All hands,
Proyeksi kekuatan Angkatan Laut bukan merupakan suatu hal yang baru. Kegiatan itu telah dilaksanakan sejak berabad-abad silam. Tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara. Yang membedakannya dengan di era globalisasi kini adalah mulai banyaknya negara-negara non Barat yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan, walaupun secara terbatas.
Di Asia Tenggara, Malaysia dan Cina yang 50 tahun silam kekuatan lautnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan AL kita, kini sudah mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan. Mereka aktif mengirimkan kapal perang untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, seperti ke kawasan Teluk Aden dan Teluk Persia. Kebetulan kedua wilayah saat ini merupakan salah satu hotspot dalam isu keamanan dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 1960-an AL Indonesia mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan dan hal itu dipraktekkan dengan melaksanakan Operasi Chittagong pada September 1965. Setelah Operasi Chittagong, sepengetahuan saya, nyaris tak ada lagi proyeksi kekuatan yang dilaksanakan oleh AL kita. Paling yang tercatat adalah pengiriman satu KRI kelas FTH ke perairan Filipina 1988 untuk mengamankan KTT ASEAN, ketika negeri di utara Indonesia itu AD-nya sedang dilanda demam kudeta.
Sekarang kita kembali melaksanakan proyeksi kekuatan ke Lebanon dalam bingkai UNIFIL MTF. Proyeksi kekuatan tersebut memang terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, khususnya aspirasi untuk turut memelihara perdamaian dunia. Mungkin ke depan perlu dipikirkan proyeksi kekuatan yang mempunyai keterkaitan langsung dengan situasi politik ekonomi di Indonesia.
Ambil contoh proyeksi kekuatan Malaysia dan Singapura. Sangat jelas proyeksi kekuatan itu bermotif mengamankan kepentingan ekonomi mereka, yaitu mengawal kapal-kapal dagang dan kapal tanker yang berbendera kedua negara atau paling tidak yang mempunyai tujuan ke pelabuhan kedua negara. Ketidakstabilan di Teluk Aden dan Teluk Persia akan dirasakan langsung di dalam negeri mereka, dalam bentuk gejolak ekonomi.
Pertanyaannya, apakah Indonesia juga tidak akan mengalami hal demikian? Memang betul armada kapal niaga berbendera Merah Putih belum dominan dalam pelayaran internasional. Tetapi paling tidak ada kapal-kapal niaga berbendera asing yang memuat barang atau komoditas yang lewat kedua perairan dengan tujuan Indonesia atau asal Indonesia. Artinya komoditas yang dimuat menyangkut pula economic well being bangsa Indonesia.
Isu seperti ini kurang tidak bila dipandang merupakan urusan AL atau Departemen Pertahanan saja. Harus ada kesamaan persepsi dari pihak-pihak lain, termasuk Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kalau ingin pendapatan negeri ini banyak, kegiatan ekonomi berputar, hendaknya tidak perlu berpikir seribu kali untuk mengucurkan dana bagi pembangunan kekuatan AL.
Proyeksi kekuatan Angkatan Laut bukan merupakan suatu hal yang baru. Kegiatan itu telah dilaksanakan sejak berabad-abad silam. Tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara. Yang membedakannya dengan di era globalisasi kini adalah mulai banyaknya negara-negara non Barat yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan, walaupun secara terbatas.
Di Asia Tenggara, Malaysia dan Cina yang 50 tahun silam kekuatan lautnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan AL kita, kini sudah mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan. Mereka aktif mengirimkan kapal perang untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, seperti ke kawasan Teluk Aden dan Teluk Persia. Kebetulan kedua wilayah saat ini merupakan salah satu hotspot dalam isu keamanan dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 1960-an AL Indonesia mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan dan hal itu dipraktekkan dengan melaksanakan Operasi Chittagong pada September 1965. Setelah Operasi Chittagong, sepengetahuan saya, nyaris tak ada lagi proyeksi kekuatan yang dilaksanakan oleh AL kita. Paling yang tercatat adalah pengiriman satu KRI kelas FTH ke perairan Filipina 1988 untuk mengamankan KTT ASEAN, ketika negeri di utara Indonesia itu AD-nya sedang dilanda demam kudeta.
Sekarang kita kembali melaksanakan proyeksi kekuatan ke Lebanon dalam bingkai UNIFIL MTF. Proyeksi kekuatan tersebut memang terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, khususnya aspirasi untuk turut memelihara perdamaian dunia. Mungkin ke depan perlu dipikirkan proyeksi kekuatan yang mempunyai keterkaitan langsung dengan situasi politik ekonomi di Indonesia.
Ambil contoh proyeksi kekuatan Malaysia dan Singapura. Sangat jelas proyeksi kekuatan itu bermotif mengamankan kepentingan ekonomi mereka, yaitu mengawal kapal-kapal dagang dan kapal tanker yang berbendera kedua negara atau paling tidak yang mempunyai tujuan ke pelabuhan kedua negara. Ketidakstabilan di Teluk Aden dan Teluk Persia akan dirasakan langsung di dalam negeri mereka, dalam bentuk gejolak ekonomi.
Pertanyaannya, apakah Indonesia juga tidak akan mengalami hal demikian? Memang betul armada kapal niaga berbendera Merah Putih belum dominan dalam pelayaran internasional. Tetapi paling tidak ada kapal-kapal niaga berbendera asing yang memuat barang atau komoditas yang lewat kedua perairan dengan tujuan Indonesia atau asal Indonesia. Artinya komoditas yang dimuat menyangkut pula economic well being bangsa Indonesia.
Isu seperti ini kurang tidak bila dipandang merupakan urusan AL atau Departemen Pertahanan saja. Harus ada kesamaan persepsi dari pihak-pihak lain, termasuk Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kalau ingin pendapatan negeri ini banyak, kegiatan ekonomi berputar, hendaknya tidak perlu berpikir seribu kali untuk mengucurkan dana bagi pembangunan kekuatan AL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar