All hands,
Dalam ranah operasi Angkatan Laut, kita sangat mengenal apa yang disebut RAS. Cakupan alias ruang lingkup RAS sangat luas, mencakup hal-hal yang terkait dengan bekal ulang logistik. Entah itu logistik basah, kering, cair, munisi dan lain sebagainya.
Di Amerika Serikat, masalah RAS adalah tanggung jawab U.S. Military Sealift Command yang merupakan salah satu komando di bawah U.S. Navy. Armada yang memperkuat U.S. MSC adalah kapal-kapal bantu berbagai jenis, termasuk kapal bantu untuk keperluan bekal ulang munisi yang kodenya adalah T-AE.
Di Indonesia, pemahaman kita tentang RAS identik dengan isi ulang bahan bakar dari kapal tanker ke kapal perang. Itulah setidaknya kesan yang ada dibenak kita kalau berdiskusi soal RAS. Padahal bila kita kembali pelajari konsep RAS, cakupannya sangat luas. Termasuk di antaranya bekal ulang munisi kapal perang, itu tergolong dalam RAS.
Saat ini, dalam konsep operasi kita masalah bekal ulang munisi melalui RAS belum lazim dipraktekkan. Kapal perang yang beroperasi biasanya diisi dengan sejumlah munisi sesuai dengan keperluan operasi. Begitu munisi menipis, kapal itu akan mundur ke daerah belakang atau ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi.
Konsep demikian dalam kekinian mungkin ada baiknya ditinjau ulang. Sebab gudang arsenal AL negeri ini cuma ada di satu tempat. Sementara wilayah operasi kapal perang kita sangat luas. Tentu butuh waktu dan biaya bila kapal perang dalam operasi harus bekal ulang munisi ke pangkalan induk, khususnya dalam operasi militer perang.
Oleh sebab itu, apakah tidak sebaiknya kita memikirkan soal eksistensi kapal munisi dalam susunan tempur kita di masa depan? Sebenarnya soal kapal bantu munisi kita mempunyai preseden di masa lalu, yaitu RI Ratulangi dan RI Thamrin. Kedua kapal itu merupakan kapal tender kapal selam, yang isi di perutnya antara lain adalah torpedo untuk bekal ulang kapal selam kelas Whiskey.
Dengan adanya kapal tender kapal selam, kapal selam kita di masa itu tak perlu harus ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi. Cukup RV dengan kapal tender kapal selam. Memang kapal tender kapal selam tidak dapat digolongkan sepenuhnya sebagai kapal munisi, tetapi setidaknya kapal itu sebagian dari fungsinya adalah bekal ulang munisi.
Dengan luasnya wilayah tanggung jawab AL kita, apakah tidak sepantasnya bila kita mempunyai kapal munisi di masa depan? Kapal itu diharapkan bisa suplai munisi bukan saja buat kapal atas air, tetapi juga kapal selam. Dengan demikian, ketergantungan pada pangkalan induk untuk bekal ulang dapat diminimalkan. Dari situ berarti ada cost yang bisa dihemat, selain soal jarak dan waktu.
Dalam ranah operasi Angkatan Laut, kita sangat mengenal apa yang disebut RAS. Cakupan alias ruang lingkup RAS sangat luas, mencakup hal-hal yang terkait dengan bekal ulang logistik. Entah itu logistik basah, kering, cair, munisi dan lain sebagainya.
Di Amerika Serikat, masalah RAS adalah tanggung jawab U.S. Military Sealift Command yang merupakan salah satu komando di bawah U.S. Navy. Armada yang memperkuat U.S. MSC adalah kapal-kapal bantu berbagai jenis, termasuk kapal bantu untuk keperluan bekal ulang munisi yang kodenya adalah T-AE.
Di Indonesia, pemahaman kita tentang RAS identik dengan isi ulang bahan bakar dari kapal tanker ke kapal perang. Itulah setidaknya kesan yang ada dibenak kita kalau berdiskusi soal RAS. Padahal bila kita kembali pelajari konsep RAS, cakupannya sangat luas. Termasuk di antaranya bekal ulang munisi kapal perang, itu tergolong dalam RAS.
Saat ini, dalam konsep operasi kita masalah bekal ulang munisi melalui RAS belum lazim dipraktekkan. Kapal perang yang beroperasi biasanya diisi dengan sejumlah munisi sesuai dengan keperluan operasi. Begitu munisi menipis, kapal itu akan mundur ke daerah belakang atau ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi.
Konsep demikian dalam kekinian mungkin ada baiknya ditinjau ulang. Sebab gudang arsenal AL negeri ini cuma ada di satu tempat. Sementara wilayah operasi kapal perang kita sangat luas. Tentu butuh waktu dan biaya bila kapal perang dalam operasi harus bekal ulang munisi ke pangkalan induk, khususnya dalam operasi militer perang.
Oleh sebab itu, apakah tidak sebaiknya kita memikirkan soal eksistensi kapal munisi dalam susunan tempur kita di masa depan? Sebenarnya soal kapal bantu munisi kita mempunyai preseden di masa lalu, yaitu RI Ratulangi dan RI Thamrin. Kedua kapal itu merupakan kapal tender kapal selam, yang isi di perutnya antara lain adalah torpedo untuk bekal ulang kapal selam kelas Whiskey.
Dengan adanya kapal tender kapal selam, kapal selam kita di masa itu tak perlu harus ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi. Cukup RV dengan kapal tender kapal selam. Memang kapal tender kapal selam tidak dapat digolongkan sepenuhnya sebagai kapal munisi, tetapi setidaknya kapal itu sebagian dari fungsinya adalah bekal ulang munisi.
Dengan luasnya wilayah tanggung jawab AL kita, apakah tidak sepantasnya bila kita mempunyai kapal munisi di masa depan? Kapal itu diharapkan bisa suplai munisi bukan saja buat kapal atas air, tetapi juga kapal selam. Dengan demikian, ketergantungan pada pangkalan induk untuk bekal ulang dapat diminimalkan. Dari situ berarti ada cost yang bisa dihemat, selain soal jarak dan waktu.
1 komentar:
-Taufik-
Saya dari dulu kalo melihat AL negeri lain selalu terlihat adanya kapal munisi atau kapal BBM (oiler).Tetapi kenapa di Indonesia sepertinya tidak ada,walaupun sebenarnya ada 1 yaitu KRI Arun.
Saya kira TNI-AL sudah saatnya memerlukan kapal BBM yg bisa juga mengangkut amunisi dll yg bisa melakukan RAS dan memiliki pertahanan diri yg cukup apabila beroperasi sendiri. Dan sepertinya kalo mau, PT.PAL seharusnya sudah bisa membuatnya.Jadi kapan Mabes TNI-AL mau memesan kapal tsb?
Posting Komentar