul bisa dinegosiasikan saja sudah bagus.
Artinya kita butuh negosiator yang handal dan negosiator itu sebaiknya harus perwira militer. Karena dia yang paham akan teknis penggunaan senjata yang akan dibeli. Kelemahan Indonesia selama ini, sangat jarang mempunyai perwira militer yang pandai untuk bernegosiasi soal itu.
Kalau selama ini Indonesia seringkali menjadi korban dari end user certificate, sebagian dari hal itu karena kekurangcermatan Indonesia juga. Mungkin kita lebih tergoda pada “hal lain-lain” dalam pengadaan senjata, sehingga untuk end user certificate kita langsung setuju saja terhadap klausul yang disodorkan oleh negara pembuat senjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar