All hands,
Indonesia sepakat menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dalam isu Laut Cina Selatan, sebagaimana dibahas dalam kunjungan Menteri Pertahanan Robert Gates ke Jakarta beberapa waktu lalu. Kesepakatan kerjasama ini bersifat krusial, sebab kedua negara secara langsung memiliki kepentingan vital di perairan tersebut. Bagi Washington, terciptanya kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan. Adapun bagi Jakarta, keutuhan wilayahnya di Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan yang diklaim pula oleh Beijing adalah suatu isu yang tidak bisa ditawar.
Pertanyaannya adalah bagaimana implementasi kerjasama tersebut? Kalau ada pihak di Indonesia yang berharap Jakarta menjadi mediator di perairan itu, rasanya sulit. Sebab Jakarta mempunyai pula kepentingan vital di sana. Peluang kerjasama yang dapat dilaksanakan oleh Jakarta dan Washington adalah kerjasama di bidang pertahanan dan atau pencegahan konflik.
Kerjasama pertama berarti mengharuskan ada bantuan teknis dalam rangka capacity building kekuatan laut Indonesia, misalnya bantuan kapal kombatan jenis fregat. Dapat pula kerjasama intelijen maritim. Sedangkan kerjasama kedua bisa berbentuk kegiatan-kegiatan yang bertujuan mencegah konflik di Laut Cina Selatan. Untuk kerjasama yang kedua, dibutuhkan partisipasi dari negara-negara lain di luar Indonesia dan Amerika Serikat, termasuk Cina sendiri di dalamnya.
Lalu mana yang sebenarnya menjadi pilihan Indonesia? Bagaimana pula kerjasama itu dari perspektif Amerika Serikat? Semua itu harus dirumuskan oleh para pejabat senior kedua negara, khususnya pejabat-pejabat pertahanan dan militer.