All hands,
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kegemaran baru pemerintah khususnya Departemen Pertahanan dalam soal pengadaan alutsista. Hobi baru itu adalah program transfer of technology bagi pengadaan alutsista dari luar negeri. Pertanyaannya, realistiskah hobi itu?
Senjata adalah komoditas dagang. Itu hukum ekonomi yang tidak bisa dibantah siapa pun. Senjata juga komoditas politik. Di dalam senjata ada muatan teknologi dari negara produsen.
Sistem senjata Angkatan Laut sudah pasti bermuatan teknologi tinggi. Teknologi adalah hasil dari investasi riset selama tahunan, bahkan puluhan tahun dari suatu negara. Investasi itu harus kembali dalam bentuk lakunya senjata yang diisi oleh teknologi dimaksud. Dari situ terlihat ada keterkaitan antara penguasaan teknologi dengan aspek ekonomi serta aspek politik.
Teknologi-ekonomi-politik hidup di alam yang bernama negara. Setiap negara berupaya untuk menguasai ketiganya dan sekaligus menjaga rahasia teknologi untuk kepentingan politik. Dengan kata lain teknologi adalah komoditas politik dan ekonomi.
Dikaitkan dengan hobi baru Departemen Pertahanan, realistiskah program transfer of technology? Adakah negara yang dengan sangat bermurah hati mentransfer teknologi senjatanya kepada Indonesia secara gratis? Ini soal teknologi tinggi seperti rudal, meriam, sewaco, torpedo, bukan soal teknologi bikin senapan serbu.
Indonesia di masa lalu di era BJ Habibie memang berhasil membuat sejumlah sistem senjata berteknologi tinggi, seperti pesawat angkut, helikopter dan torpedo SUT. Dan hasilnya dirasakan saat ini, walaupun dukungan dari pemerintah sekarang terhadap industri itu terkesan setengah hati. Kemampuan menghasilkan sejumlah sistem senjata itu bukan karena kemurahan hati Jerman dan negara-negara Barat lainnya. Bukan pula sekedar kehebatan lobi pribadi BJ Habibie.
Semua itu karena pemerintah saat itu kebijakannya berbeda dengan pemerintah saat ini. Pemerintah di masa lalu tidak ragu mendukung ide pembelian lisensi ke pabrikan sistem senjata yang kita taksir. Dengan lisensi, pihak pabrikan membuka rahasia produk mereka. Karena kita membayar lisensi, mereka tidak rugi dengan membuka rahasia produk itu.
Dengan sistem lisensi, kita bisa belajar dari mereka, mereka juga “tulus” buka rahasia teknologinya kepada kita. Makanya torpedo SUT bisa kita bikin sendiri sekarang, meskipun beberapa komponennya masih harus impor dari Jerman. Itu karena pemerintah di masa lalu paham bahwa tidak ada makan siang gratis dalam teknologi senjata.
Entah kenapa kebijakan pemerintah sekarang dalam teknologi senjata adalah cari makan siang gratis. Transfer of technology itu sulit bagi senjata dengan teknologi tinggi. Tapi kok masih mimpi yah makan siang gratis. Jangankan senjata pemukul, bikin LPD saja PT PAL sempat terhenti karena tenaga ahli dari Korea Selatan sempat pulang karena ada ketidakcocokan teknis.
Akibatnya jadwal produksi dan penyerahan LPD melebihi dari yang seharusnya. Kalau untuk bikin LPD saja begitu, lalu bagaimana dengan senjata pemukul seperti rudal? Selama masih percaya pada transfer of technology, tidak akan ada perubahan pada penguasaan Indonesia terhadap teknologi senjata.
Pilihan yang realistis adalah lisensi. Memang lisensi butuh uang, tetapi itu lebih bagus. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Kita bayar sama mereka, mereka buka rahasia teknologi senjata mereka. Walaupun tidak 100 persen rahasianya dibuka, tetapi itu lebih bagus dari transfer of technology. Transfer of technology lebih sering menimbulkan ketidaksenangan dari produsen senjata, seperti kasus LPD.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kegemaran baru pemerintah khususnya Departemen Pertahanan dalam soal pengadaan alutsista. Hobi baru itu adalah program transfer of technology bagi pengadaan alutsista dari luar negeri. Pertanyaannya, realistiskah hobi itu?
Senjata adalah komoditas dagang. Itu hukum ekonomi yang tidak bisa dibantah siapa pun. Senjata juga komoditas politik. Di dalam senjata ada muatan teknologi dari negara produsen.
Sistem senjata Angkatan Laut sudah pasti bermuatan teknologi tinggi. Teknologi adalah hasil dari investasi riset selama tahunan, bahkan puluhan tahun dari suatu negara. Investasi itu harus kembali dalam bentuk lakunya senjata yang diisi oleh teknologi dimaksud. Dari situ terlihat ada keterkaitan antara penguasaan teknologi dengan aspek ekonomi serta aspek politik.
Teknologi-ekonomi-politik hidup di alam yang bernama negara. Setiap negara berupaya untuk menguasai ketiganya dan sekaligus menjaga rahasia teknologi untuk kepentingan politik. Dengan kata lain teknologi adalah komoditas politik dan ekonomi.
Dikaitkan dengan hobi baru Departemen Pertahanan, realistiskah program transfer of technology? Adakah negara yang dengan sangat bermurah hati mentransfer teknologi senjatanya kepada Indonesia secara gratis? Ini soal teknologi tinggi seperti rudal, meriam, sewaco, torpedo, bukan soal teknologi bikin senapan serbu.
Indonesia di masa lalu di era BJ Habibie memang berhasil membuat sejumlah sistem senjata berteknologi tinggi, seperti pesawat angkut, helikopter dan torpedo SUT. Dan hasilnya dirasakan saat ini, walaupun dukungan dari pemerintah sekarang terhadap industri itu terkesan setengah hati. Kemampuan menghasilkan sejumlah sistem senjata itu bukan karena kemurahan hati Jerman dan negara-negara Barat lainnya. Bukan pula sekedar kehebatan lobi pribadi BJ Habibie.
Semua itu karena pemerintah saat itu kebijakannya berbeda dengan pemerintah saat ini. Pemerintah di masa lalu tidak ragu mendukung ide pembelian lisensi ke pabrikan sistem senjata yang kita taksir. Dengan lisensi, pihak pabrikan membuka rahasia produk mereka. Karena kita membayar lisensi, mereka tidak rugi dengan membuka rahasia produk itu.
Dengan sistem lisensi, kita bisa belajar dari mereka, mereka juga “tulus” buka rahasia teknologinya kepada kita. Makanya torpedo SUT bisa kita bikin sendiri sekarang, meskipun beberapa komponennya masih harus impor dari Jerman. Itu karena pemerintah di masa lalu paham bahwa tidak ada makan siang gratis dalam teknologi senjata.
Entah kenapa kebijakan pemerintah sekarang dalam teknologi senjata adalah cari makan siang gratis. Transfer of technology itu sulit bagi senjata dengan teknologi tinggi. Tapi kok masih mimpi yah makan siang gratis. Jangankan senjata pemukul, bikin LPD saja PT PAL sempat terhenti karena tenaga ahli dari Korea Selatan sempat pulang karena ada ketidakcocokan teknis.
Akibatnya jadwal produksi dan penyerahan LPD melebihi dari yang seharusnya. Kalau untuk bikin LPD saja begitu, lalu bagaimana dengan senjata pemukul seperti rudal? Selama masih percaya pada transfer of technology, tidak akan ada perubahan pada penguasaan Indonesia terhadap teknologi senjata.
Pilihan yang realistis adalah lisensi. Memang lisensi butuh uang, tetapi itu lebih bagus. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Kita bayar sama mereka, mereka buka rahasia teknologi senjata mereka. Walaupun tidak 100 persen rahasianya dibuka, tetapi itu lebih bagus dari transfer of technology. Transfer of technology lebih sering menimbulkan ketidaksenangan dari produsen senjata, seperti kasus LPD.
Negara produsen senjata mana yang rela kasih teknologi yang dikuasainya gratis kepada negara lain dan membiarkan negara lain menjual hasil teknologi itu ke pihak-pihak ketiga? Selain rugi secara politik, juga rugi secara ekonomi.
1 komentar:
-Taufik-
Saya beberapa waktu yg lalu juga kepikiran mengenai ToT ini,bukan masalah prinsip bahwa kita harus bisa dapet ToT. Tetapi saya lihat dr sudut pandang penjual:"kalo anda sudah saya kasih cetak biru dll,trus saya dapat apa? Apa saya dapat percentage kalo anda sudah berhasil jual produk hasil ToT?"
Nah kalo nggak,siapa yang rela ngasih ToT,ngerinya lagi nanti kalo negara produsen ngasih spek yg ada defect-nya. Entahlah...
Posting Komentar