All hands,
Masuknya kapal selam Scorpene dalam susunan tempur Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim sepertinya disikapi secara berlebihan di Indonesia, khususnya oleh kalangan yang merasa dirinya paham soal militer (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/12/05103783/scorpene.dan.demam.kapal.selam). Kalangan ini terkesan sangat panik dengan bertambahnya kekuatan laut negeri yang penuh diskriminasi etnis itu. Selain itu, kalangan ini juga secara tidak langsung sepertinya langsung pesimis dengan kemampuan peperangan bawah air Indonesia, khususnya kapal selam.
Misalnya dengan mengekspos soal kehebatan torpedo Black Shark. Tentu saja apa yang diekspos oleh pengamat ini berdasarkan klaim sepihak dari pabrikan torpedo itu. Pesannya, torpedo Black Shark No.1. Pandangan demikian tentu saja mencerminkan ketidakpahaman sang pengamat terhadap peperangan bawah air, termasuk masalah torpedo. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak torpedo jenis HWT yang kualitasnya tidak kalah dengan Black Shark, termasuk torpedo SUT yang memperkuat kapal selam Indonesia.
Berbicara soal kapal selam, tidak dapat semata-mata hanya dilihat dari aspek teknologi. Betul bahwa kapal selam Angkatan Laut Indonesia menggunakan teknologi 1980-an dan beberapa teknologi yang terkandung di dalamnya telah di-upgrade. Sementara kapal selam milik Negeri Tukang Klaim memakai teknologi 2000-an. Akan tetapi harus dipahami bahwa peperangan bawah air itu rumit dan teknologi bukan segalanya.
Kemampuan peperangan bawah air ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, jam selam. Negara yang telah lama mengoperasikan kapal selam mempunyai pengalaman soal peperangan bawah air yang jauh lebih banyak dan matang daripada negeri yang baru kemarin sore menggunakan kapal selam. Suka atau tidak suka, pengalaman Indonesia dalam peperangan kapal selam lebih banyak sebab negeri ini telah mengoperasikan kapal selam dari 1959.
Kedua, kemampuan deteksi. Peperangan kapal selam bukan sebatas soal memunculkan periskop serang untuk mencari target di atas permukaan dan atau meluncurkan torpedo seperti yang dikesankan oleh seorang pengamat. Peperangan kapal selam lebih dari itu, sebab peperangan ini berhadapan dengan sifat kimiawi, fisika dan biologi bawah air. Untuk membedakan antara gelombang akustik yang dihasilkan oleh kapal selam lawan dengan biota laut saja tidak mudah. Perlu latihan dan pengalaman yang lama dan itu pun tidak selalu merupakan jaminan meskipun peralatan akustiknya super canggih.
Bagi kita yang paham soal itu, bukan suatu hal yang aneh bila mendengar bahwa kapal selam U.S. Navy dan Voyenno-Morskoy Flot Rossii pun tidak bisa mendeteksi satu sama lain di bawah air walaupun jarak keduanya cuma ratusan yard. Sebab memang dinamika di kolom air sangat berbeda dengan di udara.
Ketiga, taktik. Kapal selam akan dapat dieksploitasi secara maksimal apabila taktiknya juga diberikan. Masalahnya adalah penjualan kapal selam tidak satu paket dengan pemberian taktik kepada pengguna. Bahkan dalam banyak kasus, negara-negara berkembang tidak diberikan taktis peperangan kapal selam oleh negara produsen.
Karena karakteristik tiap jenis kapal selam berbeda, maka untuk melaksanakan suatu taktis yang sama dibutuhkan handling yang berbeda. Dalam kasus Indonesia, eksploitasi kapal selamnya belum maksimal karena taktiknya tidak diberikan oleh Jerman ketika membeli U-209. Pertanyaannya, sebegitu hebatkah Negeri Tukang Klaim sehingga Prancis rela memberikan taktis peperangan kapal selam kepadanya?
Pesan dari tulisan ini adalah pengadaan kapal selam oleh Negeri Tukang Klaim hendaknya tidak disikapi secara berlebihan, khususnya dari aspek teknologi. Yang perlu disikapi secara keras adalah ketidakberpihakan pengambil keputusan di Indonesia terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam. Sebab dari perspektif taktik peperangan bawah air, senjata anti kapal selam terbaik adalah kapal selam itu sendiri.
Masuknya kapal selam Scorpene dalam susunan tempur Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim sepertinya disikapi secara berlebihan di Indonesia, khususnya oleh kalangan yang merasa dirinya paham soal militer (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/12/05103783/scorpene.dan.demam.kapal.selam). Kalangan ini terkesan sangat panik dengan bertambahnya kekuatan laut negeri yang penuh diskriminasi etnis itu. Selain itu, kalangan ini juga secara tidak langsung sepertinya langsung pesimis dengan kemampuan peperangan bawah air Indonesia, khususnya kapal selam.
Misalnya dengan mengekspos soal kehebatan torpedo Black Shark. Tentu saja apa yang diekspos oleh pengamat ini berdasarkan klaim sepihak dari pabrikan torpedo itu. Pesannya, torpedo Black Shark No.1. Pandangan demikian tentu saja mencerminkan ketidakpahaman sang pengamat terhadap peperangan bawah air, termasuk masalah torpedo. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak torpedo jenis HWT yang kualitasnya tidak kalah dengan Black Shark, termasuk torpedo SUT yang memperkuat kapal selam Indonesia.
Berbicara soal kapal selam, tidak dapat semata-mata hanya dilihat dari aspek teknologi. Betul bahwa kapal selam Angkatan Laut Indonesia menggunakan teknologi 1980-an dan beberapa teknologi yang terkandung di dalamnya telah di-upgrade. Sementara kapal selam milik Negeri Tukang Klaim memakai teknologi 2000-an. Akan tetapi harus dipahami bahwa peperangan bawah air itu rumit dan teknologi bukan segalanya.
Kemampuan peperangan bawah air ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, jam selam. Negara yang telah lama mengoperasikan kapal selam mempunyai pengalaman soal peperangan bawah air yang jauh lebih banyak dan matang daripada negeri yang baru kemarin sore menggunakan kapal selam. Suka atau tidak suka, pengalaman Indonesia dalam peperangan kapal selam lebih banyak sebab negeri ini telah mengoperasikan kapal selam dari 1959.
Kedua, kemampuan deteksi. Peperangan kapal selam bukan sebatas soal memunculkan periskop serang untuk mencari target di atas permukaan dan atau meluncurkan torpedo seperti yang dikesankan oleh seorang pengamat. Peperangan kapal selam lebih dari itu, sebab peperangan ini berhadapan dengan sifat kimiawi, fisika dan biologi bawah air. Untuk membedakan antara gelombang akustik yang dihasilkan oleh kapal selam lawan dengan biota laut saja tidak mudah. Perlu latihan dan pengalaman yang lama dan itu pun tidak selalu merupakan jaminan meskipun peralatan akustiknya super canggih.
Bagi kita yang paham soal itu, bukan suatu hal yang aneh bila mendengar bahwa kapal selam U.S. Navy dan Voyenno-Morskoy Flot Rossii pun tidak bisa mendeteksi satu sama lain di bawah air walaupun jarak keduanya cuma ratusan yard. Sebab memang dinamika di kolom air sangat berbeda dengan di udara.
Ketiga, taktik. Kapal selam akan dapat dieksploitasi secara maksimal apabila taktiknya juga diberikan. Masalahnya adalah penjualan kapal selam tidak satu paket dengan pemberian taktik kepada pengguna. Bahkan dalam banyak kasus, negara-negara berkembang tidak diberikan taktis peperangan kapal selam oleh negara produsen.
Karena karakteristik tiap jenis kapal selam berbeda, maka untuk melaksanakan suatu taktis yang sama dibutuhkan handling yang berbeda. Dalam kasus Indonesia, eksploitasi kapal selamnya belum maksimal karena taktiknya tidak diberikan oleh Jerman ketika membeli U-209. Pertanyaannya, sebegitu hebatkah Negeri Tukang Klaim sehingga Prancis rela memberikan taktis peperangan kapal selam kepadanya?
Pesan dari tulisan ini adalah pengadaan kapal selam oleh Negeri Tukang Klaim hendaknya tidak disikapi secara berlebihan, khususnya dari aspek teknologi. Yang perlu disikapi secara keras adalah ketidakberpihakan pengambil keputusan di Indonesia terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam. Sebab dari perspektif taktik peperangan bawah air, senjata anti kapal selam terbaik adalah kapal selam itu sendiri.
1 komentar:
tunggu dan lihat.
Posting Komentar