All hands,
Masalah force protection bagi banyak Angkatan Laut di dunia merupakan isu krusial sejak 10 tahun terakhir. Force protection terkait dengan perlindungan kekuatan sendiri terhadap kemungkinan serangan lawan dalam berbagai bentuk. Bagi banyak Angkatan Laut, force protection kaitannya dengan perlindungan terhadap kapal perang dan aset lainnya dari beragam serangan, baik dari aktor negara maupun non negara.
U.S. Navy mempunyai beberapa pengalaman menyangkut isu force protection. Serangan terhadap USS Cole di perairan Yaman pada 6 Oktober 2001 yang merenggut jiwa 17 pelaut adalah salah satu pengalaman menyakitkan soal itu. Gugus Tugas U.S. Navy juga pernah diserang di pelabuhan Aqaba beberapa tahun lalu, yang mana serangan menggunakan sejumlah mortir dengan sasaran kapal perang yang sedang merapat.
Isu force protection juga berlaku saat tengah berlayar di laut, termasuk saat melaksanakan VBSS. Dalam prosedur yang berlaku di Angkatan Laut negara-negara Barat, VBSS dilaksanakan dengan mengirimkan boarding party ke kapal yang dicurigai, tentu saja setelah sasaran dipastikan berhenti di tengah laut. Angkatan Laut negara-negara Barat tidak mau mengambil resiko dengan merapatkan kapal perangnya dengan kapal yang hendak diperiksa.
Rancang bangun kapal perang masa kini juga sangat memperhatikan force protection. Bentuknya bukan saja memperkuat lapisan baja pada kapal perang, termasuk pada bagian-bagian vital, tetapi juga dengan menambah sejumlah pos tempur yang berisikan senjata bela diri. Apabila ada sasaran tak dikenal yang mendekat ke kapal perang dengan kecepatan tinggi, senjata itu akan digunakan untuk membela diri.
Bagaimana dengan Indonesia? Salah satu masukan yang diberikan oleh beberapa Angkatan Laut asing kepada AL kita menyangkut isu force protection adalah soal prosedur penghentian dan pemeriksaan kapal di laut. Prosedur henrik selama ini selalu memerintahkan kapal yang dicurigai agar merapat ke kapal perang kita yang akan melakukan pemeriksaan. Bisa pula kapal perang kita yang akan merapat ke kapal yang dicurigai.
Prosedur demikian menurut masukan mereka sangat rawan dalam hal force protection. Apabila kapal yang diperiksa membawa bahan peledak, bisa saja kasusnya mirip seperti kasus USS Cole. Yang mana kapal yang akan kita periksa meledakkan diri dan sudah pasti akan menimbulkan kerugian jiwa dan material pada kapal perang kita.
Masukan demikian, menurut hemat saya, perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan seksama. Mungkin ada baiknya bila prosedur henrik di laut dikaji ulang agar mampu memberikan force protection yang maksimum terhadap kapal perang kita beserta para pengawaknya.
Masalah force protection bagi banyak Angkatan Laut di dunia merupakan isu krusial sejak 10 tahun terakhir. Force protection terkait dengan perlindungan kekuatan sendiri terhadap kemungkinan serangan lawan dalam berbagai bentuk. Bagi banyak Angkatan Laut, force protection kaitannya dengan perlindungan terhadap kapal perang dan aset lainnya dari beragam serangan, baik dari aktor negara maupun non negara.
U.S. Navy mempunyai beberapa pengalaman menyangkut isu force protection. Serangan terhadap USS Cole di perairan Yaman pada 6 Oktober 2001 yang merenggut jiwa 17 pelaut adalah salah satu pengalaman menyakitkan soal itu. Gugus Tugas U.S. Navy juga pernah diserang di pelabuhan Aqaba beberapa tahun lalu, yang mana serangan menggunakan sejumlah mortir dengan sasaran kapal perang yang sedang merapat.
Isu force protection juga berlaku saat tengah berlayar di laut, termasuk saat melaksanakan VBSS. Dalam prosedur yang berlaku di Angkatan Laut negara-negara Barat, VBSS dilaksanakan dengan mengirimkan boarding party ke kapal yang dicurigai, tentu saja setelah sasaran dipastikan berhenti di tengah laut. Angkatan Laut negara-negara Barat tidak mau mengambil resiko dengan merapatkan kapal perangnya dengan kapal yang hendak diperiksa.
Rancang bangun kapal perang masa kini juga sangat memperhatikan force protection. Bentuknya bukan saja memperkuat lapisan baja pada kapal perang, termasuk pada bagian-bagian vital, tetapi juga dengan menambah sejumlah pos tempur yang berisikan senjata bela diri. Apabila ada sasaran tak dikenal yang mendekat ke kapal perang dengan kecepatan tinggi, senjata itu akan digunakan untuk membela diri.
Bagaimana dengan Indonesia? Salah satu masukan yang diberikan oleh beberapa Angkatan Laut asing kepada AL kita menyangkut isu force protection adalah soal prosedur penghentian dan pemeriksaan kapal di laut. Prosedur henrik selama ini selalu memerintahkan kapal yang dicurigai agar merapat ke kapal perang kita yang akan melakukan pemeriksaan. Bisa pula kapal perang kita yang akan merapat ke kapal yang dicurigai.
Prosedur demikian menurut masukan mereka sangat rawan dalam hal force protection. Apabila kapal yang diperiksa membawa bahan peledak, bisa saja kasusnya mirip seperti kasus USS Cole. Yang mana kapal yang akan kita periksa meledakkan diri dan sudah pasti akan menimbulkan kerugian jiwa dan material pada kapal perang kita.
Masukan demikian, menurut hemat saya, perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan seksama. Mungkin ada baiknya bila prosedur henrik di laut dikaji ulang agar mampu memberikan force protection yang maksimum terhadap kapal perang kita beserta para pengawaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar