All hands,
Tidak adanya keberpihakan terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam mencerminkan banyak hal. Salah satu di antaranya adalah kesalahan pola pikir menyangkut perencanaan kekuatan alias force planning. Sangat jelas pihak yang memutuskan mengulur-ulur pengadaan kapal selam tidak paham soal force planning, bahkan mungkin tidak pernah belajar soal itu.
Dalam force planning, pola pikirnya adalah top down. Hal ini berbeda dengan pola pikir pihak pengulur pengadaan kapal selam, yaitu bottom up. Pola pikir top down berangkat dari aspek yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu kepentingan nasional. Dikaitkan dengan kapal selam, pertanyaannya adalah apakah pengadaan kapal selam sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia?
Sementara pola pikir bottom up yang keliru dan sesat tersebut dimulai dari hal yang sangat mikro dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu apakah kita punya uang? Kalau kita punya uang, apakah perlu membeli kapal selam? Apakah tidak ada hal lain yang lebih penting?
Itulah pola pikir bottom up. Pola pikir itu mendewakan dan menempatkan uang sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa. Bandingkan dengan pola pikir top down, yang ditempatkan sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa adalah kepentingan nasional. Penganut pola pikir bottom up tidak pernah pusing dengan kepentingan nasional, yang penting adalah uang.
Dalam pola pikir top down, uang alias anggaran justru menempati urutan paling bawah dalam pembangunan kekuatan. Sebab uang alias anggaran merupakan buah alias turunan dari suatu program. Apabila berdasarkan kepentingan nasional dibutuhkan program pengadaan kapal selam, maka anggaran harus menyesuaikan dengan program.
Sangat disayangkan, banyak pihak di Indonesia, baik di Departemen Pertahanan, TNI, Departemen Keuangan dan Bappenas tidak paham soal force planning. Begitu pula dengan pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai “pengamat militer”, sami mawon. Pura-pura paling tahu soal pertahanan, tapi begitu diajak diskusi soal force planning ketahuan kalau tidak paham alias tidak cerdas.
Tidak adanya keberpihakan terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam mencerminkan banyak hal. Salah satu di antaranya adalah kesalahan pola pikir menyangkut perencanaan kekuatan alias force planning. Sangat jelas pihak yang memutuskan mengulur-ulur pengadaan kapal selam tidak paham soal force planning, bahkan mungkin tidak pernah belajar soal itu.
Dalam force planning, pola pikirnya adalah top down. Hal ini berbeda dengan pola pikir pihak pengulur pengadaan kapal selam, yaitu bottom up. Pola pikir top down berangkat dari aspek yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu kepentingan nasional. Dikaitkan dengan kapal selam, pertanyaannya adalah apakah pengadaan kapal selam sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia?
Sementara pola pikir bottom up yang keliru dan sesat tersebut dimulai dari hal yang sangat mikro dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu apakah kita punya uang? Kalau kita punya uang, apakah perlu membeli kapal selam? Apakah tidak ada hal lain yang lebih penting?
Itulah pola pikir bottom up. Pola pikir itu mendewakan dan menempatkan uang sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa. Bandingkan dengan pola pikir top down, yang ditempatkan sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa adalah kepentingan nasional. Penganut pola pikir bottom up tidak pernah pusing dengan kepentingan nasional, yang penting adalah uang.
Dalam pola pikir top down, uang alias anggaran justru menempati urutan paling bawah dalam pembangunan kekuatan. Sebab uang alias anggaran merupakan buah alias turunan dari suatu program. Apabila berdasarkan kepentingan nasional dibutuhkan program pengadaan kapal selam, maka anggaran harus menyesuaikan dengan program.
Sangat disayangkan, banyak pihak di Indonesia, baik di Departemen Pertahanan, TNI, Departemen Keuangan dan Bappenas tidak paham soal force planning. Begitu pula dengan pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai “pengamat militer”, sami mawon. Pura-pura paling tahu soal pertahanan, tapi begitu diajak diskusi soal force planning ketahuan kalau tidak paham alias tidak cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar