All hands,
Dalam kondisi kekinian, menurut hemat saya, SPLN perlu disesuaikan kembali. Asumsi-asumsi dalam SPLN harus dimutakhirkan apabila kita ingin mempertahankan SPLN. Mempertahankan SPLN adalah salah satu pilihan, pilihan lainnya adalah merancang strategi baru yang lebih adaptable terhadap situasi sekarang. Dengan asumsi bahwa SPLN dipertahankan, maka ada beberapa asumsi dalam strategi itu yang harus dimutakhirkan.
Pertama, persepsi ancaman. Persepsi ancaman harus menyeimbangkan antara aktor negara dengan aktor non negara. Hal demikian tidak bisa ditawar lagi, sebab seiring dengan globalisasi, peran aktor negara dalam keamanan internasional kian besar. Dan perluasan peran itu seringkali bertentangan dengan kepentingan nasional aktor negara, termasuk Indonesia, khususnya pada domain maritim.
Kedua, area pelibatan. Memperhatikan dengan seksama kondisi Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan, sulit rasanya untuk mewujudkan suatu pembangunan kekuatan AL yang mampu untuk beroperasi di ZEE maupun di luar ZEE. Silakan periksa Postur Pertahanan Negara 2010-2029, yang mana pengadaan kapal perang AL kita yang mampu untuk beroperasi di perairan itu sangat sedikit.
Artinya area pelibatan dalam SPLN perlu ditinjau ulang. Mungkin kemampuan tempur AL kita untuk sementara waktu dibatasi dapat beroperasi pada laut teritorial terlebih dahulu. Adapun untuk ZEE, mungkin bisa saja pada zona tertentu misalnya Laut Arafuru, Laut Sulawesi dan Laut Natuna. Tetapi untuk ZEE seperti Samudera Pasifik dan Samudera India, rasanya berat.
Ketiga, axis ancaman. Axis ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia yang terkait domain maritim tidak lagi berasal dari luar wilayah negeri ini. Tetapi ancaman itu sudah masuk ke wilayah yurisdiksi melalui lintas damai, lintas ALKI dan lintas transit. Pada saat kapal perang asing melintas, sangat mungkin mereka akan melaksanakan surgical strike.
Kondisi seperti itu harus diantisipasi sejak dini. Artinya perlu dikembangkan strategi untuk bertempur di laut teritorial ataupun di laut Nusantara, misalnya di Laut Jawa, ALKI dan lain sebagainya. Kasus USS Carl Vinson (CVN-70) di Laut Jawa Juli 2003 adalah contoh bahwa axis ancaman tidak datang dari luar wilayah Negeri Nusantara.
Begitu pula dengan ancaman dari aktor non negara. Mereka beroperasi di perairan teritorial Indonesia, misalnya di Selat Malaka yang sebagian di antaranya merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia. Situasi itu sekali lagi membuktikan bahwa axis ancaman masa kini tidak lagi berasal dari luar wilayah Indonesia, tetapi justru dari dalam wilayah negeri ini.
Ketiga hal yang telah diuraikan, menurut hemat saya, adalah hal-hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam pemutakhiran SPLN. Tentu masih ada aspek-aspek lain, misalnya dukungan logistik bagi AL. Apapun itu, kondisi saat ini sepertinya menuntut kita untuk memutakhirkan SPLN agar dalam menjawab lingkungan keamanan dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Dalam kondisi kekinian, menurut hemat saya, SPLN perlu disesuaikan kembali. Asumsi-asumsi dalam SPLN harus dimutakhirkan apabila kita ingin mempertahankan SPLN. Mempertahankan SPLN adalah salah satu pilihan, pilihan lainnya adalah merancang strategi baru yang lebih adaptable terhadap situasi sekarang. Dengan asumsi bahwa SPLN dipertahankan, maka ada beberapa asumsi dalam strategi itu yang harus dimutakhirkan.
Pertama, persepsi ancaman. Persepsi ancaman harus menyeimbangkan antara aktor negara dengan aktor non negara. Hal demikian tidak bisa ditawar lagi, sebab seiring dengan globalisasi, peran aktor negara dalam keamanan internasional kian besar. Dan perluasan peran itu seringkali bertentangan dengan kepentingan nasional aktor negara, termasuk Indonesia, khususnya pada domain maritim.
Kedua, area pelibatan. Memperhatikan dengan seksama kondisi Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan, sulit rasanya untuk mewujudkan suatu pembangunan kekuatan AL yang mampu untuk beroperasi di ZEE maupun di luar ZEE. Silakan periksa Postur Pertahanan Negara 2010-2029, yang mana pengadaan kapal perang AL kita yang mampu untuk beroperasi di perairan itu sangat sedikit.
Artinya area pelibatan dalam SPLN perlu ditinjau ulang. Mungkin kemampuan tempur AL kita untuk sementara waktu dibatasi dapat beroperasi pada laut teritorial terlebih dahulu. Adapun untuk ZEE, mungkin bisa saja pada zona tertentu misalnya Laut Arafuru, Laut Sulawesi dan Laut Natuna. Tetapi untuk ZEE seperti Samudera Pasifik dan Samudera India, rasanya berat.
Ketiga, axis ancaman. Axis ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia yang terkait domain maritim tidak lagi berasal dari luar wilayah negeri ini. Tetapi ancaman itu sudah masuk ke wilayah yurisdiksi melalui lintas damai, lintas ALKI dan lintas transit. Pada saat kapal perang asing melintas, sangat mungkin mereka akan melaksanakan surgical strike.
Kondisi seperti itu harus diantisipasi sejak dini. Artinya perlu dikembangkan strategi untuk bertempur di laut teritorial ataupun di laut Nusantara, misalnya di Laut Jawa, ALKI dan lain sebagainya. Kasus USS Carl Vinson (CVN-70) di Laut Jawa Juli 2003 adalah contoh bahwa axis ancaman tidak datang dari luar wilayah Negeri Nusantara.
Begitu pula dengan ancaman dari aktor non negara. Mereka beroperasi di perairan teritorial Indonesia, misalnya di Selat Malaka yang sebagian di antaranya merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia. Situasi itu sekali lagi membuktikan bahwa axis ancaman masa kini tidak lagi berasal dari luar wilayah Indonesia, tetapi justru dari dalam wilayah negeri ini.
Ketiga hal yang telah diuraikan, menurut hemat saya, adalah hal-hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam pemutakhiran SPLN. Tentu masih ada aspek-aspek lain, misalnya dukungan logistik bagi AL. Apapun itu, kondisi saat ini sepertinya menuntut kita untuk memutakhirkan SPLN agar dalam menjawab lingkungan keamanan dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
2 komentar:
saya sudah ikuti 2 tulisan anda tentang spln. memang bila kita hanya melihat strategi pertahanan dari satu aspek kekuatan saja....maka sebagaimana yang diulas okay lah. namun seyogyanya strategi pertahanan harus dilihat pada cakupan multi matra. ada keterpaduan kekuatan untuk menerapkan suatu strategi. ingat strategi peperangan itu disusun karena yang menyusunnya ingin menang perang. jadi begitu pula seharusnya dengan spln, tidak hanya bertumpu pada kekuatan satu matra saja, namun harus melibatkan kekuatan ketiga matra.
Terima kasih atas komentar anda. Soal kaitannya dengan multi matra, memang belum saya bahas. Itu fase berikutnya. Munisi kan harus dihemat...tidak langsung tembak sekaligus.
Posting Komentar